9. Epic Comeback

1.3K 340 86
                                    

"Gue belum ngumpulin tugas Fisika kemarin, Gan."

"Wah si tuyul, emang cari mati lo di tangan Bu Ursula."

"Temenin gue yuk? Takut sendirian, bisa-bisa nanti gue nya nggak balik."

"Ya udah buru. Mumpung gurunya belum masuk."

Maka berangkatlah mereka menuju ruang guru, pokoknya mah Falusha sudah komat-kamit memanjatkan do'a agar hati Buk Ursula sedang baik dan memaafkan kelupaannya untuk mengumpulkan tugas dari hasil hukuman karena tidak mengumpulkan tugas sebelumnya.

Tapi namanya juga penyihir, mustahil kalau tidak jahat.

"Kamu yang kemarin kena hukum tapi malah lari ke UKS, kan?"

"Maaf Bu. Kemarin itu kepala saya tiba-tiba sakit karena kelamaan di bawah matahari."

"Nggak usah banyak alesan. Bilang aja kamu niatnya memang mau bolos!"

"Demi Bu, saya anak baik-baik. Ibu bisa periksa semua absensi saya-"

"Berisik!" Tukasnya. "Saya nggak mau dengar bacotan kamu. Tugasnya nggak saya terima, dan nilai kamu saya kosongkan. Kamu boleh pergi sekarang."

Sebuah kesialan untuk mengawali pagi yang cerah ini. Falusha keluar dari ruang guru dengan wajah muram semuramnya, hingga Ghania saja tidak berani bertanya karena takut tiba-tiba temannya berubah menjadi Hulk dan menghancurkan seisi sekolah.

Saat keduanya melewati koridor kelas 12 yang memang terhubung dengan ruang guru, suara hantaman yang keras tiba-tiba terdengar, disusul oleh Falusha yang mendadak tersungkur di tanah sedetik setelahnya. Ghania histeris, sebuah pot bunga plastik yang masih berisikan tanah baru saja terjatuh dari lantai dua dan menimpa kepala temannya. Orang-orang mulai berkerumun untuk memastikan keadaan Falusha yang sama sekali tidak bergerak kendati tangan dan kedua lutut masih menumpu tubuhnya.

"Falusha?! Lo denger gue??? Lusha?!"

Ya, Falusha masih mendengarnya. Meski kepala terasa berkunang-kunang dan penglihatannya mulai mengabur. Namun ia masih bisa mengenali wajah Helena dan kelima temannya kini membelah kerumunan hanya untuk memastikan apakah ia sudah mati atau belum, mungkin.

Sembilan.

"Ups, nggak sengaja."

"MAKSUD LO APAAN SIH BANGSAT?!" Ghania benar-benar sudah siap menerkamnya jika saja Falusha tak segera berdiri dan menahan.

"NGGAK, LUS! BAJINGAN INI UDAH KETERLALUAN! Lo bisa aja gegar otak karena ulah mereka!" Serunya penuh amarah, namun Falusha masih saja menahan kedua pundaknya.

"Bisa tolong pegangin buku gue?" Pintanya, dengan itu Ghania paham dan langsung menyuruh semua orang untuk menjauhi mereka.

Helena mendengkus remeh. "Mau apa lo hah?! Kenapa nggak mati aja sekalian?!"

Susah payah Falusha menarik senyum, hanya untuk memberi ingatan terakhir sebelum melayangkan sebuah tinjuan yang langsung menumbangkan tubuh Helena ke tanah.

Semua tentu terkejut, tak terkecuali lima teman Helena. Saat mereka hendak membantu, Ghania dengan penuh dendam menjambak dan menghadiahi mereka dengan tamparan panas di wajah masing-masing. 

"EMANG TOLOL LO SEMUA!"

Sementara itu Falusha kembali menegapkan tubuhnya untuk kemudian menghampiri Helena yang terlihat sangat syok dengan serangan tiba-tiba itu.

"Kayaknya lo nggak dengerin pesan gue waktu itu, Kak Lena."

Ujarnya dengan tawa sumbang, terlihat sangat menyeramkan sebab darah mulai mengalir dari kepalanya. Ia lalu dengan cepat menyeret tubuh Helena yang masih terduduk menuju ke tengah lapangan agar semua orang dapat menyaksikan mereka dengan mudah, juga untuk memberi gadis yang kini meronta sambil memukuli tubuh Falusha ini pengalaman hebat yang takkan pernah dilupakan seumur hidupnya.

pages between usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang