BAB 06 (1)

951 128 17
                                    

DANAR

Tunggu.

Apa yang baru saja terjadi?

Nira. Menggenggam. Tanganku.

Apakah ini nyata?

Kenyataannya, tanganku masih ditariknya menuju kedai kopi dekat Polda Metro Jaya. Tiba-tiba aku menyadari betapa cuaca Jakarta sangat panas dan gerah. Titik-titik peluh mulai mewujud di pelipisku, mengalir turun ke pipiku. Aku mengusapnya dengan punggung tangan dan mengebaskannya ke tanah. Tidak cuma dahiku yang kepanasan, leherku juga. Spontan tanganku melonggarkan kerah kemeja yang kukenakan. 

Tanpa kusadari kami sudah berhadapan dengan kasir di counter kedai tersebut untuk memesan. Nira menoleh ke arahku dengan pandangan bertanya-tanya. 

“Mau pesan apa, Mas?” 

“Eh … aku ….” Mataku menatap menu yang terpampang di dinding di belakang kasir, lalu ke menu berukuran A4 yang dipajang di counter, tetapi tulisan yang kubaca tidak bisa kupahami sama sekali. “Kamu pesan apa, Nir?” 

“Iced cappuccino. Belum ngopi soalnya,” sahutnya sambil dibarengi senyum tipis. 

Tidak, tidak, aku makin error. “Samain aja,” ucapku tanpa berpikir. 

Aku masih mematung saat Nira membayarkan pesanan kami dengan kartu debitnya. Ketika ia menepuk bahuku untuk menyadarkanku, barulah aku mengikutinya ke meja makan berbentuk persegi dan menarik kursi untuk duduk. 

Senyuman itu masih tak lepas dari bibir Nira. “Aku puas sekali, akhirnya kena juga dia.” Ia menarik napas lega. “Semua ini berkat bantuan Mas Danar juga. Jadi aku berterima kasih sekali lagi, loh, Mas.” 

“Senang bisa membantu,” sahutku seadanya. “Eh … tadi … es kopinya ….”

“Aku yang bayar. Nggak masalah, anggap aja sebagai ucapan terima kasihku,” jelas Nira cepat-cepat sebelum aku menawarkan untuk mengganti biayanya. 

“Kalau gitu makasih buat kopinya,” ujarku sambil menyeruput cappuccino-ku melalui sedotan.

Setelah ngopi dan ngaso selama setengah jam, kami berangkat ke kantor AA&Partners yang masih satu kompleks dengan Polda Metro Jaya. Aku hanya mengantarkan Nira sampai ke lobby tetapi tidak masuk, lalu berpamitan. Tadinya aku akan bohong, bilang mau pergi ke klub Pumsae Ragunan, jika ia menanyakan aku mau ke mana, tetapi ia tidak menanyakannya. Nira terlalu bersemangat melanjutkan diskusi kasusnya dengan rekan-rekannya untuk sekadar berbasa-basi mengetahui kegiatanku setelah ini.

Dalam hati aku bersyukur tidak perlu berbohong, tetapi heran dengan sikapnya juga. Biasanya perempuan yang tertarik padaku sampai menarik tanganku seperti tadi akan penasaran juga dengan aktivitasku, tetapi Nira ….

Ah, lupakan, Danar. Fokuslah dengan misimu.

***

“Belum dua minggu dan dia sudah terluka. Agen Narabhakti, di mana Anda saat itu?” 

Aku hanya tertunduk mendengar teguran Ardhi Arsa di ruangan yang sama tempat kami membahas misi terbaruku di kantor Penumbra. “Saya ada di sana menyaksikan kejadian itu, Agen Arsa. Maafkan saya karena kurang cepat menanggapi situasi saat itu.”

“Anda ragu-ragu,” ujar Ardhi sambil menatap mataku. “Kalau Anda merasa tidak nyaman dengan misi ini, katakan saja. Kami bisa mencarikan pengganti – walaupun tidak mudah juga mencari orang yang bisa dipercaya oleh Nira secepat itu.” 

“Jangan!” potongku cepat. “Saya berjanji akan lebih baik lagi kali ini. Saya akui, sempat ragu-ragu untuk terus mengintainya karena merasa melanggar privasinya.”

Embracing Dawn (T) | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang