.
.
.***
Tak ada yang tahu seberapa banyak luka yang tersimpan dalam hatinya. Tak ada yang tahu seberapa perih jiwa dan raganya. Tak ada yang tahu seberapa sering air mata itu melintasi pipinya.
Jika boleh berbenah, Dobby hanya ingin semua ini bukan untuknya. Tak apa menjadi biasa-biasa saja, asalkan semua rasa sakit dan bersalah ini tak pernah ia dapatkan.
Menjalani hidup yang hancur ketika masih berada di bangku sekolah menengah pertama adalah hal terburuk yang pernah ia alami di masa-masa hidupnya. Bahkan masalah itu tak hanya sebentar, mereka terus saja mengikuti arah dimana Dobby akan melangkah.
Setiap saat memang ada rasa kesal mengapa semua perlakuan buruk yang ia terima tak bisa ia balaskan dengan maksimal karena rasa bersalah yang melebihi tekadnya.
Hidupnya tak pernah tenang bahkan merasa bahagia sama sekali. Di sekolah dan rumah sama saja euforianya untuk dirinya.
Dobby tak punya alasan untuk berbagi luka. Karena tak ada satupun orang yang dapat mengerti dirinya. Ia harus berlagak kuat hanya demi bisa menipu dirinya yang terlampau rapuh. Varo menjadi alasan paling kuat untuknya bertahan dan melepaskan segala lara.
Pemuda yang lebih muda tiga tahun darinya itu bahkan lebih menderita. Dobby ingat, ketika Ibu mereka pergi dari rumah dengan membawa semua baju di kopernya. Adu mulut bersama Ayah mereka yang sudah memerah wajahnya karena menahan amarah.
Varo menangis tak karuan, pemuda yang ketika itu masih berada di bangku sekolah dasar tak mengerti apa yang diperdebatkan kedua orang tuanya. Ia hanya takut ibunya akan pergi karena koper besar yang ada disana.
Dobby tak banyak menyela, pemuda itu hanya mampu mendekap tubuh kecil dan rapuh adiknya. Menghapus jejak air mata yang tak ada henti-hentinya di kedua pipi mungil itu.
Jika ada yang bilang Dobby juga tak mengerti dengan permasalahan kedua orang tuanya, maka kalian salah besar. Pemuda yang duduk di bangku kelas satu SMP saat itu sangat tahu akar masalah yang diperdebatkan kedua orangnya.
Perceraian karena perselingkuhan sang ibu.
Itulah masalahnya. Ayah jelas benar-benar marah. Apalagi ketika tahu Ibu ingin menggugat cerai dan menikah dengan selingkuhannya. Perdebatan mulut itu tak pernah ada habisnya, mereka terus saja menyahut dan menyalahkan satu sama lain.
"Kamu yang salah mas!" Teriak Ibu
Ayah mendesis tertahan, "Aku?!," Sambil menunjuk dirinya sendiri, wajah Ayah mengeras menahan amarah, "Kamu selingkuh itu salah aku?!"
Ibu mengusap air mata di kedua pipinya, "iya!. Kalo kamu gak bangkrut hidup kita gak bakal melarat dan susah begini. Kamu gak bisa buat aku bahagia. Kamu cuma bisa buat aku marah tiap hari!"
PLAK!
Tamparan yang terdengar keras itu membuat kedua dada pemuda yang terduduk dan merapatkan tubuh disudut tembok bergemuruh kuat. Semarah-marahnya Ayah pada Ibu tak pernah sekalipun tangan hangat itu melayangkan pukulan.
Ayah adalah sosok lelaki tegas yang lembut perlakuannya. Baik Dobby maupun Varo tak pernah merasakan tamparan ataupun kekerasaan lainnya kecuali teguran tegas dari Ayah. Ibu pun diperlakukan begitu, Ayah adalah sosok lembut yang sesungguhnya. Namun ketika melihat bagaimana kerasnya tamparan Ayah pada pipi Ibu membuat Dobby dan Varo memberingsut takut.
"Tampar terus aku mas, biar ini menjadi bukti kuat aku di pengadilan!"
Teriakan Ibu makin kuat, dan rahang Ayah makin keras. Ketika tangan itu kembali ingin melayangkan pukulan, Dobby dengan cepat berlari dan memeluk Ayah dari belakang. Air mata yang mengalir deras itu membasahi kemeja biru Ayah dan berhasil sedikit meredam emosinya.
Tangan Ayah yang melayang itu meluruh dan jatuh dengan sesal. Air mata yang tertahan akhirnya tumpah ruah. Dobby bisa merasakan irama nafas Ayah yang tak setabil, deru nafas yang memburu itu membuktikan bahwa Ayah benar-benar kehilangan rasa percayanya.
Ibu menghembuskan nafas jengah, matanya yang kabur karena air mata berusaha ia hapus setiap jejaknya. "Urusan kita hari ini selesai Mas!, Kita ketemu lagi di pengadilan. Dan aku harap kamu gak buat masalah kita makin rumit." Ucapan panjang itu terdengar begitu lugas tanpa ada sekat untuk dikeluarkan dari ucapan
"Aku pergi, ini udah jadi keinginan aku. Jadi kamu dan anak-anak gak perlu mengusikku lagi."
Selepas mengatakan ucapan penuh panah yang menyakiti kedua hati anaknya. Ibu pergi dengan menggeret kopernya. Suara sepatu hak tinggi berwarna merah yang dipakai Ibu menjadi lagu pengiring yang menyayat hati sebagai penghantar kepergian Ibu.
Varo menangis sekencang-kencangnya, ia berlari mengejar Ibu agar tetap tinggal dengan mereka. Namun sayangnya sudah terlambat. Sudah tak ada lagi jejak yang tersisa dari sang Ibu, yang ada hanya peliknya luka yang entah kapan bisa baik-baik saja.
Dobby pun sama, dengan masih memeluk sang Ayah dari belakang. Pemuda itu menangis tanpa suara. Air mata yang tak pernah berhenti itu ia biarkan begitu saja. Tak ada niat untuk menutupi seberapa sedihnya ia saat itu. Ia hanya ingin sang Ibu tahu bagaimana rasa sakit ini membuatnya memberingsut rapuh.
Ayah melepaskan pelukan Dobby dari pinggangnya. Kemudian kedua mata yang memerah itu menatap sendu. Teriris sudah hati Dobby melihat betapa kentara sekali bahwa Ayah tengah terluka. Air mukanya yang terlihat lelah tak lagi tampak menampilkan senyum hangat seperti biasanya.
Tepukan pelan pada kepalanya membuat Dobby makin rapuh saja. Ayah benar-benar membuat separuh dunianya runtuh, mengapa pula laki-laki dihadapannya ini seolah-olah sedang menenangkannya padahal Dobby tahu Ayah lah yang lebih butuh hal itu.
"Kamu ajak Varo ke kamar yah, kalo mau makan tadi Ayah belikan martabak. Ayah ke kamar dulu."
Selepas mengatakan itu, Ayah pergi meninggalkan jejak luka yang masih terlihat jelas di ruang keluarga mereka. Dobby memberengut perih menatap punggung Ayah yang bergetar. Ia yakin Ayah tengah menangis.
Selepas hari paling menyesakkan itu terjadi. Hari kian berlalu dengan cepat dan kejam. Hari-hari setelah Ibu pergi dengan tanpa ada hati memberikan luka pada mereka. Entah mengapa semuanya tiba-tiba berubah begitu saja. Ayah tak lagi bersikap lembut seperti biasanya. Setelah Ibu benar-benar pergi dari kehidupan mereka, Ayah dengan sekejab mata ikut berubah dingin.
Tangan hangat yang tak pernah sekalipun menyakiti itu kini dengan gampang dan ringan memukul tanpa ampun. Bibir yang selalu berucap teduh dan tersenyum itu kini berubah menjadi pengupat dan pembentak. Wajah teduh yang selalu menjadi favorit Dobby dan Varo kini tak lagi bisa membuat mereka tersenyum.
Ayah berubah, benar-benar berubah menjadi sesosok yang asing. Semua sifat baik dan lembut telah hilang begitu saja dari diri Ayah. Digantikan dengan sifat kasar dan kejam. Bahkan Ayah yang dahulu tak pernah sekalipun menyentuh minuman keras kini dengan begitu semangat menghabiskan berbotol-botol miras.
Sejak hari itu Dobby benar-benar hancur dan tak lagi bisa merasakan bagaimana indahnya bahagia. Punggung rapuhnya harus kuat memikul beban yang seharusnya belum waktunya ia rasakan. Namun dengan keadaan yang memaksa, ia harus kuat menjalankannya.
Karena Dobby yakin, semuanya akan berubah menjadi baik-baik saja di suatu saat yang menurut Tuhannya tepat.
***
.
.
.TBC
.
.
.***
Gak tega banget sih buat part ini, tapi kalian memang harus tahu kehidupan Dobby perlahan-lahan.
Jangan lupa vote+komen..
Bye...
KAMU SEDANG MEMBACA
KATA BIRU | Kim Doyoung
Teen Fiction#Treasure Series 01 *** Manusia-manusia itu selalu menutup mata. Padahal mereka tahu itu tidak pernah ada benarnya. Mereka hanya paham tentang bagaimana cara menjatuhkan dan mengadili tanpa memahami kebenaran. Karena ke-egoisan itu, tanpa sadar mere...