BAB 24 (1)

478 81 4
                                    

DANAR

Setelah berhasil menghindar dari Alline, aku buru-buru memberitahu Nira perihal kedatangan ratu muda Grup Rahadi itu melalui chat. Namun kulihat ia terakhir kali membaca chat pukul 2 siang, sehingga aku yang tak sabar segera menelponnya. Dua tiga menit kutunggu, tidak diangkat. Maka kuganti menelepon Arjuna. Seharusnya ia terus terhubung denganku, baik lewat telepon maupun earpiece Penumbra. Sialnya, aku baru sadar earpiece-ku tertinggal di rumah Bu Siska dan tidak kubawa saat keluar makan siang di Yayasan Cornelia Jati tadi.

Untunglah aku tersambung dengan Arjuna. "Mas Danar, ada apa?"

"Nira bareng kamu?"

"Iya."

"Boleh tolong nyalakan loudspeaker-nya?"

"Mau menyatakan cinta di depanku? Kasihan diriku yang jomblo ini, Mas. Kenapa nggak saya kasih saja handphone saya ke Nira?"

"Sudahlah, jangan banyak tanya. Aku ingin kamu dengar juga, Jun. Tadi aku bertemu Alline Rahadi."

"Apa? Sebentar, ini kunyalakan ...."

"Mas Danar, aku di sini." Suara Nira melalui loudspeaker ponsel Arjuna membuatku berdebar-debar. Sialan, aku kangen sekali padanya, tapi ini bukan saatnya bergombal ria. "Nira, aku bertemu Alline Rahadi. Dia bilang .... Tunggu, kamu di tempat aman?"

"Iya, di sini hanya ada Mas Juna, Bu Ratri, dan Pak Darya."

"Baiklah. Dia minta kita segera nikah, biar Danang kembali padanya."

Tawa Nira yang terdengar menandakan ucapanku begitu absurd. "Nggak masuk akal! Lalu?"

"Ya, kutolak mentah-mentah. Aku cuma ingin memberitahu kalian saja ...."

"Maaf, Mas Danar. Saya dengar Danang mengacau di kantor polisi. Saya harus segera beresin ...."

"Tapi Nira? Nira gimana?" tanyaku yang tak dibalas karena panggilan sudah terputus.

Sambil menggerutu dalam hati, kubuka aplikasi pelacak yang Nira kenakan di kalungnya. Posisi Nira tercatat berada di kantor polisi. Jadi dari tadi mereka belum pulang? Entahlah, aku tak sempat berpikir lebih jauh lagi. Nira dalam bahaya. Bukannya aku tak percaya Arjuna, tapi aku harus memastikan sendiri dia aman.

Aku mengambil kunci motor di unit apartemenku dan mengendarai motorku keluar dari tempat parkir. Kubawa kuda besiku meliuk-liuk melalui mobil-mobil yang tersendat menuju kantor Polda Metro Jaya yang tak jauh dari kompleks SCBD. Aku menghentikan motorku begitu saja — toh, kantornya sudah sepi — mengabaikan panggilan polisi yang mencegatku apa urusanku di sini sesore ini.

"Tunangan saya di Reskrimum dalam bahaya, Pak. Lebih baik Bapak ikut dengan saya untuk memastikan keamanannya," tegasku yang langsung membuatnya terdiam, lalu mengikutiku di belakang.

Kulihat para polisi yang masih berjaga di sana bergegas berkumpul ke gedung Reskrimum. Asap merambat keluar dari pintu utama. Staf yang berada di dalam gedung berlarian keluar, menyisakan tim khusus yang akan menangani kebakaran sekaligus melumpuhkan sang kriminal pengacau.

"Mas Danar!" Itu suara Arjuna. Aku menoleh, melihat anggota TNI yang mengenakan kaos polo biru muda itu menghampiriku. "Kenapa Mas datang kemari? Nira ...."

"Mana Nira? Dia di dalam, kan?" Aku menunjukkan aplikasi pelacak di ponselku.

Arjuna mengernyitkan keningnya sejenak. "Nira nggak di sini. Dia baik ...."

Namun aku mengabaikan ucapan Arjuna dan melesat ke dalam gedung Reskrimum yang sedang dievakuasi. Sudah kuduga, kobaran api berasal dari salah satu ruang interogasi. Bagaimana ini bisa terjadi? Mana mungkin warga sipil macam Danang bisa mengacau demikian, jika tidak ada yang membantunya? Aku menoleh ke belakang sekali lagi. Arjuna tidak mengejarku karena ia sibuk berkelahi dengan seorang lelaki sangar yang mukanya rusak.

Embracing Dawn (T) | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang