TAHU-TAHU, aku didaftarkan ekskul teater. Kata teman-teman, itu berdasarkan formulir minat-bakat yang kuisi waktu masa orienstasi. Padahal, aku tidak suka main drama dan memerankan orang lain (aku pilih itu, kan, gara-gara si Kuncir Kuda kejedut pintu). Aku mau jadi aku saja, yang jiwanya abadi sebagai anak-anak sampai nenek-nenek. Tapi, mereka terus mengancam, kalau aku tidak datang ekskul, nanti dilaporkan ke guru BK yang seram (kumisnya tebal dan terlihat jahat).
Sekarang, aku terlibat di antara perdebatan anak-anak ini, ketika undian peran dibagi dan aku mendapatkan Puteri Salju. Anak-anak perempuan malah memperebutkan itu padahal Puteri Salju, kan, tersedak apel. Ketika undian dikocok lagi, aku tetap dapat Puteri Salju dan Dannis pangerannya. Semua anak semakin histeris.
"Pasangan ini buruk banget!"
"Si Kecil sama si Gendut? Ampun, deh!"
Dannis sangat tersinggung. Dia bersedekap sambil menjauhi lingkaran berkumpul yang kembali merundingkan peran. Dannis bersandar pada dinding di sebelahku, cemberut.
Aku menepuk pundaknya. "Padahal, pangeran tidak harus kurus."
"Enggak, mereka benar. Aku memang jelek."
"Lalu kenapa kalau jelek? Si Buruk Rupa adalah pangeran dan jelek."
"Tapi, habis itu dia berubah ganteng!"
"Tidak semua hal dinilai dari fisik, Dannis. Quasimodo bungkuk dan tuli, tapi dia punya hati yang suci seperti katedral tempatnya membunyikan lonceng."
"Kamu menyamakan aku sama tokoh kartun itu?"
"Ayarikha!" Luva yang adalah pemuda pembina teater itu memanggilku. "Keputusan bulat, kamu harus bisa memerankan Puteri Salju."
"Apa ada adegan peti jatuh dari kuda?"
"Enggak, dong?" Luva terkekeh geli. "Ya sudah, cepat semuanya berkumpul. Ini hasil undian kita. Dannis tetap pangerannya. Tulip, Ratu Jahat; Dava, pengawal kerajaan; Ligar, ayah Puteri Salju; dan kurcacinya adalah Kiki, Melati, Atha ...."
Pemuda itu terus membacakan peran, lalu meminta kami berlatih beberapa hal. Seperti membuat mimik wajah, mengasah vokal, dan hal aneh lain. Tentu saja aku hanya diam karena itu konyol. Si Kuncir Kuda yang ternyata bernama Tulip itu jengkel sekali sampai dia mencubit pipiku.
"Iih, Ayarikha! Coba ikuti latihan betul-betul! Kak Luva! Ayarikha, tuh!"
Aku meringis dan merengut. "Belum jadi Ratu Jahat saja sudah jahat," kataku sebelum semua anak tertawa.
Ekskul teater sore itu selesai dengan baik bagi mereka, dan buruk bagiku. Aku tidak bisa menirukan kalimat, oh pangeranku, dengan nada seperti gelandangan lemas yang tidak makan setahun. Tidak pula kalimat-kalimat lembut lainnya. Kata Luva, Ayarikha dan suara kekanak-kanakannya enggak bisa berubah. Dan kata Dava, ekspresiku seperti pak satpam yang tidak pernah tersenyum.
Ada banyak komentar yang mereka lontarkan, semakin menuntutku untuk tampil sempurna. Hanya saja, aku tak bisa mewujudkan itu. Entah bagaimana pentas seni kami seminggu lagi, tapi Tulip sudah sangat yakin bahwa segalanya akan berantakkan.
⛄❄⛄
Setiap hari kami terus latihan. Aku dipaksa berkali-kali untuk bersuara nyaring--namun tidak bisa--hingga akhirnya semua orang menyerah. Dannis tampak lebih sering kelelahan. Dia bilang, sekarang dia rajin olahraga pagi meski pun setelah itu makan donat sekotak dan minuman cokelat. Luva tampak ingin putus asa, ketika aku sama sekali tidak bisa tidak menonjok wajah Dannis ketika dia mendekat ke peti. Dannis sudah menangis beberapa kali dan ditenangkan dengan bar sereal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once in a Blue Moon [✔]
Roman pour AdolescentsDalam dunia Ayarikha, imajinasi dan kenyataan berbaur sedih. Ayarikha dikuasai dongeng dan terus bergantung pada seorang anak laki-laki yang sama sejak SD hingga SMA. Setelah Mama menghilang, Ayarikha terlunta-lunta demi menghidupi dirinya sendirian...