•°The Pray°•

45 31 5
                                    

"EDA, apakah kalau kuota internet habis, kita tidak bisa kirim pesan lagi? Bagaimana cara dapat internet?"

"Kamu harus biasakan enggak ngomong baku, deh." Eda mengetuk-ngetukkan pensil ke pelipisnya. Dia sedang mengerjakan soal bahasa Inggris dan tersendat di nomor tiga terus. Aku sudah selesai dari tadi. "Karena kedengarannya aku jadi kayak orang asing."

"Bahasa tidak baku bagaimana?"

"Yang dipakai sehari-hari. Biasanya singkatan dari kata yang baku. Misal, bagaimana jadi gimana. Begitu jadi gitu. Bisa juga perubahan kata, kayak kata tidak jadi enggak."

"Tapi kan jadi tidak sesuai sama kata aslinya."

"Tapi, orang-orang sudah terbiasa gitu. Kalau kita enggak ikut mayoritas, kita bakal terkesan aneh."

"Ya sudah, tidak apa-apa aku aneh. Sekarang, bagaimana biar kuota internet ada?"

Eda menghela napas dan menggerundel. "Dibeli dulu, dong. Jangan bilang kamu enggak tahu caranya?"

Aku menggeleng.

⛄❄⛄

Pulang sekolah, sepedaku dipakai Eda menuju konter gawai, aku yang dibonceng. Dia sudah menelepon Tante Dena agar tidak perlu menjemput karena dia akan pulang bersamaku nanti.

Kata Eda, beli kuota internet bisa lewat gawai dengan pulsa. Tapi ternyata aku tak punya pulsa. Eda pun menemaniku membeli pulsa sekaligus kuota internet. Aku hanya diam dan mengamati bagaimana cara Eda memesan benda-benda itu di konter.

Aku berpikir, apakah tidak apa-apa jika terus menggunakan uang dari ATM Mama? Sepertinya kuota internet dan pulsa adalah hal terakhir yang kubeli dengan uang itu. Aku harus cari uang sendiri daripada terus menghabiskan uang yang Mama dapat dengan kerja keras.

Tapi, dari mana?

Seakan-akan ketika aku dalam kebingungan itu, ada petunjuk yang datang keesokan harinya. Mading yang aku, Eda dan Dannis buat kemarin sudah selesai dan terpampang cantik di dinding koridor samping kelas. Beberapa karya yang sempat berdebu sudah diperbaiki, dan karya-karya baru dipajang lagi. Beberapa lembar pengumuman sudah bisa ditempel di pojok khususnya, dan di sanalah aku melihat pengumuman itu.

Sayembara membuat komik.

"Kamu mau ikut? Hm, hadiahnya untuk tingkat kota ... oh, cuma uang dan medali. Juara satu tiga ratus ribu." Eda berkacak pinggang sambil mengamati selebaran itu. "Kalau hadiahnya sepatu dan tas, baru deh aku mau ikut. Iya kan, Aikha?"

"Tapi, sepatu dan tas dibeli dengan uang. Kalau hadiahnya uang, kita bisa beli apa saja selain sepatu dan tas. Lebih untung kalau hadiahnya uang."

"Belum tentu. Siapa tahu sepatu dan tas itu lebih mahal dari hadiah uangnya?" Eda tertawa. Padahal, bagaimana pun juga aku tidak butuh sepatu dan tas baru. Bahkan seharusnya Eda juga begitu sebab kulihat barang-barang miliknya masih bagus.

"Tapi, aku mau ikut."

"Eh? Betulan mau ikut?"

"Iya."

"Oh. Sebentar," Eda kembali membaca dengan seksama, "sayembaranya bukan individu! Dua orang satu kelompok. Kamu sama siapa, Aikha?"

"Tidak tahu."

Eda termenung sejenak. Ketika bel berdering dan kami hendak kembali ke kelas, dia merangkulku. "Kalau gitu, aku yang bakal jadi rekanmu."

Once in a Blue Moon [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang