SUDAH tiba masa liburan, setelah anak-anak kelas sembilan lulus dan kelas lainnya ujian semester. Aku masih tak mengerti tentang konsep sekolah selama ini. Baca buku, ujian, lulus atau mengulang. Kupikir guru-guru seharusnya mengajak bermain di depan kelas dengan permainan yang membuat pintar, bukan justru menyuruh kami membeli LKS, setelah itu menjadikan hasil ujian sebagai penentu segalanya.
Ada banyak anak yang tidak baik, dan setelah ujian pun, mereka masih tidak baik. Harusnya sekolah tak membiarkan itu.
"Ayiya?"
Aku yang sedang melamun di balkon, tersentak ketika Farsi muncul di balkon seberang. Sudah lama kami tidak bermain. Aku selalu pergi sekolah, Farsi entah pergi ke mana. Aku bahkan tidak sadar jika dia juga sudah tinggi, dan rambutnya yang dulu menegang ke atas, kini sudah jatuh ke bawah menggantung sebagai poni.
"Iya."
"Enggak sekolah?"
"Libur."
"Kamu mau main?"
"Mau."
"Ayo," Farsi mengambil ukulelenya yang tadi tersandar di dinding, "kita jalan-jalan."
"Ke mana?" aku ikut berdiri dan turun dari balkon. Kami bertemu di bawah setelah ke luar pagar rumah masing-masing. Kemudian, Farsi memanggil angkot.
"Aku enggak punya uang," kataku.
"Enggak usah bayar."
"Mengutang?"
"Bayarnya habis kita punya uang."
"Kapan?"
"Sekarang."
Kami menumpang di salah satu angkot yang pak supirnya mengenal Farsi. Dia menurunkan kami setelah beberapa menit, di depan sebuah warung makan sederhana. Aku hanya mengikuti ke mana Farsi pergi dan memerhatikan sekitar. Sesungguhnya, aku agak takut. Apa Mama mengizinkanku pergi ke tempat ini? Tapi, dia sama sekali tidak memberiku larangan pergi ke suatu tempat. Jadi, tidak apa-apa.
Farsi mulai memainkan ukulelenya dan bernanyi dengan suara yang semakin bagus setiap waktu. Aku yang duduk di sebuah kursi, menatap anak itu dengan kagum: Farsi seperti Miguel dalam film Coco. Beberapa orang terhibur dan meletakkan uang ke dalam topi yang Farsi pegang, sebelum dia membungkuk dan mengajakku keluar.
Kami pindah dari satu tempat ke tempat lain. Warung terbuka, kedai kopi, stan makanan, lalu tempat lainnya. Aku hanya berdiri dan diam, memerhatikannya dengan banyak pertanyaan. Farsi selalu dan hanya menyanyikan Lagu Untuk Mama yang pernah dia sebut-sebut itu. Tapi, orang-orang tampak tak masalah, justru menyukainya. Kadang, ada seorang yang sampai menitikkan air mata.
"Kenapa selalu Lagu Untuk Mama?" tanyaku ketika kami beristirahat di depan sebuah toko buku kecil, di pinggir jalan raya dengan kendaraan hilir-mudik.
"Karena aku cuma sayang Mama."
"Apa ada lagu untuk papa?"
"Ada, tapi aku enggak mau."
"Kenapa? Lagunya jelek?"
"Bagus, kok. Cuma ... lirik lagunya enggak sesuai sama aku."
"Aku mau dengar."
Farsi memandangi wajahku yang sangat penasaran dan tidak sabar, lalu menghela napas. Dia mulai mengangkat ukulele dan memetik senar. "Teringat masa kecilku, kau peluk dan kau manja. Indahnya saat itu ...."
Aku melirik Farsi yang tiba-tiba tercenung, tatapannya kosong. Aku menggoyangkan pundaknya. "Farsi?"
"Enggak bisa," katanya sambil menggelengkan kepala. "Lagu ini enggak cocok sama aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Once in a Blue Moon [✔]
Teen FictionDalam dunia Ayarikha, imajinasi dan kenyataan berbaur sedih. Ayarikha dikuasai dongeng dan terus bergantung pada seorang anak laki-laki yang sama sejak SD hingga SMA. Setelah Mama menghilang, Ayarikha terlunta-lunta demi menghidupi dirinya sendirian...