NYARIS aku ketakutan saat masuk di kelas baru yang angka di plakatnya adalah 4-A.
Anak-anak sudah banyak berbeda dari ketika kami di kelas 1-A. Pertambahan angka di plakat kelas juga menambah tinggi dan merubah wajah mereka. Eda yang dulu dikuncir dua, sekarang mengepang rambutnya. Dia bahkan tidak membawa Tuan Donal lagi. Di rumah, Farsi juga agak berubah. Rambutnya lebih lebat dan mencuat ke sana-ke mari. Berantakkan, tapi tidak jelek. Dia pun tambah tinggi bahkan pernah sombong gara-gara itu.
Kenapa semua orang semakin tinggi? Jangan-jangan, aku yang keturunan Hobbit.
Aku tidak tahu apakah Asad Emir masih bisa disebut Malaikat Kecil, karena sekarang aku harus mendongakkan kepala sampai pegal hanya untuk melihat dagunya. Dia juga semakin sering beraktivitas. Rasanya, dia jadi ada di mana-mana. Main bola di lapangan, mengatur barisan upacara, membantu Pak Lukman bawa map-map, membetulkan rak sepatu yang roboh, menambal atap kelas yang bocor ....
Asad Emir seperti pahlawan sekolah.
Dia juga pernah berdiri di panggung saat acara besar untuk mengumumkan kegiatan baru para murid, yaitu mengurangi sampah plastik dan gotong royong setiap jumat. Bahkan ada yang bilang kalau Asad Emir mengusulkan aturan untuk sekolah. Seperti, tidak jajan ke luar pagar melainkan di koperasi dan kantin, pembagian kelas tidak berdasarkan peringkat, jadwal imam di musala sekolah ....
Asad Emir seperti seorang komandan.
Begitu kelakuan dan tampangnya yang berubah, tapi matanya akan tetap sama. Bulat terang, penuh pengetahuan dan bara semangat. Seperti bulan berisi perpustakaan kebakaran. Dia yang paling sempurna, dan malaikat memang makhluk paling sempurna. Makanya, aku terkejut dan sedih saat mengetahui kejadian hari ini.
⛄❄⛄
Aku berdiri di samping pintu UKS, menunggu orang-orang di dalam sana keluar. Ramai sekali anak yang menjenguk Asad Emir setelah ia mematahkan lengannya waktu bermain sepak bola. Beberapa menit kemudian anak-anak itu bubar bahkan tak melihatku. Apakah aku tak kasat mata atau terlalu kecil?
Aku mengintip sedikit. Asad Emir sedang meregangkan tubuhnya sedikit sebelum beranjak istirahat, begitulah yang disuruh Bu Ralin dan seorang temannya. Aku terbelalak saat melihat temannya yang menemani itu:
Zafar.
Tirai yang mengitari ranjang Asad Emir sudah ditutup dan Zafar baru mau keluar, tapi saat itulah dia melihatku dan mendekat. "Ngapain?"
Aku diam saja.
Dia melihat kotak bekal yang kubawa dan bertanya, "apaan tuh? Buat Asad?"
Aku diam saja.
"Yee, kalau orang ngomong dijawab, dong. Asad mau istirahat. Mendingan, hadiahmu simpan dulu."
Aku masih diam dan mencuri pandang ke dalam.
Zafar menghela napas. "Ya sudah, buruan masuk. Tapi jangan kelamaan."
Akhirnya aku masuk dan meletakkan kotak bekal di atas nakas. Itu roti bakar. Tadinya, aku mau menghibur Asad Emir seperti ia menghiburku waktu aku sakit dulu.
"Boleh lihat?"
Zafar menaikkan alisnya. "Lihat apa? Tangan orang patah? Hadeh, anak-anak ini suka betul sama yang kena musibah. Dikiranya keren."
"Bukan, aku hanya mau tahu apakah dia menangis atau tidak. Kalau dia menangis, dia bukan Asad Emir."
Zafar tercenung. "Kamu tanya dia nangis atau enggak? HAHAHAH!" anak lelaki itu tergelak sampai ditegur Bu Ralin. Akhirnya kami disuruh keluar dan terpaksa berbicara di koridor.
"Asad itu bukan cowok lemah! Duh, apalagi yoko geri kekomi-nya itu loh, ngeri. Lagian, kamu enggak tau kan dia pernah ngalamin hari-hari buruk?" Zafar berbisik. "Di perumahannya yang dulu, dia dirundung anak-anak tetangga. Sudah gitu, perumahannya digusur pula!"
Aku mengernyitkan kening. "Rundung?"
Zafar mengangguk. "Soalnya, dia orang elit yang tinggal di perumahan enggak elit. Katanya sih, lingkungan di sana lebih sehat gara-gara jauh dari pusat kota. Tapi perumahannya termasuk wilayah konglomerat-siapa-gitu, jadi digusur paksa buat dijadikan lahan-entah-apa."
Aku termangu mendengar cerita dari Zafar. Tapi, aku kembali heran. Kenapa Zafar dan Asad Emir bisa berteman sampai Asad Emir menceritakan kisahnya? Kenapa dia tidak cerita padaku?
Oh, tunggu dulu.
Dia kan diturunkan dari langit, bukan tinggal dengan keluarganya di perumahan? Bahkan harusnya tidak ada bagian Malaikat Kecil ditindas orang. Dia juga tidak seharusnya sakit, malaikat kan bisa menyembuhkan diri mereka? Apakah Asad Emir sungguh malaikat yang diutus untukku?
Pertanyaan itu berputar-putar di benakku sampai aku pusing dan hampir jatuh kalau tidak ditahan Zafar. "Kamu kenapa?"
Aku menggeleng dan melenggang pergi dengan lunglai. Zafar berseru dari belakang, "tunggu dulu! Mukamu kayak enggak asing. Kamu ...."
"Yang kena tendangan bola sekuat bantengnya Zafar." Aku hendak menjauh sebelum sudut mataku menangkap gerak-gerik dari jendela UKS.
Asad Emir belum tidur. Dia telah membuka kotak bekal itu sebelum melambaikan tangan padaku. Aku terdiam sesaat di sana, balas melambai kecil dengan gugup. Asad Emir mengarahkan telapak tangan ke atas menghadapnya, dengan ujung jemari menyentuh dagu, lalu lurus ke depan dan melengkung turun sambil mengangguk. Di antara waktu senyumnya yang berharga, aku berbalik dan berlari pergi.
Pikiranku berkecamuk. Dia seorang anak laki-laki yang kuat, gagah dan pemberani. Dia menolong anak kelas 3 yang hendak dirundung anak SMP. Dia menyelamatkanku dari kejaran Guguk Galak. Dia ... bahkan membuat Zafar yang keras kepala menjadi patuh.
Apakah Asad Emir masih malaikat yang menenangkan anak kecil dengan teh dan roti hangat?
⛄❄⛄
KAMU SEDANG MEMBACA
Once in a Blue Moon [✔]
Novela JuvenilDalam dunia Ayarikha, imajinasi dan kenyataan berbaur sedih. Ayarikha dikuasai dongeng dan terus bergantung pada seorang anak laki-laki yang sama sejak SD hingga SMA. Setelah Mama menghilang, Ayarikha terlunta-lunta demi menghidupi dirinya sendirian...