***
.
.
.***
"Ayo kita berteman."
Aku masih mempertahankan posisiku seperti tadi, ketika aku menyampaikan satu kalimat itu.
Senyum lebarku masih sama, dan jangan lupakan uluran tanganku yang sudah terjadi kurang lebih dua menit ini.
Walau kelihatannya sebentar, tapi kalo aku tetap memposisikan tubuhku begini saja, rasanya benar-benar pegal.
Dobby sedari tadi hanya diam tanpa berniat membalas perkataanku atau membalas uluran tanganku.
Aku mengehela nafas panjang, "Cuma berteman, masa kamu tetap gak mau."
Setelah mengatakan itu, aku sedikit melihat perubahan pada wajah Dobby. Pemuda itu tersenyum, yah walaupun senyumnya tipis bahkan nyaris gak terlihat.
Ia kemudian mengangguk pelan dan akhirnya membalas uluran tanganku juga.
Aku tersenyum karena hal itu, "Jadi teman kan sekarang?"
Dobby mengangguk dan melepaskan uluran tangan kami. Kemudian dia kembali pergi meninggalkan aku yang dari tadi tidak bisa berhenti untuk tersenyum bahagia.
Entah mengapa rasnya legah, dan... bahagia sekali.
Tapi kenapa harus begini yah perasaanku?
Ahkkk, sudah lah aku gak mau memikirkan hal aneh, apalagi memikirkan perkataan Nia.
Lebih baik aku pergi dan kembali ke kelas, karena ku yakin sebentar lagi bell pelajaran yang lain akan berbunyi dalam lima menit ke depan.
"Syifa."
Langkahku terhenti ketika panggilan itu dengan keras memaksaku untuk sekedar melihat seseorang di ujung sana.
Ia tersenyum dan melambaikan tangan sambil berlari pelan untuk menghampiriku yang masih diam di tempat.
Ia datang, ternyata ketua kelasku, Pandu
"Kenapa Ndu?"
"Sorry yah tiba-tiba manggil kuat banget, lo pasti kaget?"
Aku tersenyum dan menggeleng pelan, "enggak kok."
"Syukur deh kalo gitu."
"Kenapa yah manggil aku?"
"Oh iya sampai lupa kan, jadi gue ada tugas dari Bu Amel buat beli jurnal kelas. Lo mau gak temenin gue pulang sekolah buat beli?"
Aku menatapnya bingung, apa yang harus aku jawab. Menolak tapi tidak enak, menerima tapi tidak mau.
Huffth
"Ya udah deh, pulang sekolah langsung kan?"
"Iya," jawabnya antusias
"Makasih yah Fa,"
Aku tersenyum, "Iya sama-sama. Mau ke kelas bareng?"
"Ide bagus,"
***
Sudah sepuluh menit pelajaran Bahasa Indonesia yang diajarkan Pak Ade berjalan dengan lancar. Beliau menjelaskan semua materi dengan sangat rinci dan padat, sesekali diselingi dengan lelucon yang berhasil membuat perut satu kelas tergelitik untuk tertawa lepas.
Tak hayal sesekali mataku mencuri pandang pada bangku pojok tempat Dobby berada.
Cowok itu diam tanpa ada reaksi atas lelucon yang disampaikan oleh Pak Ade. Pandangannya hanya lurus kedepan, dan sepertinya dia tidak menyadari bahwa aku sedang menatap lekat dirinya.
"Syifa,"
Panggilan itu berhasil membuat aku tersentak kaget dan langsung mengalihkan pandanganku yang semula berpusat pada Dobby kini malah berpusat menghadap papan tulis, tempat Pak Ade berada.
"ii-iya Pak?" Tanyaku gugup
"Baca puisi kamu kedepan."
Aku menghela nafas berat, sambil melangkah maju kedepan kelas. Pandangan ku mengedar menatap satu persatu teman kelasku yang tersenyum lebar. Seolah mereka tidak sabar mendengar bagaimana setiap bait puisi yang aku tulis ini terdengar mengudara.
Namun, hanya Dobby yang masih menunduk dalam. Sedikit ada rasa
kecewa mendapati dirinya yang seolah tidak tertarik sama sekali.Aku beranjak dari dudukku, kemudian melangkah dengan hati dan nafas yang berat.
Kini aku sudah berdiri menghadap semua teman kelasku yang terlihat begitu semangat. Namun yakinlah aku benar-benar gugup jika sudah menjadi pusat perhatian.
"Semesta Raya" Sahutku mulai sedikit percaya diri
"Entah sudah sejak kapan aku benar-benar mencinta."
"Lagaknya yang damai, serumpun dengan hatiku yang berderit bahagia."
"Engkau tahu semesta raya, sudah lama derit jendela kamarku yang tua itu bersuara."
"Ia bilang, bahwa mencinta adalah keharusan."
"Bahwa ia bilang, mencinta adalah kesakitan."
"Lantas bagaimana bisa aku terdiam, menjatuhkan segala rasa pada sesosok seperti dirinya."
"Semesta raya, engkau pasti tahu bahwa mencinta itu tidak apa-apa."
"Terus terang dengan rasa yang sayangnya makin menggigil gila ini, menjadi serpihan yang entah kemana saja perginya."
"Nanti jika aku telah engkau temukan dengan serpihan itu, tolong buat bahagia menjadi satu-satunya yang dirasa."
"Terima kasih." Sahutku mengakhiri itu semua
PROK....PROK... PROK...
Suasana kelas menjadi ricuh ketika aku benar-benar telah menyelesaikan puisi itu. Tampak gurat bahagia ketika netraku menatap wajah mereka satu persatu.
Dan Dobby, ia menaikkan pandangannya. Ikut menatap balik diriku yang masih terpaku di depan kelas untuk beberapa saat menikmati hitam pekat kedua bola matanya.
Detik ini juga, aku bahagia. Karena lengkung kurva yang masih aku damba itu kembali terlihat, bahkan dengan lebar yang tampak lebih dari pada tadi.
Aku mengangguk, tersenyum amat bahagia menyambut senyum darinya.
Seolah-olah semesta menghentikan waktu. Aku tidak lagi mendengar suara tepuk tangan meriah, aku pun tidak lagi melihat orang-orang yang ada disini. Hanya ada satu titik disana, Dobby. Pemuda apa adanya yang sudah cukup menjadi pusat akan semua perhatian atas diriku.
Pemuda itu, dengan masih memamerkan kepekatan netranya bersamaan dengan lengkung kurva tipis yang tercetak indah dan menawan setiap kali mata ini memandang, kembali membuat degup yang entah bagaimana bisa aku mengartikannya.
Oh semesta, jika waktu ini memang sengaja engkau hentikan untuk memamerkan ciptaan indahmu di sudut sana.
Sungguh demi apapun engkau berhasil. Engkau sudah berhasil memamerkan setiap pahatan indah itu, dan membuat aku terus dan terus terpaku untuk kembali jatuh terpesona lagi dan lagi.
***
.
.
.TBC
.
.
.***
KAMU SEDANG MEMBACA
KATA BIRU | Kim Doyoung
Teen Fiction#Treasure Series 01 *** Manusia-manusia itu selalu menutup mata. Padahal mereka tahu itu tidak pernah ada benarnya. Mereka hanya paham tentang bagaimana cara menjatuhkan dan mengadili tanpa memahami kebenaran. Karena ke-egoisan itu, tanpa sadar mere...