2. Perkara Tugas Revan

236 208 55
                                    

"MAMA!"

Teriakan sang anak membuat Winny segera menghampiri, menatap putri tunggalnya itu gelisah. "Ada apa, Sayang?" Dia mendekat, duduk di sebelah sang putri, lalu mengelus surai itu lembut.

"Buku Kirana yang kemarin ada di laci mana?" Kirana mengangkat alis bertanya, bahkan dia belum sempat membaca buku tersebut. Sampai hilang, dia akan sangat menyesal karena melewatkan satu buku.

Winny cengengesan, tentu saja itu perbuatannya. "Mungkin kebawa Revan?"

Kirana menggeleng kekeh. "Nggak, Ma. Kemarin Kirana nggak bawa buku itu, tuh buku Kirana taruh di sini." Gadis itu menunjuk laci yang biasanya terhias dengan buku-buku.

Pura-pura tidak tahu, Winny hanya menghela polos. "Makan dulu aja. Nanti Mama yang cari."

Menyambar pelukan ke sang Mama, menggeliat nyaman setiap berada dipelukan hangat Winny. "Ma ... gendong." Kirana merayu dengan nada manja, merasa kalau kakinya tidak akan sanggup menuruni beberapa anak tangga.

Cepat-cepat Winny mendorong tubuh Kirana. "Enak aja! Tulang Mama patah nanti."

"Sambung lagi," ujar Kirana merengek.

"Itu Revan sudah nunggu di bawah. Sana temuin."

"Oh, ada Revan." Kirana manggut-manggut. Lantas beringsut dari kasurnya dan berjalan semangat menuju ruang makan.

Melihat tingkah sang putri, Winny tersenyum sambil menggeleng. Pandangannya kembali ke laci kamar, memandangnya dengan cengiran lebar. Beralih wanita baya itu menatap kolong kasur, tangannya terulur mengambil buku dengan tebal kira-kira 3.000 halaman itu.

Winny menyembunyikan buku tersebut di bawah kolong kasur, mengerti kalau Kirana tidak akan mencari ke segala arah karena sifat malasnya itu. Namun, kali ini dia terpaksa memberikan saja buku setebal ban truk itu, jika tidak Kirana akan guling-guling sambil meraung.

Dia memandangnya horor, meringis pelan. "Kemarin seribu lebih halaman, sekarang mau baca yang setebal ini dalam sehari?" Winny berdesis, tertegun, padahal dulu sewaktu muda dia tidak terlalu minat membaca, namun anaknya mengapa seantusias begini?

"Keturunan Papanya deh ini." Dia menghela napas panjang. "Bisa-bisa jadi profesor nih anak."

***

"Tugas gue sudah, 'kan?" Revan bertanya tenang, dengan jari sibuk mengetik di ponselnya.

Kirana menghabiskan sisa roti di mulut, meneguk susu hangat yang disediakan sang Mama tercinta. Dia merapikan rambutnya, menatap Revan datar. "Lupa."

Revan melotot tak santai, menaruh ponselnya di atas meja makan dengan tersentak. "Tumben banget lo lupa kerjain? Duh, gue gimana nih, Kir?" Revan linglung, bibirnya berdecak berkali-kali.

Kirana mencebik, tak ambil peduli. "Kemarin gue selesai baca buku sejarah jam 11 malem, terus ketiduran. Akhirnya gue berhasil memecahkan rekor membaca buku seribu halaman dalam waktu satu hari walaupun gue nggak mandi sore. Dan hari ini gue mau baca buku yang tebalnya tiga ribu halaman, Van." Matanya berbinar, bangga pada diri sendiri.

"Nasib gue ini gimana?" Mendadak tenggorokannya terasa kering, segera Revan meminum air putih yang tersedia di meja. "Kalo dihukum gimana, Kir?"

"Santai aja kali." Kirana tak ambil peduli. Dia menyodorkan buku Revan kepada pemiliknya. "Lo bisa nyontek sama temen sekelas lo."

Revan menjitak gadis itu kesal. "Enak aja mulut lo ngomong. Tau sendiri, 'kan kalo ini tugas cuman gue doang yang disuruh ngerjain? Yang lain mana dikasih tugas! Mereka juga nggak bakal bisa ngerjain soal belibet kek gini."

"Lagian lo bukan pertama kalinya kena hukum. Nggak apalah nambah sekali. Gitu doang repot."

Suara dari anak tangga menghentikan Revan yang akan membalas ucapan Kirana, Winny mendekat ke arah dua orang itu. Masih dengan senyuman sehangat mentari pagi, wanita itu menyapa keduanya. "Sudah selesai ngobrol-ngobrol santainya?"

Revan melirik Kirana yang mengangguk, lalu kembali menatap Winny tenang. "Perasaan lagi debat deh, bukan ngobrol santai. Nih orang manggut-manggut aja." Revan memisuh dalam hati.

Winny menyodorkan sebuah buku tebal kepada Kirana, gadis itu menerimanya dengan senang hati. "Wah, Mama nemu di mana?"

Sedikit cengengesan tentunya, Winny membalas sembari merapikan rambut sang putri. "Anu ... tadi Mama nemu di dalam laci meja belajarmu."

Kirana mengangguk percaya, lantas membuka halaman pertama dan mulai membacanya. Winny menghela, menatap Revan yang nampak tidak bersemangat. "Revan sudah sarapan?" tanyanya.

"Sudah kok, Tante," sahutnya santun. "Kalo gitu, Revan sama Kirana berangkat sekolah dulu. Takut telat, taksinya juga sudah sampe tuh."

"Oh, iya. Hati-hati."

Kirana mencium punggung tangan sang Mama, bergantian dengan Revan. Kemudian mengucapkan salam dan segera menaiki taksi yang telah menunggu mereka. Sambil melambai ke arah Winny dari kaca mobil, taksi pun mulai berjalan menuju sekolah Kirana terlebih dahulu.

Revan menatap sahabat yang berada di sebelahnya, mendengus kasar. "Apa kata lo tadi, Kir?"

"Hah? Apaan?" Kirana membalik halaman bukunya, menatap kalimat-kalimat tersebut tanpa rasa bosan sedikitpun. Iris sayu itu selalu bertahan hingga akhir halaman.

"Kata lo nggak apa gue dihukum?" Lelaki tersebut mengingat perkataan Kirana beberapa menit yang lalu.

"Hm. Lo baik-baik aja juga setelah dihukum, masih bisa nyengir kuda begitu." Kirana menguap pelan, menyenderkan tubuhnya agar lebih nyaman.

"Lo nggak tau sih apa hukuman yang gue dapet. Asal lo tau, ya, Kir ..." Revan berlagak serius.

"Hm?"

"Hukuman yang gue dapet parah!" Revan berdecak, mengingat hukuman-hukuman yang dia dapat tidak semudah dengan yang sang sahabat pikirkan. "Mau tau nggak apa hukuman yang gue dapet kali ini?"

"Apa?" Kirana bersikap tidak terlalu peduli.

"Bersihin taman belakang, selama ... lamanya."

KiranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang