'Kamu tahu, aku telah berpikir berpuluh-puluh kali untuk memberitahumu hal ini. Seperti yang kamu katakan semalam, aku yakin kamu tak akan pernah bisa menerimaku. Kamu mungkin akan membenci dan menganggapku menjijikan, tapi kenyataan menunjukkan kalau kita memang berasal dari ayah yang sama. Hanya itu yang ingin kuakui kemarin, tapi tak sempat kukatakan. Aku berjanji tak akan muncul dihadapanmu apalagi keluargamu, anggap saja tak ada hubungan apapun diantara kita. Anggap saja kalau, aku tak ada di dunia ini.'
Rasta menunjukkan pesan singkat itu ke hadapan Risdian meminta penjelasan. Dia tak akan percaya jika tidak mendengarnya langsung. Apakah benar kalau Khaira adalah anaknya bersama wanita itu. Risdian sendiri tidak begitu terkejut dengan interogasi dari Rasta, dia hanya bingung sejak kapan puteranya mengenal Khaira.
"Aku sendiri tidak yakin, tapi sepertinya iya. Saat dia lahir, dan akhirnya beranjak dewasa, aku tak tahu apapun. Ini sangat menyedihkan." Risdian seakan mengatakan hal itu pada dirinya sendiri.
Rasta tak ingin mendengar apapun lagi, penjelasan Risdian sudah cukup dia tangkap maksudnya. Dengan tanpa pamit dia keluar dari dalam ruang kerja ayahnya dengan membanting pintu, membuat seisi rumah terkejut sekaligus kebingungan.
Rasta kembali mencoba menghubungi Khaira tapi yang terdengar malah pemberitahuan kalau nomor yang dia tuju tidak aktif. Dengan penuh emosi, dia membanting ponselnya hingga hancur berantakan lalu berlalu pergi dari rumah. Ibu dan kakaknya sangat cemas melihat kemarahan Rasta yang begitu menakutkan.
Risdian tidak memberi penjelasan apapun baik pada istrinya ataupun Alin, cukup Rasta yang tahu. Jika perlu cukup Rasta sendiri memberitahu mereka, pikirannya lebih tertuju pada nasib Khaira. Apa yang akan Rasta lakukan pada Khaira.
****
Dery telah memberitahu kepergian Khaira, dan Ibunya jadi panik, bahkan berniat melapor polisi tapi Dery beserta ayahnya melarang. Mereka mengerti pilihan Khaira, walaupun masih ada sedikit kekhawatiran di benak keduanya.
Dery sendiri telah menghubungi Khaira berkali-kali tapi tak pernah mendapat jawaban lain selain 'nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan'
Dia mencoba menerka siapa yang akan Khaira temui. Melisa telah dihubungi, tapi gadis itu juga tak tahu, dia bahkan ikut khawatir dan bertanya banyak hal. Melisa bilang kalau perubahan sikap Khaira terjadi setelah pertemuannya beberapa waktu lalu dengan atasan mereka.
Dery bisa menduga apa yang Khaira katakan, tapi dia tidak bisa memikirkan tanggapan lelaki itu. Dia bertekad untuk menemukan Khaira, bukan untuk membawanya kembali tapi membawanya menjauh dari mereka.
****
"Kamu tak takut jika Rasta mengincarmu, dia orang yang sangat nekad dan menakutkan jika sedang emosi." Tirta mencoba mengingatkan, sambil menyodorkan segelas air putih ke hadapan Khaira.
"Aku tak tahu. Dia memang pantas marah, tapi jika dia melampiaskan kemarahannya hanya kepadaku, apa itu adil? Apa ini salahku, lahir dari hubungan yang tidak seharusnya? Aku tidak meminta apapun, ibuku bahkan tak meminta apapun sejak awal." jawab Khaira sedikit kesal.
Keduanya terdiam, terdengar suara bel berbunyi. Tirta langsung panik, dia yakin kalau yang datang adalah Rasta karena hanya dia yang sering datang ke rumahnya.
"Ada apa? Kalau begitu, biar aku saja yang buka!" Khaira sudah berdiri berniat membuka pintu, tapi Tirta segera menahannya. 'Mungkin itu Rasta,' bisiknya.
Khaira tidak banyak berekspresi, tapi dalam hati dia sendiri khawatir jika Rasta mengetahui keberadaannya. Dia belum siap mendapatkan kalimat menyakitkan apalagi tuduhan-tuduhan yang penuh dengan asumsi.
"Lebih baik kamu sembunyi di kamar itu saja. Cepat sana!" perintah Tirta setengah berbisik. Dia menunjuk kamar terdekat yang bisa Khaira jangkau dengan cepat.
Khaira segera berlari kedalam kamar sambil membawa gelas air miliknya, tidak ketinggalan tas juga toples berisi ikan di meja.
Tirta menarik napas dalam, mencoba mengatur ekspresi agar tidak terlihat gugup dihadapan temannya itu. Beberapa detik kemudian dibukanya pintu, "Lama banget bukanya, dari tadi mencet bel apa gak kedengeran!"
"Lagi di kamar mandi, ada apa kemari?" bohongnya. Tirta lupa kalau mereka masih berdiri di depan pintu, dia bahkan tidak memberikan jalan bagi Rasta untuk masuk.
"Baru kali ini kamu menanyakan hal itu padaku, mencurigakan!" komentar Rasta datar, tapi cukup membuat Tirta kehilangan konsentrasi untuk tidak terlihat gugup.
"Ah, kata-katamu aneh sekali. Mana mungkin begitu! Cepat masuk!" sergah Tirta mencoba menetralisir kegugupannya. Rasta tidak terlalu perduli dengan keanehan sikap Tirta, jadi dia masuk dan duduk begitu saja tanpa berpikir apapun. Tirta pun menyusul, lalu pergi ke dapur mengambil air putih.
"Ta, hari ini aku mau nginep. Boleh kan!" Tirta tidak menjawab, Rasta pikir temannya itu setuju makannya dia langsung merebahkan diri di sofa.
Tirta kembali dengan membawa segelas air, sambil sesekali melirik ke arah kamar. Dia khawatir pada Khaira, bagaimana jika gadis itu ingin pergi ke kamar mandi.
"Memangnya apa yang terjadi?" Tirta tahu, tapi dia berpura-pura bertanya seakan tak tahu.
Rasta menoleh, "Ah, gadis itu ternyata menyimpan bom. Aku harus menemukannya. Harus!"
Rasta begitu yakin, berbeda dengan Tirta yang kembali melirik pintu kamar. "Bom, apa maksudmu? Apa dia seorang teroris?"
Rasta tersenyum tipis, "Akan lebih baik kalau dia memang teroris. Mungkin aku akan ikut bersamanya menjadi seorang teroris, asalkan dia bukan..."
Ucapan Rasta mengambang seakan ada sesuatu yang tak ingin dia katakan, atau mungkin tak ingin dia percayai. Sesuatu yang tak ingin dia ketahui dan alami.
"Bukan apa?" tanya Tirta mulai ingin tahu.
"Sudahlah, lupakan saja. Hari ini aku tak ingin mendengar apapun tentangnya." ungkap Rasta sambil memejamkan mata.
Tirta tahu siapa yang Rasta maksud tapi lebih baik Rasta memang segera tidur, agar dia bisa menemui Khaira dan memintanya pindah tempat ke kamar yang lain, karena kamar itu sering Rasta gunakan jika dia menginap di rumahnya.
"Dia pergi begitu saja tanpa mengatakan penjelasan, aku mencarinya ke semua tempat dimana seharusnya dia berada tapi sia-sia saja," Rasta menghembuskan napas berat, Tirta diam memperhatikan. "Awalnya aku ingin menyeretnya dengan kasar agar dia menyesal dengan apa yang telah dia lakukan padaku, tapi sekarang aku malah bingung dengan apa yang kurasakan saat ini."
"Jadi kamu marah padanya, apa yang dia perbuat sampai kamu berpikir seperti itu?" Rasta tidak menjawab, bahkan setelah Tirta kembali menanyakan hal yang sama.
****
"Apa dia sudah pulang?" tanya Khaira setelah Tirta membuka pintu lalu duduk disampingnya.
"Dia akan menginap, mungkin kamar ini yang akan dia gunakan. Jadi lebih baik kamu pindah ke kamarku saja. Di rumah ini cuma ada dua kamar tidur, jadi terpaksa kamu harus mengungsi di kamarku sementara waktu." ujar Tirta menjelaskan.
"Lalu apa yang sedang Rasta lakukan?" tanya Khaira, "Apa dia tidak tahu kalau kamu masuk kemari?"
"Dia sedang tidur, jadi lebih baik kamu pindah sekarang. Aku akan membawa tasmu dahulu, baru kamu. Mengerti!" pesan Tirta. Khaira mengangguk, lalu Tirta keluar sambil membawa tas Khaira.
Beberpa menit kemudian, Tirta kembali. Dia meminta Khaira untuk cepat, sebelum Rasta bangun dan memergoki mereka. Mereka memang berhasil pindah tanpa ketahuan, tapi Khaira melupakan sesuatu yang penting.
>>>
10-02-2015, Selasa
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu - Kupu Hitam
General FictionAku tetap akan pergi, tapi aku janji untuk kembali.