•°The Progress°•

39 31 3
                                    

SELANG beberapa hari, aku sudah bisa pulang ke rumah. Tubuhku mulai pulih dan bergerak normal, meski terkadang kepalaku masih agak pusing. Kata Om Arzanka yang adalah dokterku waktu kecil, aku memiliki riwayat penyakit migrain, yang mana gelombang otaknya agak berbeda dari orang biasa. Maka dari itu, aku dianjurkan agar tidak berpikir terlalu keras. Sedangkan aku adalah anak yang sangat suka memikirkan banyak hal.

Kemarin, aku sempat bertanya-tanya pada Kairo soal Mama. Apakah dia akan pergi selamanya? Apakah dia bahkan peduli padaku? Dan bagaimana seharusnya ibu memperlakuksn anak? Lewat pesan telegram, Kairo pun mengisahkan sebuah kisah nyata dari masa lalu. Tentang seorsng ibu yang melakukan apa pun agar anaknya selamat dari pembunuhan bayi laki-laki yang diperintah raja mereka.

Ada yang bilang bahwa namanya adalah Ayarikha, ibunda Nabi Musa.

Seperti nama Aikha.

Bagus, 'kan? Pasti Mama Aikha punya harapan besar dengan ngasih nama yang sama kayak nama ibunda Nabi Musa. Ayarikha itu ibu yang keren banget, tangguh dan penyabar. Dia patuh pas Tuhan perintahkan untuk menghanyutkan Musa ke sungai, karena percaya Tuhan punya rencana.

Tapi, sekarang tidak ada Firaun jahat. Dan Aikha bukan bayi laki-laki yang harus dihanyutkan. Apa perjuangan Mama?

Perjuangan tiap ibu kan beda-beda. Ada yang berjuang pakai fisik, ada yang pakai pikiran dan perasaan.

Jadi, Mama berjuang pakai apa?

Kalau Aikha kenal mama, Aikha bisa pikirkan itu sendiri.

Aku mulai berpikir bahwa Mama adalah ibu yang sering tidak mengacuhkanku. Tapi di lain sisi, bukankah dia mengurusku seorsng diri tanpa ayah selama ini? Mama mengurusku ke sekolah. Mama membuat makanan. Mama membacakan dongeng dan mengajariku membaca. Ya ... dan dia bekerja untuk menghidupi kami. Dia memenuhi segala kebutuhanku.

Tapi dia menyembunyikan segala hal tentang hidupnya.

Pagi itu ketika aku sedang bersiap ke sekolah, gawaiku berdering. Agak aneh kalau itu Kairo, sebab di Edirne masih pukul dua malam. Kulihat nama yang tertera di layar dan terkejut.

"Assalam--"

"Mama!"

"Aduh Aikhaaa, kebiasaan memotong salam itu enggak bagus."

Aku segera menjawab salam. "Mama hilang lama sekali. Mama kapan pulang?"

"Sebelumnya Mama mau tanya kondisi Aikha dulu. Sudah baikkan? Sudah diurus di rumah sakit, kan? Sudah bisa sekolah? Aikha tahu enggak, Mama hampir kena serangan jantung waktu dengar kabar Aikha masuk UGD! Aikha ngapain aja sih sampai seceroboh itu?"

"Aikha tidak refleks, Mama. Aikha lambat seperti kukang."

Mama mengomel. "Lain kali hati-hati! Jangan dekat jalan raya kalau hujan. Enggak ada cedera yang parah banget, kan? Patah tulang? Luka jahitan?"

"Tidak Mama. Lukanya tidak sampai dijahit. Tulangnya tidak sampai patah."

Mama menghela napas panjang. "Syukurlah. Mama saking paniknya sudah berhari-hari nyari sinyal sampai ke gunung. Untung di sini ada gubuk punya mendiang kakeknya Aikha."

"Mama, tapi kenapa lama sekali? Kenapa belum pulang?"

"Iya, Aikha ... maaf. Sebenarnya ceritanya agak rumit. Banyak yang enggak sesuai prediksi Mama."

Once in a Blue Moon [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang