Matahari belum menampakkan diri, tapi Khaira sudah berada di kantor. Duduk menunggu dengan cemas, dia masih memikirkan pembicaraannya dengan Tirta. Karena pembicaraan itu pula, dia tidak bisa memejamkan mata semalaman.
Lingkaran hitam dimatanya makin bertambah karena gangguan tidur ditambah masalah yang terus menerus menghimpit hidupnya. Kepalanya jadi sering pusing, dia merasa tengah berada di titik terendahnya saat ini. Yang selalu terlintas di benaknya hanyalah pilihan, pilihan dan pilihan.
Saat Khaira yakin akan melakukan usulan Tirta, tiba-tiba dia merasa ragu. Di satu sisi, dia ingin masalah yang melingkupi dirinya segera berakhir, tapi disisi lain dia harus memikirkan orang disekitarnya. Hal itu selalu terus berputar lalu berakhir dengan kebuntuan.
"Hei, melamun!" seru Melisa mengagetkan Khaira yang tengah sibuk dengan pertempuran sengit dalam lamunannya. "Wajahmu makin lama makin kusut saja, apa karena hari H pemecatan sudah ditetapkan?"
Melisa bertanya sambil menarik kursinya dan duduk didepan Khaira menunggu jawaban. Gadis didepannya justru diam saja, dia baru sadar kalau pandangan Khaira tengah tertuju pada atasan mereka, Pak Risdian yang baru saja tiba. "Hei!" seru Melisa sambil menepuk bahu Khaira.
Gadis itu sempat terlonjak kaget dan melirik Melisa dengan tatapan kesal, tapi dia tak mengatakan apapun. Khaira justru berdiri dari duduknya, meninggalkan Melisa yang melongo tak mengerti. Khaira malah berjalan mengikuti arah atasan mereka pergi.
"Wah, Khaira benar-benar sudah gila. Apa dia suka sama bos!" pikir Melisa sembarangan. Dia segera menutup mulutnya sendiri sambil lihat kanan kiri, takut ada yang mendengar ucapannya tadi. Jika ada, pasti akan ada banyak gosip, dan itu tidak baik untuk kelangsungan Khaira di perusahaan.
"Kunci mulutmu Melisa, kunci mulutmu!" gumam Melisa seperti tengah membaca matra. Tak disangka, Risa ada di depannya dan mendengar gumamannya itu. Tatapan tajamnya terarah pada Melisa, "Memangnya ada apa sampai kamu harus mengunci mulutmu?"
Melisa memicingkan mata, "Itu bukan urusanmu. Sudah seharusnya aku mengunci mulutku diwaktu tertentu, seperti disaat diet. Ah, aku tersiksa." ujar Melisa sambil lalu, dia segera melewati Risa sambil mendorong kursi ke mejanya.
"Makin lama, aku meragukan kewarasannya." gumam Risa, diiringi gelengan tak percaya.
Di depan sebuah ruangan, tepat di depan pintu Khaira terpaku. Dia ragu memutuskan antara mengetuk pintu atau tidak. Sudah lebih dari sepuluh menit dia berdiri disana, tapi tak sedikit pun keberanian muncul dalam dirinya.
Khaira mengambil foto dari sakunya, foto ibu yang satu-satunya dia miliki. Foto yang sengaja dia bawa dari rumah yang lama. Dia melihat foto ibunya sambil menguatkan hati agar bisa berani.
'Jika kenyataan itu begitu membebanimu maka lebih baik kamu jujur dan mengakui semuanya. Aku yakin, mengungkap kebenaran akan membuat perasaanmu lebih baik. Ini adalah hidupmu, bukan hidup oranglain jadi buatlah dirimu nyaman.' sepenggal ucapan Tirta semalam kembali terngiang di ingatannya.
Masih sambil menggenggam foto di tangannya, Khaira meyakinkan diri untuk mengetuk pintu. "Masuk!" terdengar suara dari dalam.
Khaira masuk dengan canggung, setelah dipersilahkan duduk dia segera duduk. Hal pertama yang dia lihat di ruangan itu adalah foto keluarga yang terpajang di dinding. Disana terdapat Rasta dan Alin juga ayahnya, serta tak ketinggalan istrinya, hanya wanita itu satu-satunya orang yang tak Khaira kenal disana.
Jika bisa, Khaira berharap memiliki foto seperti itu, berada di dalamnya dan merasakan kehangatan keluarga yang sesungguhnya. Hatinya mencelos jika memikirkan kenyataan yang tak sesuai harapan, dadanya terasa berat sekali. Dia sangat ingin menangis saat itu juga, tapi dia tidak boleh menangis sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu - Kupu Hitam
General FictionAku tetap akan pergi, tapi aku janji untuk kembali.