Hari ini, aku akan bertemu dengannya lagi. Seseorang yang selalu tak ingin kutemui selama ini, tapi kali ini terpaksa kutemui. Apa alasannya, aku sendiri tak tahu. Dia bilang, aku mungkin bisa mengakrabkan diri dengan Alin sekaligus adiknya, yang kalau tak salah dengar baru kembali dari Inggris setelah 3 tahun menetap disana.
Aku tidak menyangka, dia malah mengajak oranglain di pertemuan kami. Bertemu dengan Alin saja aku sudah malas, apalagi bertemu oranglain yang bahkan tak kukenal sama sekali. Terlebih mereka belum juga muncul sejak tadi, aku benci harus menunggu.
"Apa kami terlambat?" suara Alin yang terdengar dari arah belakang membuatku menoleh.
"Tidak, kami juga baru tiba." Kakak berbohong, aku tak percaya kakak melakukan itu. Jika saja bisa, aku akan katakan kalau kami sudah menunggu mereka sejak satu jam yang lalu.
"Maaf, sepertinya aku mengacau di pertemuan pertama." suara seorang pria terdengar dari arah punggung Alin. Suara itu, terasa tak asing di telingaku.
Sedetik kemudian, aku tahu kalau memang aku mengenalnya. Pria itu adalah orang yang membuatku terjatuh, ternyata dunia ini begitu sempit. Saat pertama kali melihatku, sepertinya dia juga ingat akan kejadian waktu itu. Senyumannya seakan mengejekku, pertemuan pertama dan kedua kami sama saja, tak meninggalkan kesan yang menyenangkan.
"Aku tak percaya, kita bisa kembali bertemu. Jadi kamu yang namanya Khaira! Aku Rasta." sapaannya begitu penuh semangat, tangan itu terulur ke hadapanku. Melihat Kak Dery dan Alin yang menatapku, terpaksa kusambut uluran tangannya.
"Kalian sudah saling mengenal, sejak kapan?" Kak Dery terlihat senang tapi aku bahkan tak ingin menjelaskan kejadian memalukan itu. Jika pria itu mau, aku tidak akan melarangnya. Terserah apa yang mau dia katakan, aku tidak perduli.
"Kami bertemu di depan supermarket. Di pertemuan pertama kami, dia sudah meninggalkan kesan yang mendalam." Dia mengatakan itu sambil melempar sebuah senyuman yang membuatku sangat jengkel. Huh, kesan mendalam apanya! Karena kakinya aku harus kehilangan orang yang selama ini kucari.
"Aku senang bisa satu meja bersamamu. Kapan ya, terakhir kali kita bertemu?" Aku tahu Alin tengah berbasa basi, dan ini hal yang paling tak kusukai.
"Aku tidak ingat." karena aku memang tidak ingat. Sekalipun Alin sering datang, dia lebih banyak bercengkrama dengan Dery dan orangtuanya. Aku hanya bisa mendengar sayup suara mereka dari dalam kamar. Entah mengapa, setiap kali dia datang aku selalu merasa berada di tempat asing.
Dery menyenggol kakiku, aku tahu dia tidak mau Alin terluka karena perkataanku, tapi kenapa kakak tidak memikirkan perasaanku juga? Dulu kakak tidak seperti ini.
"Kita memang sudah lama tidak bertatap muka, pasti kamu tak ingat kapan terakhir kali kita bertemu." Alin malah membesarkan hatinya, aku jadi merasa tersudut. Apa aku seperti pemeran antagonis yang tengah menindas pemeran utama? Baik, kenapa tidak.
"Akhir-akhir ini, Khaira memang memiliki mood yang buruk. Apalagi setelah menerima surat peringatan pertamanya." Kulirik Kak Dery, apa dia membelaku atau memberi dukungan untuk Alin. Kenapa aku semakin muak berada dalam situasi ini.
"Hari ini aku membawa kamera, boleh aku memotretmu?" pertanyaan tiba-tiba dari Rasta membuatku mengalihkan perhatian. Saat aku menoleh, dia memotretku tanpa izin. "Kamu terlihat cantik, boleh kupotret lagi!" ujarnya.
Segera saja kututup wajahku, tapi dia malah terus memotret, "Hei, hentikan! Aku tidak suka di foto. Jauhkan benda itu dariku!"
Bukannya membela, Kak Dery malah tertawa begitupun Alin yang ikut tersenyum. Suasana yang awalnya terasa canggung berubah cair hanya karena ulah Rasta, aku tak percaya. Siapa sebenarnya dia?
Setelah kekonyolannya itu, keadaan menjadi lebih baik. Hanya saja, mataku tak bisa untuk berhenti menoleh padanya, seakan aku tertarik untuk kembali memandangnya.
"Kenapa kamu memandangku seperti itu, kamu tertarik padaku ya!" Rasta berbisik padaku, dan aku hanya bisa menjawabnya dalam hati kalau aku memang tertarik padanya, tapi bukan seperti yang mungkin oranglain bayangkan.
****
"Sejak kamu melihat Khaira, pandanganmu tidak pernah beralih kemanapun. Apa kamu suka padanya?" tanya Alin ingin tahu. Kaca mobil mulai buram karena turunnya hujan.
Rasta tersenyum penuh arti, "Dia gadis pertama yang meninggalkan kesan mendalam untukku. Seperti yang kakak katakan, dia bukanlah gadis yang bisa diajak bercanda, terlalu serius dan jujur. Aku sangat tertarik padanya bahkan sejak pertemuan pertama kami di depan supermarket." jawabnya.
"Berhenti berkata seperti itu. Aku jadi curiga, jangan-jangan yang kamu pelajari disana hanya cara menggoda wanita saja." tuduh Alin seenaknya.
"Saat aku bertemu pandang pertama kali dengannya, aku pikir itu hanya kebetulan. Tapi ini pertemuan kedua kalinya, berarti kita memang ditakdirkan untuk bertemu. Bukan sekedar bertemu, saling pandang lalu lewat begitu saja." ungkap Rasta yakin. Alin justru menertawakan keyakinan adiknya itu.
"Bilang saja kamu menyukai Khaira. Ucapanmu itu terlalu berbelit-belit." Rasta sudah berniat menyangkal, tapi dia lebih memilih mengurungkannya. "Kalau kamu memang tertarik padanya, jangan kembali lagi kesana." ucap Alin Asal. Rasta mulai serius, mungkin dia memikirkan ucapan terakhir kakaknya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu - Kupu Hitam
General FictionAku tetap akan pergi, tapi aku janji untuk kembali.