KETIKA aku membuka pintu, seseorang telah berdiri di sana. Memandangku dengan penuh makna, sebelum merentangkan kedua tangannya dan mendekapku.
"Mama pulang, Aikha."
Aku tak bisa menahan air mata yang terbendung selama empat tahun.
⛄❄⛄
S
ekarang, usiaku delapan belas tahun. Tinggal dua belas bulan sebelum segalanya akan snagat berbeda, penuh kesibukan dan tanggung jawab besar. Aku masih seorang anak, itu sebabnya aku menuruti apa yang dikehendaki oleh orang tua.
Oleh Mama.
Kini setiap waktu dia habiskan bersamaku. Mengajariku banyak hal. Mengajakku jalan bersama. Saling berbagi kisah. Dia melakukan itu semua karena tahu bahwa waktunya untuk mengasuhku sudah hampir habis. Sebentar lagi, aku akan berada di bawah pengawasan orsng lain, seseorang yang lebih berhak dslam segala hal. Hari berlalu, bulan, tahun ... sampai usia itu pun tiba. Dan memang begitulah keinginan Mama: dia tak sanggup merawatku dengan baik. Dia butuh seseorang untuk menggantikan perannya.
Padahal, kalau kataku, dia telah berhasil membesarkan seorang anak kecil yang kini menjadi gadis muda. Yang sudah meelwati dua belas tahun masa pendidikan wajibnya. Dan peran seoranh ibu, tentu tidak tergantikan oleh apa pun.
"Bukan digantikan, Mama. Tapi diteruskan."
Mama berhenti menyisir rambutku, termenung sejenak. "Mama harap juga gitu, Aikha."
Setelah dia merapikan rambutku, membawakan sebuah pakaian yang sederhana namun tetap saja lebih bagus dari pakaianku yang lain. Membantuku memakai riasan wajah yang natural sehingga wajah asliku masih tampak jelas. Kata Mama, seringkali anak lebih cantik dari ibunya. Di ruangan itu tidak hanya ada Mama. Ada Tante Dena dan seorang temannya yang mengerti soal tata busana untuk acara sakral seperti akad nikah.
Akad nikah.
Frasa itu terus terngiang di benakku. Apa yang terjadi sampai aku bisa-bisanya berada dalam kondisi ini? Apa? Kalau kukulik sejak awal, dasarnya hanya satu: patuh. Patuh terhadap keputusan Mama yang telah disepakati keluarga, ketika Kairo datang kepada Om Arzanka untuk mempersuntingku. Segalanya berawal dari harapan Mama.
Namun, itu sebuah kepasrahan yang tidak memberatkan. Karena aku tahu, orang yang Mama pilih punya banyak kelebihan yang sangat cukup untuk sebuah alasan. Dan aku yakin, aku akan baik-baik saja jika berada dalam ikatan suci dengannya. Selama niat dia tidak berubah. Selama niatku juga begitu.
Pukul delapan pagi, acara sederhana itu akan berlangsung di rumahku. Ketika sang penghulu telah hadir. Ketika sang wali telah hadir--dan dia adalah Om Arzanka, pamanku sendiri. Ketika segelintir hadirin telah masuk ruangan. Ketika Eda datang dengan langkah gontai, perlahan mendekatiku, menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca. Eda menangis sambil mendekapku sangat erat.
"Aku tidak apa-apa, Eda."
"Aku yang enggak sanggup, Aikha. Aku tahu ini semua punya banyak kebaikan, tapi kenapa sekarang ... apa kamu--"
"Tidak, Eda. Aku tidak merasa mimpiku terkekang."
"Betulan?"
"Iya," aku tersenyum, "karena aku sudah rela."
Setelah segalanya siap, acara itu dibuka. Dilanjutkan dengan khutbah, dan seterusnya, sampai pembacaan ijab-kabul yang menggetarkan hatiku. Aku sudah sampai di sini. Aikha, ternyata beginilah akhirnya. Kemudian, proses bergulir dengan lancar disertai haru para hadirin. Aku sendiri tak merubah ekspresi saking berdebarnya, tampak mirip patung du museum. Hanya ketika pemuda itu meraih tanganku untuk saling bertukar cincin, aku merasa kembali dari alam yang tak kumengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once in a Blue Moon [✔]
Fiksi RemajaDalam dunia Ayarikha, imajinasi dan kenyataan berbaur sedih. Ayarikha dikuasai dongeng dan terus bergantung pada seorang anak laki-laki yang sama sejak SD hingga SMA. Setelah Mama menghilang, Ayarikha terlunta-lunta demi menghidupi dirinya sendirian...