•°The Artist°•

41 30 14
                                    

KETIKA aku tak pernah lagi mengikuti latihan teater, anak-anak ekskul itu berbahagia dan menyindirku hampir setiap hari. Aku tidak suka sindiran mereka, semua murni penghinaan. Mereka juga beberapa kali menendang sepatuku, menyenggol botol minumku sampai tumpah, dan mengobrak-abrik tasku untuk meminjam pensil. Aku marah sekali, tapi aku hanya diam di sana sambil menatap mereka kuat-kuat.

Dannis sesekali melirik, tapi tidak mau ikut campur. Dia juga kian menjauh dan tidak lagi mengajakku beli cimol lima bungkus. Selama hari-hari di sekolah, aku kembali sendirian. Bahkan ketika itu berlangsung sangat panjang hingga tahu-tahu sudah ujian semester. Aku tak punya teman, tidak akan pernah bisa sejak dahulu. Dannis mendadak acuh dan bergabung dengan kelompok lain, tepat setelah Tulip dan gengnya mengerubungi dia waktu itu.

"Ayarikha?"

Aku yang sedang memandangi mading, menoleh ke kiri. Di sana ada Syif yang baru datang setelah menutup payungnya dan menurunkan tudung jaket. Hari ini memang hujan deras, dingin sekali.

"Ngapain pagi-pagi sudah bengong begitu?" Syif meletakkan sepatunya di rak dan menghampiriku. "Lagi baca cerpen?"

"Iya, aku suka. Ada kancil yang terbang ke bulan."

Syif tertawa. "Enggak logis, sih. Anak-anak ekskul menulis suka menghayal jauh. Mereka jarang bikin cerita yang berkaitan sama hidup kita."

"Dongeng juga ada kaitan dengan hidup."

"Tapi, dongeng itu fiktif, Aya. Memangnya, orang-orang mau mengonsumsi kebohongan terus menerus?"

"Cara Syif bicaranya seperti orang tua."

"Kamu, kali, yang malah kaku banget," Syif tertawa dan menepuk pundakku. "Lihat, ada komik juga. Lucu banget enggak, sih?"

Aku melihat sebuah kertas lainnya yang penuh panel-panel berisi gambar. Warnya hitam-putih saja, tapi cerita mereka tersampaikan dengan jelas dan gambarnya bagus. Aku suka sekali. "Siapa yang buat ini?"

"Kalau yang ini enggak ada ekskulnya. Cuma anak-anak yang suka gambar aja mau nyumbang karya mereka ke mading."

"Kenapa tidak ada ekskulnya?"

"Karena peminatnya sedikit, Aya. Dan enggak ada lomba-lomba besar yang mengangkat bidang menggambar. Jadi, mereka cuma bisa memajang karya di mading yang bahkan jarang dilihat." Syif tertegun sejenak. "Benar juga, aku baru sadar. Kalau buat terobosan, agak susah. Sudah mau lulus."

"Lulus?"

"Iya, aku dan anak-anak kelas sembilan lainnya lagi persiapan UN."

UN itu lagi! Apakah tidak bisa dia ditiadakan saja? Selalu karena UN, anak-anak harus menjadi sibuk dan keluar dari sekolah mereka menuju sekolah baru. UN itu menjadi tanda perpisahan dan akhir sebuah pertemanan.

"Termasuk Asad Emir?"

"Asad? Iya, dong." Syif mengernyitkan alisnya. "Kamu kenal dia?"

Aku terdiam sebentar, mengulum bibir. Menggeleng.

"Oh iya, omong-omong, kamu tertarik sama perkomikan itu tadi?" tanya Syif tiba-tiba. Entah kenapa aku merasa dia mengalihkan pembicaraan dari Asad Emir. "Kalau mau, bilang aja ke koordinator divisi media, Ovi kelas 9-C. Nanti dia bantuin."

Aku mengangguk.

⛄❄⛄

Di kelas, aku menelengkan kepala sambil menatap langit di luar jendela, ketika awan-awan itu bergerak cepat ditiup angin. Apa yang ingin kumasukkan ke dalam mading? Dulu, aku menggambar untuk Asad Emir yang hendak lulus. Kalaus begitu, aku akan menggambar itu lagi tapi kali ini yang lebih bagus.

Once in a Blue Moon [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang