•°The Looner°•

46 31 5
                                    

SETELAH Asad Emir pergi, sekolah jadi sepi.

Tidak ada lagi yang berkeliling koridor untuk mengingatkan anak-anak menyapu, membuang sampah dan merapikan rak sepatu. Tidak ada lagi yang menyemangati anak-anak ketika letih mengikuti Pramuka. Tidak ada lagi yang rajin memberi bintang di karya anak-anak mading.

Saat aku naik ke kelas lima, Eda sudah tidak ada. Padahal dia belum UN. Tapi kata Bu Leya, dia melanjutkan belajar di tempat lain. Aku tidak punya teman lagi di sekolah. Di rumah pun jarang bermain dengan Farsi karena dia bilang harus cari uang. Aku pernah mengintip di jendela, Farsi pergi naik angkot sambil membawa ukulelenya. Mama juga lebih giat mengetik di laptop dan membawa bertumpuk-tumpuk kertas, pergi dengan ranselnya sampai malam entah ke mana. Mama juga mirip anak yang bersekolah, anak agak dewasa yang bersekolah.

Di hari-hari itu aku sangat kesepian. Rasanya, rumahku jadi lebih luas, dan pekarangan rumah juga luas. Tapi seluas-luasnya dunia, hatiku seperti kotak padat tanpa udara. Sesak. Sampai akhirnya, hari-hari berlalu dan aku juga mengadakan acara perpisahan. Aku tidak maju untuk dapat hadiah, aku tidak berfoto dengan siapa pun, dan aku tidak menangis. Setelah pembawa acara mengucap salam, Mama menggandeng tanganku dengan tak sabar untuk membawa kami pulang.

⛄❄⛄

Itu seperti deja vu.

Aku berpegangan di kepala kasur sementara Mama menarik kakiku. Padahal aku sudah bilang tidak mau sekolah, aku hanya akan membaca dongeng di rumah sampai jadi nenek-nenek. Tapi, Mama mendaftarkanku diam-diam dan sekarang memaksaku pergi. Padahal, aku sungguh tidak mau jadi anak SMP! Seragam yang Mama berikan itu sangat aneh dan roknya sempit sampai-sampai aku merobek tepian bawahnya kemarin. Akhirnya, Mama membelikan rok baru yang lebih banyak lipatannya dan kemeja yang lebar.

Semakin aku keras kepala, semakin Mama marah sampai mematikan lampu dan menutup kamar. Aku benci kegelapan. Mama membuatku berlari ke luar sambil berteriak ketakutan. Mau sebebal apa pun aku, pasti kalah.

Mama tersenyum puas saat meninggalkanku di depan gerbang SMP yang dijaga dua anak besar dengan bet panitia. Melihat wajah galaknya saja, aku sudah tidak suka. Mereka mirip Tweedledum dan Tweedledee, jadi aku akan memanggilnya begitu.

"Hari pertama sekolah, kok, terlambat? Kamu kira ini novel remaja, hah? Lari-lari ke gerbang terus nabrak cowok ganteng?"

Di lapangan, anak-anak sudah berbaris hendak memasuki ruang aula. Kata Mama, hari ini acara sambutannya ada di sana. Tapi, dua anak laki-laki di depanku malah menghalangiku masuk seolah-olah mereka penjaga gerbang kerajaan.

Keningku berkerut. "Aku tidak lari-lari."

"Eh, bisa, ya, ngomong ke kakak kelas pakai 'aku'? Anak baru enggak tahu sopan-santun!"

"Kata Mama, yang enggak sopan itu kalau bicara dengan nada tinggi."

Kedua anak laki-laki itu terbelalak. Tweedledum menyikut Tweedledee yang langsung mengeluarkan pulpen dan kertas.

"Nama kamu siapa?"

"Ayarikha."

"Nah, Ayarikha," Tweedledum tersenyum licik, "kamu anak pertama yang kena sanksi. Habis acara penyambutan murid baru, bersihkan halaman belakang sekolah, ya. Selamat."

⛄❄⛄

Aku terjatuh setelah anak-anak baru keluar dari ruang aula, sehingga banyak di antara mereka tertawa. Badan mereka besar-besar, padahal kami seumuran! Seharusnya kami punya badan yang sama. Mungkin mereka makan sayuran raksasa sampai punya tenaga yang mampu menghempasku. Bibirku sudah bergetar dan mataku panas, tapi kata Mama, tidak ada lagi tangis-menangis saat SMP.

"Ayo, bangun."

Seorang anak perempuan mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Aku bangkit dan membersihkan seragam yang terkena abu cat dinding.

"Lain kali hati-hati, ya."

"Iya."

"Kamu ingat namaku? Tadi aku ikut maju pas anak-anak panitia perkenalan."

"Asyifa Navi."

Dia tertawa. "Aku lihat barusan kamu baca bet namaku. Panggilnya Syif aja, ya."

"Iya."

"Oh iya, sekalian aku mau ingatkan. Besok rambutmu dikuncir, ya, karena panjangnya sudah sesiku. Terus, kalau lengan seragamnya kepanjangan dan menganggu, dilipat aja sekali. Biar tampilannya lebih rapi."

Anak itu jauh lebih tinggi dariku, dengan kerudung putih membingkai wajahnya yang cerah seperti ibu peri setelah makan timun. Dia juga mengenakan bet panitia, di sana tertulis: Asyifa Navi. Aku mengangguk dan hendak ke halaman belakang, sebelum dia berseru.

"Mau ke mana? Biasanya tempat nunggu jemputan ada di depan."

"Mau bersihkan halaman belakang."

"Hah? Memangnya ada yang suruh?"

"Ada. Dua panitia laki-laki kurus dan gendut. Tweedledum dan Tweedledee."

Syif tampak berpikir sejenak, kemudian tersentak setelah ingat sesuatu. "Sudah, enggak usah. Kamu pulang aja."

"Bagaimana kalau mereka marah? Mereka telur, nanti mereka pecah."

"Ah, apa?" Syif mengernyitkan alis kebingungan, lalu menggelengkan kepala. "Sudah, enggak usah dipikirkan. Biar aku yang urus."

Aku melihat punggung Syif yang bergegas menjauh. Cara jalannya sangat tangkas dan cepat, mengingatkanku pada seseorang yang dulu sangat kukagumi. Aku memilin tali ransel sambil berjalan ke bangku-bangku tempat menunggu jemputan di dekat gerbang. Beberapa anak melirikku dan berbisik-bisik. Aku tidak suka jika mereka melakukan itu, sangat menyebalkan.

Tapi, baru kusadari bahwa sejak tadi aku memperhatikan mereka sambil berdiri karena tidak kebagian tempat. Sebagian anak tak acuh, sebagian lagi menyindir-nyindir dengan aneh. Akhirnya aku pergi dan duduk di tangga lantai koridor depan kelas.

Tahu-tahu, pundakku ditepuk.

"Kamu murid baru, ya?"

Aku mendongak pada beberapa anak perempuan yang lewat di sana. "Iya."

"Baik-baik, ya, di sini. Semoga kamu senang."

Lalu mereka pergi.

Dari jauh, aku bisa mendengar mereka terkikik kecil. Entah apa yang lucu. Tapi, Tweedledum dan Tweedledee muncul dari kelas dan menghadangku. "Kamu melapor sama Kak Syif, kan!?"

"Dia bukan satpam, bukan tempat melapor."

"Astaga," Tweedledum menepuk punggung Tweedledee, "anak ini bikin jengkel, sumpah."

"Kita kerjain aja pas MOS besok."

"Jangan, nanti kita kena sanksi panitia."

"Terus gimana?"

"Aku ada ide."

Kedua anak lelaki itu melintas pergi dan meninggalkanku sendiri dengan kebingungan. Aku terus menunggu di sana sampai lewat jam dua belas dan sekolah sudah sepi. Lagi-lagi, Mama terlambat menjemput. Saat dia datang dan aku hendak naik ke motor, Mama menahan pundakku untuk mengambil sesuatu.

"Apa ini?"

Aku terkejut. Ternyata selama ini, selembar kertas bertuliskan "aku orang aneh" menempel pada seragamku. Itu hari yang sangat buruk dan tidak menjamin bagaimana buruknya hari-hari kemudian.

Aikha tidak mau sekolah.

Sama sekali tidak.

⛄❄⛄

Once in a Blue Moon [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang