20. Syarat Permaafan

53 25 52
                                    

Winny melewati kamar sang anak, mengintip dari celah pintu, ingin tahu apa yang sedang dilakukan anaknya itu? Buku berserakan di mana-mana, kardus yang dipakai untuk menaruh buku-buku tersebut menutupi kepala Kirana. Si empu kamar layaknya gudang itu bergumam dan meracau tak jelas.

Ibunya mendekat cemas, khawatir dengan keadaan putrinya. Apalagi Kirana tidak menunjukan pergerakan sama sekali, hanya mulutnya yang bersuara komat-kamit.

Winny menarik kardus yang menutupi kepala Kirana, anaknya terlihat tidak berdaya. Bibirnya kering terkelupas, aroma tubuhnya pun tak sedap. "Bangun Kirana, ini sudah sore. Cepat mandi sana, bau."

Kelopak mata Kirana terbuka enggan, menatap Winny yang duduk di sisi kasurnya. "Ca-capek, Ma ...," keluhnya tergagap. Seluruh tubuhnya terasa kaku, setiap sendinya seolah remuk, jantungnya saja seakan malas untuk tetap berdetak.

Tadi saat diperjalanan pulang sehabis mengerjakan tugas kelompok di rumah Tasya, motor Revan tiba-tiba mogok di jalan. Revan bilang, motor yang diberi nama Ver itu kehabisan bahan bakar. Sialnya, di daerah tempat mereka mogok tak ada yang menjual bensin.

Tak mau tahu, Kirana tetap duduk di jok motor walau Revan menyuruhnya turun. Benar-benar gadis keras kepala, mau tak mau Revan mendorong motornya dan juga Kirana yang terduduk di jok hingga sampai rumah.

Saat telah tiba di rumahnya, Kirana turun sempoyongan, capek karena sekitar setengah jam duduk di motor. Kondisi Revan jangan ditanya lagi, dia lelah luar biasa, banjir keringat, tubuhnya pegal-pegal karena mendorong beban sekitar 150 kilo. Kesal dengan Kirana dan kecewa dengan motornya.

Tidak peduli dan tak tahu berterima kasih, Kirana menendang si Ver dengan sisa tenaganya sambil berkata hina, "Motor rongsokan. Bajingan." Lalu masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan Revan yang menyerapahinya.

"Secapek-capek apa pun, kita harus mandi. Selesai mandi, nanti juga seger."

Kirana mendengus, tak setuju dengan argumen Winny. "Secapek-capek apa pun, jangan lupa istirahat, Ma. Bukan mandi."

Winny tersenyum, mengelus surai Kirana penuh sayang. "Mandi dulu, lalu istirahat. Oke?" Dia mengecup kening putri tunggalnya, selepas itu beranjak dari kamar Kirana.

Mengembuskan napas, merasa hari ini memang malapetaka untuknya, seperti sehabis melawan penjajah seorang diri saja. Kirana menarik kembali kardus ke kepalanya, lanjut bergumam-gumam seperti orang tak waras. Bahkan, dia sampai lupa meminta tolong pada Winny untuk mengambil bukunya yang berserak di lantai.

Pintu kamarnya kembali terbuka, Kirana berdecak karena Mamanya pasti datang lagi untuk menyuruhnya mandi. "Iya, Ma. Nanti Kirana pasti mandi."

"Sudah bau, kamar berantakan pula." Seorang lelaki berdecak beberapa kali, duduk di kursi meja belajar dan berputar menghadap Kirana. "Kerjain tugas gue dulu nih biar semangat," suruhnya menunjuk buku yang dibawa.

Tanpa melihat pun Kirana telah mengenalinya. Dia berdeham saja sebagai jawaban, malas mengeluarkan suara lebih tepatnya.

"Mandi sana," suruh Revan lagi. "Terus kerjain tugas gue, ya."

"Gue lagi nggak mood ladenin lo."

"Gara-gara si Ver, ya? Maafin dia, Kir. Ver cuman motor tua yang sebentar lagi sekarat. Mana belum ketemu janda." Ekspresi Revan berubah melas. Bagi Kirana, duduk terlalu lama itu dapat membuatnya sakit, apalagi berjalan 50 langkah, bisa jadi dia berakhir di rumah sakit. "Gimana, ya caranya biar lo mau ngerjain tugas gue?" Revan berpikir bingung.

Kirana melepas kardus dari kepalanya, menatap Revan datar. "Gampang kok." Kening Revan kian mengerut -penasaran, apa yang bisa dia lakukan agar Kirana mau memaafkannya dan mengerjakan tugasnya? "Cuman ajak gue ke toko buku dan beli semua buku yang gue tunjuk aja," lanjut Kirana, sanggup membuat Revan menganga.

KiranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang