BAB 12

782 112 109
                                    

DANAR

Entah apakah Ardhi Arsa jenius atau memahami perasaanku.

Kurasa bukan keduanya, atau malah keduanya.

Menemani Nira ke Semarang dalam menyelidiki skandal limbah Grup Syahreza adalah "sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui" bagiku. Kesempatan terbaik untuk mengenal perempuan yang kusukai lebih lanjut, sekaligus membalas dendam terhadap lelaki yang merebut mantan kekasihku dariku.

Tidak, tidak, Danar, kamu tidak boleh begitu.

Pertama, aku tidak boleh membalas dendam. Bagaimana pun aku hancur saat itu, menyimpan dendam hanya akan menyakitiku lebih lanjut. Lagipula, aku sudah berdamai dengan masa laluku. Walaupun kuakui aku masih manusia yang tetap akan merasa senang melihat orang jahat mendapat karma mereka.

Kedua, Aksha tidak merebut Giani dariku. Tidak ada seorang pun yang bisa direbut, kecuali mereka diculik dan dipaksa. Ia hanya menunjukkan warna asli Giani sekaligus kenyataan bahwa Giani bukanlah yang terbaik untukku.

Ketiga, fokuslah pada misimu, Danar. Ini hanyalah tugas. Setelah tugas berakhir, barulah aku bisa bergerak mendekati Nira lebih lanjut jika itu yang ia inginkan. Sampai sekarang, kurasa responnya cukup memberiku harapan.

Kenyataannya, bagaimana aku bisa fokus pada misiku ketika Nira tampak begitu antusias sepanjang perjalanan kami ke Semarang? Di kereta, ia minta duduk dekat jendela, lalu sibuk memotret pemandangan yang menarik perhatiannya. Namun setelah bosan, ia minta tukar tempat duduk denganku lalu izin memotretku dari tampang samping. Katanya siluet sampingku fotogenik, tidak kalah dengan para model.

Aku tidak bisa menahan tawaku, yang ujung-ujungnya dijadikan bahan foto lagi.

"Kalau ketawa lepas gitu kan bagus, Mas," timpal Nira sambil ikut tersenyum.

Kalau Nira begini terus, aku jadi semakin gemas padanya, kan?

Setibanya kami di Semarang, Nira membawaku mengunjungi kerabatnya. Parahnya, kami dikira pacaran -- oh, ya, kami kan memang sedang bersandiwara. Pertama adiknya, Nisa, yang bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit di Semarang. Selanjutnya budhe-budhenya yang sampai menghujani kami dengan pertanyaan kapan nikah dan turunannya. Aku, sih, santai saja menanggapinya, bahkan anehnya, malah sedikit senang karena merasa perhatian mereka membawaku semakin dekat dengan kenyataan.

Ya, izinkan aku halu sedikit.

Apalagi, ketika kami berangkat ke Salatiga untuk memeriksa lokasi pabrik, kami terpaksa menginap sekamar berdua akibat alasan klise -- kamarnya tinggal satu. Maklum, penginapan kecil itu tidak memiliki banyak kamar. Jantungku berdebar-debar tak karuan membayangkan aku akan menghabiskan beberapa malam berduaan dengan Nira saja. Tanpa perlu repot-repot mencari cara, kesempatan ini datang sendiri padaku.

Terima kasih, Ardhi Arsa.

Ngaco kamu, Nar. Lagipula, kamu nggak akan (boleh) ngapa-ngapain dengan Nira.

Ah, sudahlah. Lebih baik aku kembali ke poin tiga: fokuslah pada misiku.

Misi kami sendiri berjalan lancar, berkat Nira yang selalu bisa diandalkan. Benar katanya, sebenarnya dia bisa pergi dan menangani semuanya sendirian. Mulai dari mengunjungi lokasi pabrik, memecahkan kode pada rekaman percakapan Farid Wiryawan dan Gunawan Rahadi, hingga mewawancarai korban. Bukannya aku diam saja, sih. Aku juga ikut membantu, tetapi aku yakin tanpa aku pun dia bisa melakukan semuanya.

Jadi tidak salah, kan, jika aku berterima kasih kepada Ardhi Arsa?

***

Embracing Dawn (T) | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang