KETIKA pagi itu aku berangkat sekolah, langit sudah mendung disertai gerimis kecil. Orang-orang memakai mobil sehingga jalanan jadi agak padat, sampai sering kali beberspa kendaraan bersinggungan dengan sangsi.
Sejak di perempatan lampu merah, hujan mulai mengguyur deras. Aku menaikkan tudung jaket dan bergegas mencari tempat berteduh terdekat. Aku memarkirkan sepeda di bawah kanopi sebuah warung kecil yang masih tutup.
Kuperhstikan jalan raya yang licin itu dihujam air hujan dengan keras dan berangin seperti badai. Meski pandangan menjadi agak berkabut, aku masih dapat melihat seseorang di seberang sana. Seorang gadis dengan sergaam yang sama denganku.
Tulip sedang marah-marah kepada seorang pria di sbeelahnya, sesekali menunjuk sebuah sepatu yang tergeletak agak ke tengah jalan. Entah bagaimana, tapi barang itu mungkin snagat berharga sampai Tulip akan rela kehujanan. Pria yang kuduga ayahnya itu terus mncegah Tulip agar tidak nekat mengambil sepatu, tapi Tulip bersikeras. Sampai akhirnya dia menepis tangan ayahnya dan berlari menerjang hujan, aku terbelalak.
Sebuah motor sedang melaju ke arahnya. Aku bergegas mendekati pinggir jalan dan berteriak, "Mundur Tulip! Ada motor!"
Tulip yang terkesiap segera melompat ke belakang dnegan tersenggal-senggal, ketika motor itu melintas. Jantungku ikut berpacu juga. Tanpa sadar, aku pun sudah berdiri di luar kanopi agar suaraku sampai ke seberang, meski kerudungku jadi basah. "Ambil sepatunya nanti saja! Jalanan masih bahaya!"
"Ayarikha awas!"
"Apa? Aku bilang ambil sepatunya nanti saja--"
TIIIIN!
Aku terkejut oleh bunyi klakson yang sangat nyaring dan decitan rem--ketika sebuah mobil yang tergelincir di jalanan licin menghantam bagian warung setelah menyerempetku. Aku terpental agak jauh dan terhempas di aspal--menggerung akibat rasa sakit yang menggelenyar dari seluruh tubuhku yang kini tak bisa bergerak. Cairan kental mengaliri wajah, tangan dan kakiku--terbasuh oleh air hujan yang kian deras.
Segalanya sakit sekali. Perih. Ngilu. Ya Tuhan.
Aku menangis ketika orang-orang berkerumun dengan panik dan mengamankanku. Air mataku terus berderai bahkan saat kesadaranku mulai tergerus. Aku tak ingin mati. Jangan cabut nyawaku.
Kumohon.
⛄❄⛄
Ada kalanya manusia datang ke sebuah persinggahan antara hidup dan mati. Tidak ada yang dilihat. Hanya gelap. Hitam. Kelam. Sendirian. Ketakutan ....
Sekarang hanya tinggal menunggu keputusan Tuhan. Takdir apa yang akan Dia gariskan? Apakah kembali hidup atau dimatikan saja? Tergantung dari bagaimana manusia itu hidup sesaat sebelumnya. Sudah cukupkah untuk dia memasuki surga--atau tidak? Jika cukup, maka rohnya akan pergi dari jasad. Dan jika tidak, rohnya akan menetap karena Tuhan begitu sayang untuk memberi kesempatan kedua. Begitulah yang pernah seseorang sampaikan padaku.
Sepertinya, aku belum pantas masuk surga.
Perlahan, aku merasakan kesadaran. Rasa sakit yang kembali menerjang, memori yang berkelebat, dan pikiran yang mulai berjalan. Seluruh anggota tubuh bekerja sama untuk kembali pulih dan membuka mataku.
Aku melihat dengan buram, sebuah ruangan yang sangat asing berwarna monoton dengan banyak peranti canggih. Aku dapat mencium bau antiseptik. Aku dapat meraba selimut lembut yang hangat. Aku dapat menyentuh sebuah kepala yang tertidur di pinggir kasur--
Keningku berkerut. Siapa itu?
Sedetik kemudian dia bangun dengan terkejut, matanya yang sembab membulat melihatku. Dia segera menekan sebuah tombol sehingga seorang perawat dan dokter datang. Mereka melakukan beberapa hal dengan alat-alat perak, sebagian dilakukan kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once in a Blue Moon [✔]
Teen FictionDalam dunia Ayarikha, imajinasi dan kenyataan berbaur sedih. Ayarikha dikuasai dongeng dan terus bergantung pada seorang anak laki-laki yang sama sejak SD hingga SMA. Setelah Mama menghilang, Ayarikha terlunta-lunta demi menghidupi dirinya sendirian...