BEBERAPA hari, kegembiraanku seperti direnggut paksa. Kata Mama, renggut artinya diambil. Kukira itu janggut, padahal janggut itu rambut di bawah dagu Merlin si Penyihir Agung.
Karena kegembiraanku diambil oleh-entah-siapa, tak ada lagi dongeng indah: hanya ada mimpi buruk. Buruk, buruk, buruk. Aku tak berani keluar dari balik selimut, aku tak berani ke kamar mandi sendiri, aku akan menangis kalau Mama hilang lagi. Kukira dia bunglon.
Tapi aku terus mencari hal baru sampai kulihat permen kapas violet menaungi rumah kami setiap pagi; kadang merah muda, putih dan jingga. Aku selalu berharap mereka berjatuhan ketika hujan--oh, andaikan air hujan bisa berubah jadi susu atau karamel. Aku pernah menjulurkan lidah saat hujan dan rasanya seperti pasir.
Aku juga pernah mencari kendil emas di ujung pelangi yang sepertinya berakhir tidak di mana-mana. Setiap pelangi itu kukejar, dia lari. Sama seperti matahari dan bulan. Dan bayanganku yang balik mengejarku sampai aku tersungkur di aspal. Aku masih percaya koin-koin emas itu menunggu pemiliknya datang. Atau unicorn sudah menyantapnya. Bayanganku bandel, ketika dia memasukkan jempol ke kedua telinga dan menjulurkan lidah.
Jangan beri tahu siapa-siapa, soal aku memburu peri di Dunia Rumput. Sesungguhnya sayap mereka terbuat dari tetesan salju dan cahaya matahari musim semi, rambut mereka bergelombang seperti ombak di tepian pulau Hawaii--sampai dia berubah jadi roh jin perempuan yang elok karena Dunia Rumput sudah diserbu zaman kegelapan.
Aku tidak suka jin, tidak juga hantu. Aku tidak boleh sendiri kalau tidak mau disergap hantu dari belakang leher, atau dari bawah kasur, atau kuku-kuku tajam nenek sihir yang menyayat kaca jendela. Setiap aku menutup mata, muncul monster kelabang yang terbang dan hilang saat aku berteriak. Jadi, aku sering teriak tengah malam.
Tapi kalau aku tidak tidur, Mama bilang aku akan digigit nyamuk (penjelmaan vampir Cina). Aku tidak tahan gelapnya peti mati yang penuh kapur barus. Rasanya pengap, dan kepalaku sering sakit seperti ditusuk jarum Penyulam Taplak.
Mama heran, ia bertanya bagaimana aku tahu rasanya ditusuk jarum sedangkan kepalaku tidak pernah di-akupunktur. Dia membawaku ke gedung serba putih bau antiseptik, yang riuh tangisan bayi-bayi dan bunyi keletak-keletuk sepatu. Yeti adalah Makhluk Salju Jahat yang berbulu putih dan bertaring. Di sini ada banyak Yeti.
Setelah kami masuk ke ruangan kecil, aku melihat dokter berwajah hijau mengangkat senapan laser. Aku menjerit dan berlari keluar.
"AAAA!"
Seekor Yeti menangkapku sebelum nyaris jatuh ke tangga. Dia membelai kepalaku dan bertanya ini-itu, tentang jamur atau kudanil atau apa. Aku terus berteriak. Mama datang tergopoh-gopoh dan membawaku kembali. Ditahannya pundakku. "Aikha!"
Aku tersentak dan berhenti teriak.
"Hari ini periksa, bukan suntik."
Setelah mengucek mata, kulihat pria bersetelan perlente serba putih tersenyum. Bukan Yeti, bukan zombi. Wajahnya tidak lagi sehijau timun. Ia hendak memberikan lolipop madu jika aku mau berbaring dengan tenang dan membuka mulut. Entah apa yang dia lakukan.
Tapi setelah mengemut lolipop madu, aku sudah ada di sarang lebah. Bernyanyi sambil menari bersama sang ratu sebelum bokongku ditendang oleh prajurit lebah keluar sarang, lalu ada Mama menjentikkan jari di depan wajahku.
"Ayo, sudah boleh turun." Mama menggendongku sebelum duduk di kursi.
Dokter bilang, aku sakit sesuatu karena menonton kartun di televisi dan terserang banyak rasis. Setelah diulang tiga kali, ternyata namanya radiyasi. Katanya aku tidak boleh berpikir dan makan produk susu. Pasti ulah Shaun yang meracuni susunya. Atau Plankton atau Swiper. Sepertinya aku butuh bantuan Pinguin Madagaskar. Tapi, aku baru ingat: Shaun adalah domba jantan dan tidak menghasilkan susu.
⛄❄⛄
Ada kalanya lampu di rumahku mati, es salju di kulkas meleleh, dan televisi tak bisa menyala meski remotnya sudah kukunyah. Baru saat itu kusadari kalau rumahku sebesar istana puteri raja. Jadi aku berkeliling, naik-turun tangga atau memanjat lemari, sampai telingaku berdenging.
Tak ada suara selain itu dan gema tetesan air entah di mana. Mama bisa lenyap di balik kamar--aku takut dia masuk ke ruangan rahasia di samping kamar itu karena dia selalu melarangku ke sana. Menyentuh pintunya saja dia akan marah. Mungkin itu tempat monster-monster makan jengkol.
Mama adalah pesulap. Kadang-kadang, dia menyulapku yang tidur di depan televisi ke atas kasur. Kadang-kadang, aku tidur di sampingnya dan dia menghilang sampai pagi. Aku mencarinya tapi kemudian sudah jam tayang Dora, jadi aku lupa ada Mama atau tidak.
Aku pernah mengintip dari jendela, banyak anak-anak bertempur di jalanan. Mereka melempar sendal ke gunung sendal, menembak bola-bola kecil di tanah, atau berlari dan memukul punggung. Mengerikan. Aku tidak sama seperti mereka. Yang setiap pagi berangkat dengan baju seragam dan ransel (bukan punya Dora).
"Mereka mau ke mana? Mereka harus lewati Sungai Ular, Jembatan Trol, Bukit yang Tinggi. Sungai Ular, Jembatan Trol, Bukit yang Tinggi. Tapi mereka tidak bawa Peta. Dan tidak ada monyet pakai bot merah. Mama, mereka mau ke mana?"
"Mereka mau ke sekolah," jawab Mama. "Tempat anak-anak belajar."
"Belajar memijat Mama pakai minyak kayu putih dan bukan minyak goreng?"
"Aikha harus belajar itu, ya, biar enggak kejadian lagi. Mereka ini belajar membaca, menghitung, dan menulis."
Tapi, aku tidak ikut belajar sama mereka. Mama bilang, aku belajarnya di rumah saja. Lagipula, mereka anak-anak besar--sedangkan aku masih sekecil anak semut (atau seukuran anak lembu). Intinya, aku akan diculik kalau pergi ke luar rumah tanpa Mama. Aku bisa dibebat dalam mobil algojo dan dijual ke hutan Amazon untuk berburu tupai. Aku tidak suka tupai, mereka tidak ramah.
Oh, aku tidak ingin itu terjadi. Dunia luar begitu berbahaya, seperti Dunia Rumput, seperti dunia Dongeng Dan Rumah Tangga Grimm. Ini syair tentang itu.
Anak baik hidup bahagia,
Anak jahat dihukum mati,
Anak baik menyejukkan hati,
Anak jahat tak punya hati,
Tapi dunia luar tidak tahu bedanya.⛄❄⛄
KAMU SEDANG MEMBACA
Once in a Blue Moon [✔]
Teen FictionDalam dunia Ayarikha, imajinasi dan kenyataan berbaur sedih. Ayarikha dikuasai dongeng dan terus bergantung pada seorang anak laki-laki yang sama sejak SD hingga SMA. Setelah Mama menghilang, Ayarikha terlunta-lunta demi menghidupi dirinya sendirian...