•°The Døg°•

79 37 4
                                    

KELINCI PUTIH selalu datang tepat waktu, bahkan mengecek arlojinya setiap saat dan bergumam, "oh, tidak! Aku akan terlambat!"

Barangkali Mama boleh seperti itu, jangan seperti ini: dia datang menjemputku saat sekolah sudah sepi. Kedua kalinya bahkan jangka waktu lebih lama lagi. Sudah berlalu para ayah yang menjemput anak-anak di gerbang. Mungkin mereka bukan kurma, atau ayah mereka ikut menanam. Tidak seperti Thumbelina. Tidak sepertiku.

Tinggallah suara angin, derit ayunan, lalu kendaraan yang kadang lewat silih berganti. Langit bahkan bergemuruh dan lagi-lagi mau hujan. Hampir-hampir kulihat awan berlomba lari dengan sepatu burung mereka. Kata Mama hanya ada musim hujan serta kemarau. Padahal aku pengin musim semi, gugur, panas dan salju. Bukan musim durian.

Bibirku bergetar. Mataku mulai berair. Tiba-tiba sudah ada Bu Leya, terkejut untuk datang tergopoh-gopoh. "Ibunya belum datang? Mau Bu Leya teleponkan?"

Aku mengangguk. Dia terus menekan tombol, menunggu, menekan tombol, menunggu, mendesah. Bunyi aneh terdengar: tulalit, tulalit. Katanya, ponsel Mama tidak aktif. Aku semakin ketakutan. Tapi, kegundahan itu sirna ketika seseorang memasuki gerbang sekolah.

Bukan Mama.

Itu Asad Emir dengan sepedanya, setelah aku mengira ia turun dari langit dengan sayap lebar. Dia bergegas mengambil sesuatu dari kelas dan hendak pergi lagi, sebelum dipanggil Bu Leya.

"Kenapa, Bu?" tanyanya sopan.

"Ini enggak ada yang jemput. Rumah kamu di mana?"

"Di dekat sini, Perumahan Griya."

"Alhamdulillah. Dia juga tinggal di sekitar situ. Kamu bisa antarkan dia? Rumah Ibu jauh banget, dekat pelosok."

"Bisa aja." Asad Emir tersenyum, dia menunjuk jok belakang. "Ayo naik, Dik."

Bu Leya menyuruhku berpegangan pada Asad Emir, jadi aku memeluk ranselnya dengan erat karena takut jatuh. Kalau itu adalah sayapnya, mungkin bulu-bulu selembut kapas sudah rontok. Ranselnya berwarna biru tua seperti samudra dan harum lavendel. Nyaris aku tertidur di bawah gumpalan awan kelabu dan udara dingin.

"Adik di blok apa?"

Aku menggeleng. Asad Emir berpikir sejenak. "Hm ... coba tunjuk, ya, kalau nanti kita lewatin rumah Adik."

Mendadak jatuhlah serintik hujan dari langit. Satu, dua, dan tumpuah ruah semua seperti bebatuan es. Asad terkesiap. "O-ow! Pegangan yang erat! Aku mau ngebut!"

Aku meremas ransel Asad Emir selama ia berkendara dengan cepat. Hujan semakin deras. Asad berseru, "Gawat! Gawat! Ini daerah Guguk Galak!"

Terdengarlah anjing menyalak. Aku dan Asad Emir menoleh ke belakang--terbelalak--

"AAA!"

Asad Emir mengayuh pedal semakin cepat dan aku mencengkeram ranselnya. Bagaimana kalau sepeda ini terpeleset dan kami dimakan anjing? Rasanya aku mau menangis lagi. Aku tidak mau dimakan anjing, perut mereka pasti bau tulang. Kami sudah basah semua, tak ubahnya anak kucing yang tercebur di kolam renang.

Di jalanan yang sepi, hanya terdengar gonggongan anjing, deru hujan, dan gemerincing rantai sepeda. Tapi, datanglah mimpi buruk kemudian yang membuatku dan Asad Emir menunduk ke arah roda.

Rantai sepeda Asad Emir lepas.

⛄❄⛄

"Pegangan!"

Sambil gemetar ketakutan, aku naik ke punggung Asad Emir dengan melingkarkan tangan di lehernya; sedang dia memanjat pohon dan membiarkan sepeda menggeletak di pinggir trotoar. Tepat saat kami tiba di atas, anjing itu tiba di bawah. Menyalak-nyalak tanpa ampun. Asad Emir duduk di dahan pohon yang besar dan kokoh, sementara aku dipangkunya. Hiks, Goofy nakal!

"Kita tunggu kalau ada orang dewasa lewat, ya," tuturnya sambil menyeka air mataku, "jangan takut. Sebenarnya, anjing itulah yang takut sama kita. Dia jadi jahat karena takut kita yang bakal jahat."

Di atas pohon besar itu kami  kehujanan dan kedinginan. Guguk Galak tak lelah untuk berhenti menggonggong. Orang dewasa pun tak ada yang lewat. Ketika hujan mereda, dia menyuruhku memeras rambut dan pakaian. Setelah itu, Asad Emir mengeluarkan jaket dari ranselnya (seperti Dora yang serbaguna).

"Pakai ini dulu, ya, biar enggak terlalu kedinginan." Dia menyampirkan jaket itu dari atas pundakku. Lalu membagi wafer cokelat. Aku mengamati seragamnya yang masih basah, mencari-cari apakah di sana ada kantung Doraemon.

Meski begitu, aku tetap merasa tenang. Malaikat Kecil mampu membuatku merasa aman, sekalipun kami terjebak di atas pohon. Karena sejak ia memberiku jaket hangat dan wafer cokelat, rasanya kami tidak lagi menggigil di atas pohon ....

Aku dan Asad Emir duduk di atas cadas, menikmati semilir angin dan suara deburan ombak. Ikan-ikan melompat riang dari air sebening permata biru. Di kejauhan, datanglah kapal Kapten Hook bersama kroninya. Mereka hendak menyerang Neverland! Tapi, Peter Pan muncul disusul Anak-Anak yang Hilang. Kulihat Tinkerbell sangat marah ketika Wendy terbang mendahuluinya.

Aku bersin.

"Gawat, jangan sampai Adik kena flu," gumam Asad Emir sambil mengeluarkan tisu. Dilapkannya ke hidungku dengan telaten, bahkan lebih baik daripada Mama yang biasanya malah kesal. Alih-alih mengatakan, "sabar, ya" seperti Malaikat Kecil sekarang, Mama selalu bilang, "coba jangan ingusan!"

Suara gonggongan semakin pelan. Guguk Galak bahkan hendak tertidur, kudengar dia ngorok. Kemudian, lewat seorang pejalan kaki. Asad Emir memanggilnya sampai ia mendatangi kami.

"Hush! Pergi! Anjing buluk!"

Guguk Galak mencicit dan berlari menjauh. Pria asing itu membantuku dan Asad Emir turun dari pohon.

⛄❄⛄

Setelah memperbaiki rantai sepedanya, Asad Emir kembali mengantarku pulang. Saat melewati rumah kecil bertingkat warna putih-biru, aku menarik baju Asad Emir seolah itu tali kekang kuda. Kududuk di samping Pak Kusir yang sedang berkerja, mengendarai kuda supaya baik jalannya, hei. Nah, aku suka yang ini. Tuk kitak kituk kitak kituk kitak kituk.

Asad Emir tersentak dan berhenti.

"Kenapa? Ini rumahnya?"

Aku langsung turun dan berlari ke pekarangan untuk mengecek motor vespa dan sepatu pantofel Mama. Ternyata benar. Aku melambaikan tangan pada Asad Emir. Anak lelaki itu tersenyum dan balas melambaikan tangan.

"Cepat ganti baju, ya! Makan yang hangat-hangat juga," katanya sambil memutar haluan dan menekan bel sepeda. "Dadah!"

Aku memandangnya pergi di kejauhan. Bisakah dia mendengar syairku?

Kring kring sepeda Asad Emir,
Kring kring bunyi lonceng mungil,
Dengan sepeda ia berkeliling,
Itu dia Malaikat Kecil,
Kring kring!

⛄❄⛄

Once in a Blue Moon [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang