•°The Acceptance°•

50 31 23
                                    

SETIAP orang punya trauma, dan tidak sedikit anak yang berjalan menuju sekolahnya dengan jantung berdebar-debar. Aku berusaha tampil tidak mencolok dengan menutupkan tudung dan menyelipkan rambut ke dalam jaket. Tapi, entah kenapa masih ada saja orang yang melirikku dan berbisik. Kenapa orang-orang ini suka berbisik? Katakan saja apa pun di depanku! Yah ... setidaknya agar aku tahu, meskipun bisa jadi, aku akan sakit hati saat mendengarnya.

Aku mengambil tempat duduk di paling belakang dekat lemari buku. Tapi, seorang gadis berseru, "Hei, jangan duduk di sana. Sudah ada yang punya. Kursi yang ini kosong kalau kamu mau." Dia menunjuk meja dan kursi di belakangnya, yang adalah di barisan kedua dari depan. Bukan tempat strategis dan tersembunyi.

"Terima kasih," kataku pelan. Kuharap dia anak baik, bukan tipikal yang membantu di awal untuk mengerjai di akhir. Diam-diam kuperhatikan, wajahnya pun agak familiar. Rambut hitamnya tergerai sepundak dengan jalinan indah melingkar dari pelipisnya, tampak seperti putri dari negeri dongeng Asia.

"Kenapa ngeliatin aku?" tanyanya.

"Tidak apa-apa."

"Ngomongnya kamu kok baku banget? Santai aja kali."

"Sudah terbiasa begini."

"Oh. Omong-omong, kamu kan enggak ikut PLS dan perkenalan kemarin. Namaku Hilda."

"Aku Ayarikha."

Hilda langsung menelengkan kepalanya dan menatapku dengan kening berkerut. Lalu, mengedikkan bahu. "Oh."

Kian lama, anak-anak pun berdatangan mengisi kelas yang tadinya sepi. Dan aku harus bisa bertahan dari setiap tatapan sinis, hingga lontaran pertanyaan ketus yang penuh prasangka dari mereka.

Terutama ketika seorang gadis dengan gaya pongah memasuki kelas dan mendelik kepadaku. Itu gadis yang tempo hari menuduhku terlambat dan sengaja duduk di barisan anak laki-laki. Saat seseorang memanggil namanya, aku tersentak.

Tulip.

Bukankah dia anak yang satu tim denganku waktu jurit malam di SMP?

⛄❄⛄

Sebagian besar guru tidak menotis kehadiranku yang mendadak setelah dua hari alfa. Mereka hanya melihat sekilas dan tidak bertanya macam-macam. Untunglah.

Hanya saja, aku tidak mengerti dengan segala penuturan mereka tentang pelajaran itu. Pelajaran IPS jadi lebih susah berkali-kali lipat dari ketika aku masih SD sebab banyak kosakata yang tidak kupahami. Bahkan ketika pelajaran Matematika, kupikir aku akan mati saat itu juga. Kebanyakan anak pun mengeluh gundah.

Tapi, Pak Nugi tetap sabar dalam mengajari kami. Dia punya otak yang cerdas dan bisa menghitung cepat, sementara kami seperti siput-siput yang ingin sampai ke garis finis namun tertidur di jalan. Lantas ketika bel berdering lagi, siput-siput itu langsung bangun sesegar air es di kutub utara. Setelah pelajaran ditutup, mereka berbondong-bondong ke luar kelas. Kulihat dari jendela; ada yang pergi ke koperasi, toilet, taman, atau hanya duduk kurang kerjaan di bangku koridor.

"Ayarikha. Ayo ke perpustakaan."

"Untuk baca buku?"

"Untuk tidur!" Hilda mencubit lengan jaketku dengan gemas. "Untuk cari bahan tugas kelompok IPS kita tadi, lah."

"Ada tugas?"

Hilda melongo. "Kamu terbang ke Amerika, hah? Sudahlah. Yuk, ke perpustakaan." Dia langsung mengamit lenganku ke luar kelas. Di koridor, kami berpapasan dengan Tulip dan temannya.

Once in a Blue Moon [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang