ANAK lelaki itu menunduk sambil menyodorkan sebuket bunga. "Aku bakal balik pelatihan. Aku minta maaf kalau Aya marah gara-gara waktu itu."
Sebelum aku membuka pintu tadi, aku mengambil kain terlebih dulu dari lemari Mama dan memakainya ke kepala. Seperti yang diajarkan Syif. Seperti yang diarahkan Kairo. Bahkan meskipun Farsi adalah teman kecil yang sudah seperti keluarga, dia tetap anak laki-laki dan tidak sedarah.
"Aku tidak marah, Farsi." Kukembalikan buket bunga itu padanya. "Bawa saja ini di perjalanan."
"T-tapi ini untuk Aya."
"Aku tidak butuh bunga, Farsi." Kutatap buket itu dengan nanar. "Ada hal lebih besar yang kubutuhkan, dan itu bukan sebuah barang."
Farsi terpana sambil memandangku, sebelum dia kembali menunduk. Mengulum bibir. "Aku bakal cari tahu apa yang kamu butuhkan, Aya."
Aku melihat kepergian Farsi dari teras rumah, ketika Mama Ivy berdiri di depan pagarnya dan melambaikan tangan. Mobil tersebut kembali membawa Farsi pergi seperti dulu, membuat Mama Ivy mengeluarkan tisu dan mengelap sudut matanya. Aku masuk ke rumah, menutup pintu.
⛄❄⛄
Belakangan ini aku merasa kacau tanpa tahu kenapa. Mungkin karena beberapa tragedi menimpaku secara berurut, atau ujian sekolah yang susah, sampai aku pusing memikirkan semuanya. Terkadang aku merasa sedih, tahu-tahu senang--tapi memang lebih banyak sedih. Memikirkan Mama yang tak kunjung pulang, ketiadaan Papa, anak-anak yang pernah memperlakukanku dengan buruk ....
Bel rumahku berbunyi. Aku kaget saat membukakan pintu.
"Aikha! Aku kangen." Eda memelukku sebelum kupersilakan masuk. "Libur ujian kakak kelas lama banget."
Eda memperhatikan sekitar. "Dari dulu aku bingung, Aikha. Kenapa kamu sendirian? Mamamu mana?"
"Mama pergi."
"Ke?"
"Tidak tahu."
Eda melongo. "Serius enggak tahu? Aduh, kok bisa, sih?"
"Bisa saja."
"Terus kamu makan gimana? Bayar listrik? Air?" Eda melepas tas selempangnya dan beranjak ke dalam. Dia melihat semua ruangan mulai dari ruang tengah, dapur, kamar mandi. "Kamu sudah sarapan? Ayo kita masak. Sini, Aikha! Hm ... ada bahan masakan apa aja?"
Sementara Eda sibuk berceloteh sambil mengecek setiap lemari dan kulkas di dapur, aku jadi berpikir: benar juga. Bagaimana selama ini air dan listrik di rumahku tidak pernah padam? Siapa yang rutin membayarnya?
Aku ikut membantu Eda memasak mi rebus yang digabung dengan telur. Kata Eda itu disebut piza. Padahal, piza yang kutahu dibuat dari adonan--dengan saus, keju dan peperoni. Akhirnya kami berdua duduk di meja makan dan menyantap hasil masakan. Tapi mendadak, aku jadi mual.
"Eh, kenapa? Enggak enak?"
"B-bukan. Sebentar Eda--" Aku bangkit dan bergegas ke kamar mandi. Tapi setelah kembali dari sana, wajahku pucat.
Eda seperti Mama. Dia mengomel beberapa kali mengenai kejadian tersebut. Katanya, apa kamu lupa pelajaran biologi kelas sembilan?--Atau--gimana sampai usia segini kamu enggak paham soal itu?--dan--itu semua normal, Aikha! Astaga. Cuma sedikit terlambat.
Tapi meskipun aku bisa mengatasinya secara otodidak (walau tak pernah melihat contohnya), tetap saja aku takut. Apalagi setelah Eda mengatakan sesuatu tentang "peluang punya anak". Rasanya aku ingin muntah. Aku hanya mengurung diri di kamar, mempelajari beberapa hal dari internet. Bertanya-tanya kenapa aku tidak lahir sebagai anak laki-laki saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once in a Blue Moon [✔]
Roman pour AdolescentsDalam dunia Ayarikha, imajinasi dan kenyataan berbaur sedih. Ayarikha dikuasai dongeng dan terus bergantung pada seorang anak laki-laki yang sama sejak SD hingga SMA. Setelah Mama menghilang, Ayarikha terlunta-lunta demi menghidupi dirinya sendirian...