•°The Magician°•

45 29 18
                                    

SETELAH liburan, aku naik ke kelas yang lebih tinggi. Menyelesaikan tingkat akhir SMP itu tanpa sedikit pun kesan yang tertinggal selain kesendirian, dan kegalauan tentang Papa. Cukup lama sampai aku berhenti mempermasalahkan itu, sejak mulai paham bahwa seandainya aku menangis darah, toh, Papa tidak akan kembali. Ada beberapa logika baru yang entah muncul dari mana, membentuk pola-pola berpikir lain.

Meski demikian, yang mencolok adalah seiring waktu aku kian merasa tak bisa berbuat apa-apa. Seperti bonggol kayu yang terbawa arus sungai. Aku tak tahu tentang diriku, aku tidak memiliki tujuan hidup, dan aku sudah muak dengan sekolah-sekolahan itu. Justru belakangan ini Mama yang jadi lebih sibuk.

Lagi-lagi, dia tetap mendaftarkanku di salah satu sekolah yang sekarang disebut SMA. Ternyata ada banyak jenjang sekolah, mulai dari dasar, menengah pertama, sampai menengah atas. Bagaimana mungkin anak-anak tidak stres menghadapi tuntutan belajar dua belas tahun penuh, padahal banyak dari mereka belum terbiasa? Masih ingin bermain mengasah kreatifitas, bukan berpegal-pegal duduk di kelas dengan setumpuk buku tebal yang lebih mirip bantal.

Aku tak tahu apakah orang tua memang suka mengurus perlengkapan sekolah anaknya atau tidak. Tapi, Mama menyiapkan segala hal yang kubutuhkan mulai dari seragam hingga buku, bahkan membeli sebuah gawai.

Aku melongo. "Untuk apa? Kita hanya buang-buang uang, Mama."

"Untuk masa depan Aikha."

"Masa depan apa?"

"Kalau Aikha tahu gimana hidup Mama dulu di desa, Aikha pasti bersyukur dengan ini semua."

"Aikha lebih mau di desa, main di sawah."

Mama menahan sudut bibir yang berkedut, memikirkan sesuatu namun batal mengutarakannya. Aku meraih gawai di atas meja, membolak-balik dengan bingung. Aku tak pernah mengoperasikan perangkat itu, hanya melihat orang-orang memegangnya di mana dan kapan pun mereka berada. Gawai itu tampak seperti lubang hitam yang mengisap orang-orang ke sebuah dunia antah berantah.

"Aikha tidak butuh ini."

"Pasti bakal sangat butuh."

"Kenapa?"

"Untuk berkomunikasi."

"Siapa yang mau dihubungi? Aikha tidak punya teman."

Mama selesai meletakkan seluruh buku di meja, lantas menghela napas. Dia tersenyum penuh makna. "Pasti ada."

⛄❄⛄

Aku ingat pernah berpikir bahwa Mama adalah pesulap, karena dia sering hilang dan muncul tiba-tiba. Padahal, aku baru sadar bahwa dia hanya pergi untuk suatu urusan sampai lembur. Tapi, kali ini pun, aku kembali dikejutkan olehnya.

Ketika aku terbangun, selembar kertas tertempel di pintu kamar.

Maaf enggak sempat pamit karena trem berangkat jam empat, Aikha masih tidur. Ingat untuk hidup yang teratur, jangan lupa solat, sekolah baik-baik. ATM dan HP ada di nakas, jadwal sekolah juga. Selama Mama pergi sebentar, bakal ada yang menjaga Aikha. Tunggu aja.

Aku harap, Mama memang seorang pesulap yang sedang melakukan lelucon padaku. Tapi kenyataannya, seharian itu aku menunggu di ruang tamu dan dia benar-benar tak kembali, tidak seperti dulu.

Dia telah pergi jauh.

Tiba-tiba tanganku gemetar, jantungku berdebar-debar. Ketika malam tiba, aku mengunci pintu, menutup gorden dan tak keluar rumah hingga besoknya. Aku berusaha menyalakan gawai untuk menghubungi Mama, tapi terus gagal karena aku sama sekali tak mengerti cara menggunakannya.

Once in a Blue Moon [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang