BAB 08

874 112 33
                                    

DANAR

Kubalas menggenggam tangan Nira erat-erat. Kalung yang ia serahkan ini merupakan bukti kepercayaannya padaku -- aku tidak boleh menyia-nyiakannya. Ketika Nira membuka laptopnya di atas tempat tidur, kurogoh sakuku, lalu kuamati kalung itu lekat-lekat. Sebuah kalung berliontin bulan sabit yang bertabur berlian.

"Kupakai nggak apa-apa, ya, Nir? Sepertinya lebih aman begini, jadi nggak bakal hilang."

"Mm-hmm," sahut Nira tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.

Aku pindah ke kursi di sisi tempat tidurnya. "Nir ...." Kali ini ia menoleh karena aku mendekat. "Aku agak kesulitan pasangnya, boleh bantu aku?"

Nira menatapku sejenak. Ia pasti tahu aku bermaksud modus. Namun ia menghentikan aktivitasnya dan memasangkan kalungnya ke leherku.

"Makasih." Senyumku terbit. "Sekarang kamu istirahat dulu, ya. Apapun yang kamu cemaskan tadi, aku akan memastikan kamu aman, karena aku akan menemanimu di sini." Perlahan tanganku terulur menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh di dekat alisnya.

Di luar dugaanku, Nira mengangguk dan menutup laptopnya, lalu menyerahkannya padaku. Aku menaruhnya di atas nakas di samping tempat tidur. Ia memejamkan matanya selama beberapa menit. Kelihatannya ia sangat lelah.

"Mas Danar ... boleh kutanya sesuatu?"

"Tentu saja, Nira."

"Sebenarnya ... Mas Danar itu siapa?" Nira membuka matanya, lalu menatapku lekat-lekat. Tatapannya lurus tetapi tidak tajam, melainkan ada kebingungan di dalamnya. "Kepindahan Mas Danar ke sebelah apartemenku hampir bertepatan dengan mulainya kasus sabotase Anggara Industries. Sejak saat itu, Mas Danar selalu ada untuk menolongku. Ini nggak mungkin murni kebetulan, kan? Kalau Mas Danar bukan--bukan suruhan Anjing Gila, lalu Mas Danar bisa tahu banyak tentang diriku dari mana?"

Aku terdiam. Bagaimana cara aku tetap menjaga kepercayaan Nira tanpa berbohong? Namun aku juga belum bisa memberitahu kebenarannya. Kucondongkan tubuhku ke depan, dan kubalas tatapan mata Nira dengan lembut.

"Nira, ada beberapa hal yang belum bisa kuberitahu sekarang. Tapi kamu benar, semua ini bukan murni kebetulan. Aku diminta oleh seseorang -- seseorang yang peduli padamu -- untuk melindungimu."

"Seseorang yang peduli padaku," gumam Nira. "Pasti Ardhi Arsa."

Oke, aku sering mendengar orang bilang raut wajahku datar tanpa ekspresi, tetapi kali ini aku sangat terkejut hingga kuyakin raut wajahku mengungkapkan jawabannya pada Nira.

"Nggak usah tanya gimana aku tahu, Mas," lanjut Nira dengan senyum penuh kemenangan. "Ardhi Arsa itu mentor sekaligus bosku, pemilik firma hukum AA&Partners tempatku bekerja. Semua yang kulakukan ini sebagian besar kupelajari darinya."

"Benar," sahutku. "Aku diminta Ardhi Arsa untuk melindungimu. Dia sangat mencemaskanmu karena cara kerjamu yang sangat berani dan nekat."

Sepintas, ingatan ketika Nira dipukuli kemarin sore melintas di benakku, membuatku bergidik. Spontan, kuraih kedua tangannya dan kugenggam erat-erat.

"Nira, aku harus jujur padamu. Aku bisa dekat denganmu seperti sekarang ini, memang karena tugas yang diberikan oleh Ardhi Arsa. Tapi aku juga temanmu dan benar-benar peduli padamu. Aku ... aku sangat cemas ketika melihatmu dipukuli seperti kemarin. Ini sudah kedua kalinya dalam sebulan, dan mereka lebih brutal daripada yang pertama. Bolehkah aku minta kamu untuk sangat berhati-hati? Kenapa kamu sangat nekat dan nggak takut mati seperti ini?"

"Aku menyadari tiga hal. Satu, hidup ini singkat dan waktu ini berharga. Dua, banyak sekali ketidakadilan di dunia ini yang harus diberantas. Tiga, ternyata kalau kita lebih berani sedikit saja, lawan-lawan kita itu sebenarnya bakal keok, Mas. Coba lihat contoh yang kemarin. Si polisi Alfa itu langsung diam saat aku bongkar kebohongannya. Dengan gaya mainku yang sekarang, kasus-kasus lebih cepat ditangani dan lebih banyak keadilan yang bisa ditegakkan."

Embracing Dawn (T) | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang