1. Si Pemalas

307 228 85
                                    

Hari ini merupakan jadwal piket kelompok Kirana. Gadis itu bertugas menghapus papan tulis, tidak ingin menyapu lantai ataupun mengelap jendela karena menurutnya itu sangat merepotkan. Selagi masih ada yang mudah, mengapa memilih yang sukar? Teman-temannya juga tahu kalau Kirana adalah orang termalas yang mereka kenal, maka dari itu mereka memberikan tugas piket yang begitu ringan kepada gadis itu.

Walaupun demikian, Kirana belum juga melakukan tugasnya. Dia terduduk di kursi sembari membaca buku, sesekali menguap tenang. Kirana bukan malas, hanya saja tidak ingin merepotkan diri sendiri dan segan melakukan hal tersebut.

Kirana jadi heran, banyak yang mengatainya pemalas di sekolah, bahkan di rumah sekalipun.

Hanya dia tidak nafsu makan, dibilang pemalas.

Mengesot di lantai karena lelah berjalan, dibilang pemalas.

Hanya diam tidak melakukan apapun, dirinya juga dibilang pemalas.

Yang benar saja?

Sang ketua kelas, Rafi yang bertugas menyapu menghampiri kursi Kirana. Setelah bergulir dari kursi ke kursi, kini giliran kursi Kirana yang belum disapu. Lelaki dengan mulut mercon itu mengusik Kirana, menyapu lantai yang dipijak Kirana secara paksa, meski kaki Kirana ikut tersapu pun dia tak apa.

Kirana berdecak tak nyaman, tangannya bergerak memukul lengan Rafi tanpa menatap korban. Rafi meringis, mendengus melihat bekas pukulan Kirana yang memerah. Tersulut emosi, lelaki itu telah siap memberikan siraman rohani.

"Kir, lo—ADUH! " Ucapannya terpotong, menjerit kesakitan ketika Kirana dengan berani mencubit lengannya. Setelah puas, gadis itu pun melepaskan cubitannya. Rafi kempas-kempis, merasa nyeri dibagian bekas cubitan Kirana.

Memang cubitan cewek itu ... killer sekali.

Rafi menjauhkan jaraknya dari Kirana, menatap galak sembari mengelus lengannya. "Kirana! Tutup buku lo atau gue bakar tuh buku!" Kemarahan Rafi sudah di ubun-ubun, dengan muka merah padam dia menyorot Kirana tak santai.

"Bakar?" Kirana membalik halaman bukunya. "Mau membakar jendela dunia, ya, Mas?"

Para murid yang menyaksikan bersorak pelan. Kalau bermasalah dengan Rafi, mereka angkat tangan. Perkataan tajam sang ketua kelas pasti bisa saja menyudutkan mereka, membuat mereka menyerah beradu mulut dengannya. Mengalahkan ibu-ibu penggosip, gerakan bibir Rafi berbicara begitu lincah dan cepat.

Ganteng-ganteng bibir rawit. Itu julukan yang Rafi dapat.

"Sekarang tugasnya lo piket! Kalo nanti Bu Ani masuk terus papannya masih kotor kek gitu, gimana? Bisa-bisa sampe akhir pelajaran dia marah-marah." Rafi menggeleng singkat melihat Kirana yang tetap santai tanpa rasa bersalah.

Kirana bergeming, "Enak dong nggak belajar."

Eh?

Rafi mengerjap pelan, benar juga. "Iya sih, bener." Lelaki itu menimbang kembali, lagipula dia juga merasa bosan dengan pelajaran yang dibawakan oleh Bu Ani. Guru itu juga kerap kali menyuruhnya menyelesaikan soal di papan. Ide Kirana menarik juga, meski mereka semua mendapatkan semburan selama pembelajaran berlangsung.

"Yaudah, lo lanjut aja baca buku. Nggak jadi gue bakar jendela dunia, nggak sanggup." Belum sempat melanjutkan kegiatannya, Rafi kembali memandang Kirana dengan kening bertaut heran. "Jadi, lo enak dong nggak ngapa-ngapain?"

"Nggak enak," balas Kirana sambil memperbaiki posisinya. "Lama-lama gue capek duduk."

Rafi melongo. "Berdirilah, Kir. Gitu doang repot."

"Males. Nggak lucu juga gue baca sambil berdiri."

Lelaki yang sedari tadi menjadi lawan bicara mendengus pasrah, memilih tidak peduli dan membuang muka. "Terserah, Kir ... terserah." Rafi sedikit membungkuk, menyapu kursi yang berada di depan Kirana.

KiranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang