BAB 21 (2)

525 85 62
                                    

NIRA

Rumah Bu Ratri di Jakarta adalah rumah dinas yang letaknya masih dekat dengan kejaksaan negeri Jakarta Selatan. Beliau tinggal sendiri -- suaminya kerja sebagai hakim di pengadilan negeri Surabaya di mana mereka punya jadwal ketemuan seminggu sekali bergantian di akhir pekan -- sedangkan anak-anaknya kerja di luar kota dan sudah berkeluarga.

Ternyata di ruang tamu sudah ada Pak Darya duduk di sofa tunggal sedang fokus di laptop dengan tangan terlipat di dada ketika melihatku.

Bu Ratri celingak-celinguk di luar sebentar sebelum tutup pintu kayu lalu bergabung.

"Kami berdua nggak setuju."

Mereka memang sepaket. Jadi tidak heran ngomongnya tidak pakai basa-basi. Sama persis dengan Mas Danar hanya beda versi.

"Masih ada cara lain, Nira. Tidak perlu pakai cara laknat itu," protes Bu Ratri.

"Menurut saya, ini terlalu gegabah, Nira," tambah Pak Darya, "Kami berdua tidak mau kejadian dua tahun lalu menimpamu. Kamu nggak ingat hampir mati gara-gara overdosis obat tidur sampai-sampai Bu Ratri suruh dokter Likha untuk mengawasi kamu sampai sidang saksi?"

Kalau sudah diingatkan soal dokter Likha rasanya tubuh ini kayak patung saja. Kenapa rasa-rasanya semua orang lebih berpihak ke Mas Danar?

Sabar, Nira, sabar.

"Sudah sudah." Bu Ratri mengangkat tangan. "Kita berkumpul di sini bukan untuk marahin Nira. Kita fokus ke topik utama hari ini. Pak Darya, silakan mulai duluan."

"Sejak kapan kamu tunangan sama Danar?"

Ekspresi terkejut Bu Ratri terlihat seperti ibu yang mergokin anaknya pacaran backstreet. Habis itu matanya tertuju padaku dengan intens, tapi tidak marah. "Oh, jadi itu sebabnya kamu susun rencana cadangan baru. Terus, Pak Darya tahu darimana?"

"Dari anakku yang kebetulan habis nonton video pengumuman tunangan mereka berdua di akun Moon Rise. Dia itu subscriber-nya gara-gara lihat video tutorial fingerstyle gitar klasik yang dibawakan teman priamu yang ganteng itu, Nir. Siapa namanya?" Mata Pak Darya memicing, tampak mengingat-ingat.

"Tio, Pak," jawabku sambil comot butter cookies langsung dari kaleng besar.

"Nah ya, itu. Anakku mikirnya bakal ada video baru, soalnya Moon Rise jarang bikin konten baru sejak tahun lalu. Eh ternyata pas mau buka video baru isinya livestreaming kamu sama tunanganmu itu."

Bu Ratri membenarkan pernyataan Pak Darya dengan lihat sendiri videonya. "Serasi betul kalian ini. Pantes aja di sini kebanyakan komentarnya kaget semua dan ada yang bahas video asusilamu tentunya. Terus kenapa muka kamu keruh gitu, Nir? Kelaparan? Kalau lapar sih Ibu bisa OjekFood-kan nasi padang."

Belum aku jawab, Pak Darya serobot duluan dengan tawa terbahak. "Bu Ratri kayak nggak pernah muda aja. Nira itu lagi galau habis tengkar sama Danar."

"Ah, Pak Darya sok tahu," sanggahku sambil comot dua kue nastar dan dua emping dari toples. Dari mana Pak Darya tahu?

"Siapa yang kemarin lupa matikan teleponnya, pakai loudspeaker pula? Saya nggak sengaja denger lho." Pak Darya mengangkat tangan seraya menegakkan tubuh dan pasang muka sok polos, seakan bisa menjawab pikiranku.

Bu Ratri hanya terpingkal sedangkan aku menutupi rasa maluku dengan comot lagi dua kripik rengginang dari kaleng Khong Guan. Duh bodoh sekali kamu, Nira, bisa-bisanya larut dalam pertengkaran dengan Mas Danar sampai lupa hal paling krusial dalam hubungan percintaan.

"Makanya cek dulu ponselnya sebelum adu mulut." Bu Ratri beri wejangan yang terdengar seperti lelucon.

"Ah sudah, Bu, Pak, bahas yang lain saja." Harus cepat-cepat berganti topik pembicaraan daripada aku jadi objek lelucon dua penegak hukum ini.

Embracing Dawn (T) | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang