BAB 30 (2) [END]

2.2K 91 80
                                    

DANAR

Pagi berikutnya, aku langsung bergegas ke kantor polisi untuk memastikan kebenaran berita tersebut. Arjuna juga sudah berada di sana. Kami disambut oleh Pak Darya dengan muka super serius, tetapi ia tak dapat menutupi kelegaan yang tersirat di matanya.

"Gimana ini bisa terjadi, Pak? Saya kira di penjara nggak mungkin melakukan hal semacam itu," berondongku, yang dibalas Arjuna dengan gelengan kepala.

Pak Darya menghela napas. "Pakai selimut kain yang dikasih buat setiap tahanan, diikat ke jeruji jendela dan lehernya." Ia mengusap lehernya sendiri membayangkan ngilunya aksi fatal yang dilakukan Danang itu.

"Tapi ... saya ... waktu bertemu saya, dia masih sesumbar," ujarku masih tak percaya setelah keluar dari kamar mayat dan memastikan badan yang terbujur kaku itu adalah jahanam yang meneror hidup Nira.

"Menurut saya, tindakan Danang, termasuk sesumbarnya, adalah suatu act of desperation, hanya saja ia menutupinya. Nggak ada orang yang semangatnya tinggi terus sekalipun ia menderita delusi parah. Apalagi jika Danang sadar Alline sudah tidak akan membantunya lagi."

"Ya, Arjuna benar. Alline masih dirawat di rumah sakit dan akan diperiksa sebagai saksi untuk kerusuhan di rumahnya kemarin, sekaligus kekacauan di kantor polisi minggu lalu dan pelanggaran yang dilakukan ayahnya," sambung Pak Darya.

Aku menggeleng. "Sulit dipercaya dia mati semudah itu. Mungkin nggak dia hanya pura-pura, atau memakai body double? Yang asli sudah kabur lagi."

"Mas Danar kebanyakan nonton film kayaknya," ledek Arjuna. "Kita tunggu saja sampai hasil tes DNA keluar, baru bisa memastikan."

Setelah berpamitan dengan Pak Darya dan keluar dari kantor polisi, aku dan Arjuna mampir ke Soedirman Coffee Shop untuk ngopi dan sarapan, karena kami langsung bergegas ke kantor polisi tanpa sesuap makanan. Arjuna memesan croissant isi cokelat dengan secangkir flat white, sedangkan aku memilih roti bakar selai nanas dan secangkir americano.

"Jadi tunggu apa lagi? Naga sudah mati. Saatnya pangeran menemukan sang putri, lalu menikah dan hidup bahagia selamanya," komentar Arjuna sambil menyesap kopinya perlahan.

"Pangeran apanya. Aku bukan pangeran."

"Kalau gitu Mas Danar lebih suka jadi ksatria?"

Aku tak menjawab omong kosongnya dan fokus mengoleskan selai nanas segar di atas roti bakarku yang masih hangat. Sosok Nira membayangi atmosfer di kedai kopi ini, titik temu dan tempat diskusi kami sejak lima tahun lalu.

"Kafe ini adalah kesukaanku dan Nira," ujarku tak nyambung.

Arjuna tersenyum. "Sepertinya saya bisa jadi pengganti Nira yang baik, ya kan?"

Aku menatapnya tajam, tetapi ia tak peduli. "Kenapa Nira pergi tanpa bilang padaku?" Pertanyaan yang sama terlontar dari bibirku entah untuk keberapa kalinya.

"Mana kutahu," jawab lelaki sialan di hadapanku ini enteng. "Nira kan calon istri Mas Danar, seharusnya Mas yang lebih tahu daripada saya."

"Kadang aku bertanya-tanya, kenapa aku masih tahan berbicara denganmu."

"Because I'm irresistible?" Arjuna menyengir sambil mengangkat satu alisnya. "Anyway, kunci utama dalam hubungan apapun adalah komunikasi. Saya yakin Mas Danar sudah paham betul sampai bosan, tapi apakah Mas sudah menjalankannya?"

Aku mulai merasa tersinggung. "Apa maksudmu? Tentu saja aku sudah mengkomunikasikan apapun padanya dengan sebaik mungkin. Kalau nggak, mana mungkin rencana kita berhasil?"

Arjuna meletakkan sebuah map di hadapanku. "Termasuk ini?"

Aku meraihnya dan membukanya dengan penasaran. Ternyata berkas untuk sidang mantan hakim Budi Jaya Aldenira, ayahnya Nira. Kubalik lembaran-lembaran itu, lalu kutemukan salah satu kasus yang ia curangi dengan cara menganggap bukti tidak sah. Kasus Doni Laksono.

Embracing Dawn (T) | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang