BAB 07

912 119 62
                                    

NIRA

Sejauh ini, semua benar-benar kuharapkan. Polisi langsung becus mengerjakan laporan kasus sabotase Anggara Industries. Bukti-bukti yang kusodorkan memang membantu penyidikan mereka. Biasanya aku menemani Bu Didi dan Bu Ranti jika dipanggil polisi – kadang bersama Pak Parto sebagai saksi kunci. Selain itu, prosesnya benar-benar lancar, pelakunya pun memang sesuai dugaan tim kami. Tidak lupa aku juga memberitahu bahwa Dara mengerjakan konferensi pers dengan lancar, hingga tidak ada satu pun awak media yang mengganggu pekerjaan kami. 

Biasanya kalau Bu Didi atau Bu Ranti yang beraksi, kami—maksudku associates sepertiku, Ronald, dan Dara—kebanyakan hanya bagian menemani atau menyodorkan dokumen-dokumen pendukung untuk penyidikan sampai dapat P-21. 

Bu Didi sampai terus meneror temannya yang kerja di polda Metro Jaya untuk terus memperbaharui berita. Hasilnya si dugaan pelaku sabotase masih belum mengaku, bahkan berbelit-belit.

“Kalau gini mereka bisa saja bebas,” keluh Bu Didi saat kami sedang berkumpul di ruang rapat yang tertutup tirai. Hal paling menyebalkan dari seluruh pekerjaan adalah tenggat waktu. Jika sampai mereka masih tidak mengaku hingga tenggat waktu yang ditentukan, mereka akan dibebaskan dan itu sangat tidak menguntungkan timku dan nama firma hukum AA&Partners akan turun.

Aku hanya mengamati Dara, Dita, dan Ronald yang terus menenangkan Bu Didi. Penghiburan bukanlah bagianku. 

“Selama kita kasih bukti laporan yang benar, tidak ada masalah, kan?” tukasku.

Baru saja beliau mau komentar, ponsel Bu Didi berbunyi. Beliau sengaja mengeraskan suara lalu menaruh ponselnya di tengah meja. Ternyata yang telepon temannya yang di kantor polisi itu – dia juga yang menginterogasi dugaan pelakunya – kami semua mendengarkannya dengan seksama. Kami semua tersenyum bahagia, akhirnya kerja kami tidak sia-sia. Selepas panggilan, Bu Didi langsung mengajak kami bertiga ke kantor Polda Metro Jaya membawa berkas negosiasi hasil diskusi tim dan pihak Anggara Industries yang sudah disiapkan berminggu-minggu lalu. 

Inilah bagian favorit kedua, melihat Bu Didi negosiasi dengan tersangka. Dari info yang kudapat, perusahaan ini adalah perusahaan bodong yang bersaing tidak sehat dengan Anggara Industries. Mereka sering sekali menyerang Anggara Industries mulai dari sengketa merek, hak cipta, sampai bumbu rahasia yang mirip. Namun, aku merasa janggal, ada sesuatu yang membantu mereka dari belakang jika dilihat dari rekor laju keuangannya yang terus naik padahal daya belinya menurun. Berbelit-belitnya negosiasi dengan pengacara tersangka akhirnya buat Bu Didi memilih untuk pakai jalur pidana. 

Diam-diam senyum puasku terbit. 

***

Akibat permintaan para relawan dan korban yang terus menginginkanku untuk isi seminar, akhirnya aku menyetujui tawaran Wulan untuk isi seminarnya seminggu sekali. Biar tidak bosan isinya advokasi hukum terus menerus, sesekali aku mengadakan kelas tata rias atau menulis blog sesuai minat mereka. Aku meminta Wulan sebagai modelku ketika tema kelasnya adalah pesta formal nan minimalis, dan untungnya dia bersedia. Hal itu juga yang mulai mengakrabkan kami sejak itu, ternyata Wulan gadis yang menyenangkan. 

“Lan, ini aku ada tawaran dari temanku buat ngisi beauty class bulan depan. Kamu mau jadi modelku lagi nggak? Temanya nggak ribet kok, dandanan semi formal gitu,” tawarku saat aku menemani Wulan nunggu jemputannya di pelataran Yayasan Cornelia Jati. 

“Boleh dong, Nir. Aku senang jadi modelmu lagi, riasanmu bagus soalnya,” jawab Wulan super antusias. 

“Baiklah, aku kabarin dia dulu.” Aku kembali fokus pada ponsel untuk mengetik responku pada teman sesama komunitas tata rias. 

Embracing Dawn (T) | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang