16. Salah Paham

122 85 49
                                    

Paginya, Kirana sudah sehat kembali. Revan membawa motor ke sekolah dengan Kirana diboncengnya. Gadis itu memeluknya erat, tubuh ringkihnya nampak lemas seperti biasa. Langit tampak mendung, jalanan kian macet, itu sebabnya alasan Revan mengendarai motor hari ini.

"Revan ..." Panggilan Kirana yang nyaris terdengar samar membuat Revan sedikit melihat ke belakang.

"Apa?"

"Capek."

Si lelaki mendengus, padahal Kirana hanya duduk tidak menyetir. Terpaksa Revan berhenti di salah satu halte, segera menuntut Kirana agar duduk di bangku karena butiran hujan perlahan jatuh membasahi. "Padahal tinggal ngebut, kita nyampe. Jadi nggak kehujanan kek gini." Revan membuka jaketnya, menutup bahu Kirana yang nampak bergetar kedinginan.

"Tapi ... capek." Kirana gemetaran, dia tak biasa di keadaan dingin seperti ini. Suhu tubuhnya panas, kulitnya kembali memucat pasi.

Revan pasrah, kalau melihat sahabatnya sakit begini, dia jadi tidak tega. "Gue beliin minuman yang hangat, ya. Lo tunggu sini." Kirana mengangguk saja, si bungsu Telgran berlari ke Alfa yang berada tepat di depan halte.

Sambil menunggu, Kirana mengambil satu buku di dalam tas. Memakai jaket Revan yang tersampir di bahunya agar dia merasa lebih hangat. Tidak mempedulikan orang-orang di sana yang juga berteduh dari hujan, seorang lelaki kisaran 3 tahun lebih tua darinya mendekat tanpa sepengetahuan.

Lelaki tersebut berjongkok di hadapannya agar dapat melihat jelas wajah Kirana. Merasa aneh, Kirana mendongak, menyorot datar tanpa ekspresi sama sekali. Tatapan bengisnya terlempar jika dirinya merasa terusik.

"Lo Kirana, 'kan?" Lelaki itu bertanya sok akrab.

"Ya." Kirana mengenalnya, namun bersikap acuh tak acuh. "Apa lo?"

"Anjir, ketemuan kita!" Dia heboh sendiri. Lelaki amnesia itu duduk di sebelah Kirana.

"Masih konsumsi narkoba lo?" Kirana bertanya santai, lelaki di sebelahnya menunjukkan raut bingung.

"Pangeran!" Seorang gadis cantik menghampiri keduanya, bajunya basah terkena hujan. Dia menyodorkan makalah kepada lelaki bernama Pangeran. "Ini tugas lo, maaf lama." Dia terengah-engah.

"Makasih." Pangeran tersenyum lebar, si gadis mencebik lalu mengangguk samar.

"Pacar?" Kirana bertanya ingin tahu, sudah lama dia tidak bertemu dengan kakak kelasnya di SD dulu. Pangeran adalah pecandu narkoba, dia sempat di penjara dan beberapa minggu kemudian mengalami kecelakaan yang menyebabkan ingatannya hilang setengah.

"Hm ..." Pangeran terlihat bimbang, dia melirik gadis yang basah kuyup itu akibat ulahnya yang menyuruh mengambil tugas. Si gadis menghela napas. "Pembantu gue di kampus."

Kirana manggut-manggut saja. "Kak Putri, ya?"

"Kok tau?"

"Nebak aja sih. Pangeran cocoknya emang sama Putri."

Pangeran memandang Putri, tak lama lalu membuang muka. "Dia menang cantik ma otak doang."

"Emang lo mau nyari yang sesempurna apa sih?" Putri sewot, duduk di sebelah Pangeran, memeluk tubuhnya sendiri. Dingin.

Revan datang, menyodorkan minuman pada Kirana. Atensinya tertarik memperhatikan seorang lelaki dan gadis asing yang duduk berdekatan dengan Kirana. Apalagi lelaki itu sungguh tampan seperti idol-idol di televisi. Jangan-jangan ...

"Pangeran."

TUH, 'KAN!

"Oh, ini yang ngajak lo ketemuan, Kir?" Si gadis asing yang memanggil Pangeran tidak jadi berucap, Revan memandang lelaki itu sengit. "Lo naksir Kirana, ya?"

Pangeran mengernyit tidak paham, sedetik kemudian tergelak berlebihan. "Oh, ini yang kemarin balas pesan gue ke Kirana?" Dia mengikuti gaya Revan.

"Mau apa lo? Gue sahabat Kirana." Revan tidak peduli tata krama, meski tahu kalau orang yang dia ajak berdebat lebih tua. "Kirana nggak mau sama lo. Dia sudah nolak lo. Ya, 'kan, Kir?" Revan menoleh pada Kirana. Gadis itu mendongak, mengangkat jempolnya dengan senyuman lebar.

"Tuh, lihat." Revan berucap dengan sinisnya.

"Nolak apaan? Gue nggak ada nembak Kirana."

"Nggak tau dir- hah, gimana?" Revan bingung sendiri, rautnya berubah tidak paham, melirik Kirana dan Pangeran bergantian.

Pangeran terkekeh sekali lagi. "Jelasin dong, Kir. Cemburu nih temen lo."

"Biasa, baru puber. Maklum marah-marah begitu," balas Kirana manggut-manggut. Dia kembali menyodorkan minuman yang baru dibeli Revan, membuat sang sahabat mengernyit bertanya.

"Kenapa?"

"Dingin. Katanya mau beliin yang hangat."

"Oh ... gue lupa di Alfa nggak ada minuman anget-anget."

Kirana berdecak, Revan memang tolol sekali. Tak lama dia menyadari jika gadis di sebelah Pangeran diam sedari tadi, tubuhnya menggigil menyandar pada bangku halte, wajahnya pucat dengan mata terpejam. "Temen lo sekarat."

Pangeran menoleh pada Putri, sontak berjengit dan segera menggendong gadis tersebut. "Nyusahin banget." Buru-buru dia pamit, berlari menerjang hujan mencari klinik terdekat.

Sepeninggalan mereka, Revan duduk kembali, melirik Kirana yang fokus pada bukunya. "Bingung gue." Dia mengacak rambutnya pelan, meminum minuman dingin yang baru diminum Kirana.

"Siapa suruh bingung?"

"Lo!" Revan menuding. Tak ada balasan lagi, dia kembali berucap, "Sebenernya itu si Pangeran siapa lo, Kir? Yang waktu itu minta ketemuan, bukan?"

"Dia kakak kelas gue dulu. Orang baik yang sering lindungi gue dari orang-orang yang sering nindas." Kirana membalas, mengingat kembali bagaimana dia diperlakukan di SD dulu hanya karena suka membaca buku. Revan selalu beda sekolah dengannya, sekolahan elit yang diisi murid kalangan atas. Hingga SMA, baru dia pindah sekolah karena sekolahannya yang dulu kurang pengamanan ketat mengakibatkan beberapa murid bertindak seenaknya.

Revan mengangguk-angguk. "Ngapain lo bilang kalo lo ditembak cowok?"

"Emang bener kok."

"Siapa yang nembak lo?"

Kirana menggeleng, "Kita nggak jadi ketemuan gara-gara gue sakit, 'kan?"

"Jadi ... itu bukan si Pangeran?"

Sekali lagi Kirana menggeleng. "Namanya ... Gev. Orangnya ganteng sekalee ..."

KiranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang