DANAR
Jika lubuk hati seseorang diumpamakan dengan sebuah lemari, aku lebih suka meremas perasaanku dan menyimpannya di sudut paling belakang lemari tersebut, bagaikan pakaian yang jarang dikenakan.
Perasaan itu rumit, ambigu, dan sulit dijelaskan. Tidak seperti misi yang dijabarkan sampai detil dan tinggal diikuti dengan saksama.
Contohnya, perasaanku pada Nira. Seharusnya mudah, bukan? Aku menyayangi Nira, itu jelas. Seharusnya aku tidak goyah dengan perasaanku sendiri. Namun mengapa saat ini aku malah lega ketika aku akan berjauhan dengannya?
Ketika aku menyadari Nira telah mengetahui ayahnya adalah hakim yang membebaskan Doni Laksono dari perbuatan jahatnya, aku pura-pura tegar. Kubilang padanya, itu bukan salahnya -- toh, Doni dan ayahnya juga sudah dihukum penjara.
Padahal aku lebih ingin meyakinkan diriku sendiri daripada Nira. Aku butuh waktu sendiri untuk menjernihkan pikiranku. Makanya aku langsung setuju ketika ia mengusulkan supaya aku bekerja sama dengan Alline Rahadi. Aku butuh misi ini untuk menenangkan diri sekaligus melupakan emosiku.
Namun, saat aku memandangi barisan angka nomor telepon di kartu nama Alline, tiba-tiba aku ingin sekali membatalkan rencana ini dan kabur ke pulau terpencil bersama Nira saja.
Aduh, Danar, kenapa kamu jadi labil begini?
Jariku menekan angka-angka di layar ponselku, disusul dengan tombol telepon hijau. Ketika panggilan tersambung, aku tahu aku tidak bisa berputar balik.
"Halo, Mbak Alline? Ini saya, Danar Narabhakti. Saya bersedia menjalankan rencana Mbak Alline untuk mendapatkan Danang kembali."
"Perfect. Langsung saja datang ke rumah saya. Nanti saya share loc," sahut Alline tanpa basa-basi.
Game on.
***
"Nira, kamu ingat kan waktu aku pasang alat penyadap ke tas Giani lalu mendengarkan percakapannya dengan suaminya?" tanyaku ketika aku menyiapkan peralatan sebelum berangkat ke rumah Alline.
"Oh, di markasnya Mbak Tiara sambil makan keripik singkong itu, kan? Tentu saja aku ingat, Mas," ujar Nira.
"Sekarang aku juga akan bawa alat penyadap yang sama." Aku menyodorkan tabletku kepada Nira, tablet dari Penumbra yang sudah diubah ke mode tamu sehingga Nira hanya bisa melihat aplikasi yang kuizinkan saja. "Ini tabletku, kamu bisa mendengarkan percakapan kami lewat app yang ini. Pulpenmu akan kubawa terus, tapi aku akan menanam beberapa alat penyadap di rumah Alline."
Aku terus berceloteh tanpa memerhatikan wajah Nira yang melongo sesaat, kemudian tersenyum paham.
"Baik, Mas Danar. Peralatannya sudah lengkap sekali," sahutnya.
Senyumnya kutangkap. "Kamu nggak khawatir aku mau pergi ke rumah perempuan lain?" tanyaku setengah menggoda, setengah cemas.
Nira nyengir. "Jadi Mas Danar lebih suka aku panik-panik meresahkan gitu? Bukan gayaku kali." Ia mengusap pipiku lembut. "Lagian aku percaya Mas Danar bisa melakukan ini dengan baik. Selangkah lebih dekat untuk mengalahkan Anjing Gila supaya kita bisa bersama."
Ah, kenapa dia menggemaskan sekali? Aku tidak tahan lagi, kurengkuh tubuh mungilnya ke pelukanku dan kucium pelipisnya.
"Kamu baik-baik, ya, Sayang."
"Kayak mau pergi jauh aja." Nira tertawa kecil. "Mas Danar juga jaga diri, ya."
Aku memeluknya sekali lagi. Sesal dan rasa bersalah melingkupi diriku karena sempat ingin menjauhi Nira, kubayar dengan kemesraan yang agak berlebihan. Aku sungguh sebal pada diriku yang plin plan. Semoga Nira tidak menyadari kebimbanganku ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Embracing Dawn (T) | ✓
Romance[LOVE ACTION UNIVERSE #2] DAFTAR PENDEK THE WATTYS 2021 READING LIST WATTPAD ROMANCE ID - Dangerous Love DESEMBER 2021 (BUKAN KARYA PLAGIAT) Walau ini bukanlah pertemuan pertama mereka, tapi masing-masing mulai menyadari bahwa satu-satunya jalan un...