TERKADANG, aku tertidur dan melihat gambar-gambar nyata yang hilang ketika terbangun. Kata Mama, itu namanya mimpi. Ada banyak hal aneh berkeliaran di alam mimpi. Aku pernah melihat dinosaurus memasak roti, yeti menjadi dokter, atau Mama yang berubah warna seperti bunglon. Dalam mimpi itu, juga muncul anak-anak lain. Ada Farsi yang memukulkan ukulele ke kepala seorang pria, atau Eda yang berubah jadi ratu angsa, Zafar menunggangi banteng terbang ... bahkan Asad Emir menyelamatkan warga yang desanya dihantam tsunami.
Tapi, dari sekian banyak mimpi, ada pula yang rasanya amat sangat nyata. Seolah-olah itu bukan mimpi, tapi ingatan terpendam yang bangkit lagi. Aku melihat dalam pandangan buram itu, bahwa aku merangkak menuju kaki seseorang yang sedang menelepon di ruang tamu. Pria itu menggendongku, menyimpan ponselnya, dan bermain ciluk-ba.
Wajahnya samar, tapi aku tahu dia tersenyum bahagia. Dia bermain denganku, membuatkanku susu, dan tidur bersamaku di depan televisi. Kadang, Mama baru datang seperti pulang sekolah, dan pria itu memeluknya. Mengatakan untuk tidak menyerah dan dia akan terus mendampingi.
Kilasan gambar itu beralih.
Tahu-tahu, aku sedang menangis. Aku tahu itu di rumah, karena ada sofa ruang tamu dengan beberapa orang dewasa berbaju gelap. Aku menangis karena seorang anak batita lain merebut teh kotak dariku, sehingga anak yang lebih tua memarahinya.
Tubuhku diangkat oleh seseorang yang mendekap dengan lembut. Bukan pria yang bersama Mama, tapi seorang anak lelaki yang sangat mirip dengannya. Dia menyeka air mataku dan membawaku mendekati jendela, melihat rinai hujan yang jatuh berbulir-bulir. Aku tak mengenalnya, jadi aku terus menatap wajahnya; meraba-raba hidung, mata dan mulutnya, sampai yakin bahwa dia bukan orang jahat. Tapi dalam mimpi itu, segalanya tampak buram seperti kacamata berembun.
⛄❄⛄
"Kenapa?" aku mendekati Mama yang baru saja selesai menelepon di meja makan. Wajahnya tampak sumringah dan lebih tidak kusut dibanding yang sebelum-sebelumnya.
"Aikha, ada seseorang yang mau datang--"
Bel rumah berdentang. Mama langsung bangkit dan memakai kerudung, lalu membukakan pintu. Ternyata, Om Arzanka dan Tante Dena kembali berkunjung. Aku melongok untuk melihat apakah ada seorang anak perempuan dengan kepangan dan boneka bebeknya, tapi hanya menemukan bahwa kedua pasangan itu tidak membawa anak.
"Eda lagi sakit, enggak mau ikut," kata Tante Dena ketika aku menyalimi tangannya yang lembut. "Abangnya ada agenda sama teman-teman. Aduh, padahal liburan begini harusnya Q-Time, 'kan?"
Mama mengulum senyum ketika mempersilakan Om dan Tante untuk duduk. "Anak-anak cepat sekali beranjak remaja, ya. Sekarang, mereka punya dunianya sendiri."
"Iya, sejak Eda masuk SMP, dia jadi lebih sering bercermin dan berganti-ganti model rambut," kata Tante Dena, tersenyum memandangku. "Kalau Aikha rasanya enggak pernah berubah."
Aku masih duduk sambil mengayun-ayunkan kaki, menatap para orang tua yang berbincang akrab. Ada banyak hal yang diobrolkan, dan aku tidak tertarik mendengarkan. Aku hanya terus melihat Om Arzanka, bahwa ia sangat mirip Asad Emir versi dewasa jika tidak memakai kacamata. Dan perawakannya mirip dengan pria yang menjaga wujud kecilku di dalam mimpi. Om Arzanka tampak sangat familiar dalam banyak hal.
"Aikha boleh main ke rumah kapan aja. Anak-anak bakal senang kedatangan sepupu main mereka," kata Tante Dena.
"Iya, Aikha. Apalagi Eda itu kelihatannya pengin adik perempuan," kata Om Arzanka. "Abangnya sampai terganggu kalau Eda sudah mulai mendandaninya atau ngajak main Barbie."
KAMU SEDANG MEMBACA
Once in a Blue Moon [✔]
Ficção AdolescenteDalam dunia Ayarikha, imajinasi dan kenyataan berbaur sedih. Ayarikha dikuasai dongeng dan terus bergantung pada seorang anak laki-laki yang sama sejak SD hingga SMA. Setelah Mama menghilang, Ayarikha terlunta-lunta demi menghidupi dirinya sendirian...