9. Party [1]

171 160 17
                                    

"Kirana."

"Ssst."

"Kir."

"Sssttt."

"Ki-ra-na!"

"Berisik."

Revan menghela napas, memandang sang sahabat lesu. Kirana terlalu fokus pada bukunya, mengabaikan Revan yang mulai bosan berada di perpustakaan. Revan berniat menjaga Kirana, tidak akan melepas pandangan selain pada gadis itu. Sebagai 'mata' bagi Kirana, dia harus selalu berada di samping Kirana, takut gagal melindunginya.

"Kirana ..." Wajah Revan kusut, nadanya merajuk.

Jari Kirana terangkat menunjuk sebuah peringatan di dekat tembok sebelah mereka. "Dilarang berisik, nanti kena sanksi." Kembali dia membalik halaman bukunya.

Revan mengelak, "Salah! Bukan begitu bacaannya!" Dia menatap peringatan tersebut, "Dilarang berisik, tidak ada hiburan asik." Guyonannya tidak digubris, dia menangkup kedua tangan di atas meja. "Nanti pulang sekolah lo ke rumah gue, ya?"

"Ngapain? Biasanya lo yang ke rumah gue."

"Mama ngadain party. Katanya rayain hari pertama gue di sekolah baru." Revan mengendus, "Gue takut dipermalukan lagi kek dulu. Mana ngundang temen sekelas dan beberapa temen yang gue kenal."

Kirana menahan tawanya ketika mengingat kejadian tersebut. "Pake topi ultah nggak? Muka lo di-make up kagak? Bakal ada atraksi badut?" Dia terkekeh pelan, wajah Revan memerah malu. "Tante Vio terlalu manjain lo banget, ya? Dia kek ngerasa kalo lo itu masih Revan yang baru bisa naik sepeda gayung. Padahal mah putra bungsunya ini sudah main pacar-pacaran."

Revan membetulkan hal tersebut. "Iya woi! Beda jauh sama Papa, dia malah tegas banget sama gue. Alasannya karena gue adalah satu-satunya anak laki-laki yang dia punya, tentu gue yang bakal handle perusahaan kalo Papa sudah ngerasa nggak bisa lakuin semuanya."

Kirana mengedik, "Menurut gue kak Chika lebih tegas daripada lo. Dia pinter, lulus sarjana, model juga, 'kan?"

"Jangan banding-bandingin gue sama kak Chika!" Revan menggerutu, "Kak Chika lebih milih lanjutin karirnya sebagai model daripada handle perusahaan Papa. Susah katanya." Dia menelan ludah, menerawang lurus. "Kalo kata dia susah, apa kabar dengan gue yang otaknya lemot begini? Masih bisa hidup nggak, ya gue kalo sudah lanjutin bisnis Papa?"

"Lebay!" Kirana menguap malas. "Jalanin aja dulu, jangan repot-repot dipikirin."

"Iya deh, terserah Bebeb Kirana."

"Najis!"

Revan bangkit dari duduknya, memandang Kirana beberapa saat. Gadis itu masih tertunduk membaca buku, Revan menghela napas. "Ayo buruan ikut gue!"

"Ke mana?" jawab Kirana malas. "Gue capek. Lo mau jadiin gue babu?"

Revan menggeleng cepat, pikiran Kirana terlalu sulit dijangkau. "Nggak. Ayo ikut gue ngundang temen-temen yang lain."

"Sudah besar, 'kan? Nggak perlu gue jagain, 'kan?"

"Gue yang jagain lo yang ada!" Revan sedikit menekan kalimatnya, masih berbisik karena tahu ini tempat bukan untuk konser musik. "Gue ngajak lo biar gue bisa ngelindungin lo, Kir. Gue nggak biarin lo nabrak orang lagi."

"Oke. Gendong gue." Kirana menatap Revan sayu.

"Hah?"

"Gendong."

"Kaki lo beneran lumpuh?"

Kirana berdecak. "Gue males jalan. Repot."

Dengan cepat Revan segera meninggalkan Kirana, berteriak tidak peduli. "OGAH!" Semua atensi mengarah pada Revan, menaruh jari telunjuk di bibir masing-masing, mengisyaratkan untuk tidak membuat keributan. Memang Revan kalau berteriak tidak tahu tempat.

KiranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang