•°The Girl°•

44 31 14
                                    

SEJAK DAHULU, aku sering ketakutan dan merasa terancam. Tidak tahu oleh apa, tapi rasanya ada banyak hal berbahaya di luar sana. Aku butuh tempat yang aman, atau setidaknya seseorang yang menciptakan tempat aman. Kupikir itu buku dongeng karena dia membuatku lupa tentang dunia. Kupikir itu Mama karena dia yang mengurusku selama ini. Kupikir itu Malaikat Kecil karena selalu menolongku dalam setiap masalah. Tapi, dari ketiganya, tidak ada yang benar-benar membuatku merasa aman setiap waktu. Tidak ada yang benar-benar selalu ada di sisiku.

Seandainya Papa masih hidup, tentulah dia menjadi yang paling aman dan sepanjang waktu mendampingiku!

Tapi, kenyaatannya tidak. Karena terkadang, ada banyak hal yang mengecewakan dan dikecewakan itu sungguh sakit. Jadi, aku akan berusaha untuk tidak mengecewakan siapa pun terutama Mama, karena aku tidak mau mereka merasakan sakit hati sepertiku. Jadi, aku tidak akan merepotkan Mama lagi. Aku akan berangkat sekolah pagi ini.

Aku sudah memakai seragam yang Mama gantung di lemari: kemeja putih dan rok abu-abu panjang dengan banyak lipatan. Semuanya terasa longgar seperti agak kebesaran, tapi aku lebih merasa aman karena itu mirip pelukan beruang. Aku juga mengenakan jaket Mama yang warnanya biru gelap, membiarkan rambut tergerai membingkai wajah sampai nyaris menutupnya, lantas menaikkan tudung jaket.

Aku berangkat dengan sepeda tua yang terparkir di pekarangan, sengaja pagi-pagi sebelum banyak tetangga ke luar rumah mereka. Pada selebaran yang Mama tinggalkan, terdapat jadwal kegiatan dan rute menuju sekolahnya. Aku mengikuti peta kecil itu hingga tiba di depan gapura dan gerbang besar bertuliskan "SMAN". Entah kenapa nama sekolah-sekolah itu punya angka di belakangnya, seolah mereka pernah main petak umpet dan berhitung bergantian.

Beberapa motor menyalip sepedaku dengan agresif sampai aku terkejut setengah mati. Para pengendara itu adalah anak laki-laki yang tampaknya bukan murid baru alias senior. Dan senior-senior suka bergaya seperti akan menabrakku, lalu mereka tertawa.

Aku membawa sepeda menjauhi tempat parkir motor siswa, menuju kawasan sepi di pinggiran. Sekolah belum dimulai, tapi lagi-lagi jantungku sudah berdebar dan lututku lemas. Rasanya aku akan pingsan saat itu juga, jika bukan karena seorang guru yang memanggilku untuk segera berkumpul di aula.

Aku menurunkan tudung jaket dan memasang topi sampai topi itu pas menutup alisku. Anak-anak telah duduk rapi di tempatnya. Empat baris pertama untuk perempuan, lima baris di belakangnya untuk laki-laki. Tapi, kursi di tempat perempuan sudah penuh. Aku semakin gemetaran ketika seorang panitia menyuruhku duduk di kursi yang tersisa, sehingga aku jadi satu-satunya anak perempuan yang terpisah.

Hal kedua yang mengerikan adalah anak-anak menjadi lebih tinggi dan besar! Aku tak yakin apa mereka masih bisa disebut anak-anak, karena sebagian yang laki-laki bahkan punya kumis! Aneh sekali. Kenapa perubahan anak-anak itu semakin spesifik saja seiring waktu?

Di depanku adalah anak laki-laki jangkung yang menghalangi pandanganku terhadap para pembicara di podium. Di sebelah kiriku adalah anak laki-laki yang kakinya tidak bisa rapat, seolah-olah dia mau merampas tempat orang lain atau menginjak kakiku. Sehingga selama acara sambutan berlangsung, aku hanya menunduk dan bertahan dalam posisi kecil itu, yang semakin membuatku menyusut.

Rasanya mau menangis saja.

Seorang panitia mendekat dan berbisik, "Sudah bisa pindah ke depan."

Pelan-pelan aku menengadah dan melirik sebuah kursi kosong di barisan ke empat paling ujung. Aku segera bangkit dan bergegas ke sana, lalu duduk dengan sentakan napas pelan. Seakan-akan aku baru saja tercekik dalam lautan sebelum kembali bebas. Aku tahu ada banyak mata yang dari tadi memperhatikan, tapi aku tak akan memedulikan. Yang penting, para pembicara di depan masih tidak mengacuhkanku meskipun aku pindah-pindah tempat.

Once in a Blue Moon [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang