Lima menit berlalu, Dery masih mengetuk pintu kamar Khaira yang terkunci. "Ra, kakak minta maaf. Kita bisa bicara baik-baik, kan!" serunya dari luar.
Khaira tidak berniat membuka pintu, dia malah sibuk memasukkan ikan pemberian Rasta ke dalam vas bunga. Vas bunga itu telah lama terpajang, tapi tak pernah digunakan sebagaimana mestinya. Lebih baik memanfaatkan yang ada dibanding harus repot mencari keluar kamar.
"Ra, kita perlu bicara. Tolong buka pintunya!" terdengar seruan Dery lagi dari luar kamar. Khaira menoleh, setelah membuang napas kesal dia membukakan pintu untuk Dery.
"Baguslah, kita bisa bicara baik-baik sekarang." ungkap Dery lega, dia senang dengan keputusan Khaira.
"Apa ada masalah yang terjadi? Ayo katakan padaku! Malam ini, aku janji tidak akan membahas Alin." Dery serius dengan kata-katanya.
Khaira menatap Dery nanar, dia bingung dengan perasaannya sendiri. Kenyataan tentang siapa dirinya adalah beban berat bagi Khaira. 'Apa perlu, aku mengatakan kebenaran ini pada Dery, tapi bagaimana jika Dery berubah sikap padaku? Hubungan Dery dan Alin terancam rusak karenaku.' batin Khaira.
"Kenapa kamu malah diam, ayo bicara saja!" Dery mengelus rambut Khaira lembut diiringi senyuman menenangkan darinya, "Kalau kamu memang belum bisa bicara, kakak tidak akan memaksa. Lain waktu, kapan pun kamu bisa bicara. Kakak janji akan mendengarkan tanpa protes."
Khaira mengangguk, tanpa mengatakan apapun lalu menutup pintu. Jika dia bisa, Khaira ingin mengahambur memeluk Dery lalu mengatakan semuanya. Hanya saja, Khaira sadar kalau kenyataan tidak selalu sama seperti yang ada dibayangannya.
Pesan masuk ke ponselnya membuat perhatian Khaira agak teralihkan, dia mendapat pesan dari seseorang yang tak dikenal, tapi setelah dibuka, Khaira tahu itu dari Rasta.
Bagaimana ikannya, masih hidup?
Khaira mengerutkan kening setelah membaca pesan itu, Rasta seakan meragukan dirinya.
Tentu saja ikannya baik - baik saja, ini belum sehari dia bersamaku.
Khaira mengetik balasan dengan yakin sambil tersenyum setengah bangga, tapi saat dia hampir mengirimkannya, gurat keraguan muncul. Dia bingung dengan apa yang tengah dia lakukan, maka pesan itu pun dihapusnya. Khaira memutuskan untuk mengabaikan beberapa pesan masuk dari Rasta, untuk memikirkan tindakannya terlebih dahulu.
****
Pagi ini, Khaira memutuskan untuk berangkat ke kantor. Entah apa yang akan atasannya katakan nanti, tapi yang jelas omelan sudah menunggu disana.
Sebelum berangkat, Khaira memberi makan ikannya. Untuk sesaat dia memperhatikan tingkah laku ikan, entah kenapa melihatnya saja membuat Khaira merasa damai, tanpa sadar senyuman telah terukir di wajahnya. Hal selama ini telah menghilang dari Khaira, mulai terlihat kembali.
Dery masuk tanpa permisi dan tak percaya dengan penglihatannya, Khaira tersenyum. Dia sering melihat Khaira tersenyum, tapi baru kali ini senyumannya terlihat begitu berbeda di mata Dery.
Khaira menoleh, terkejut dengan keberadaan Dery di pintu kamarnya. "Sejak kapan kakak berada disana?"
"Sejak tadi. Sebenarnya apa yang tengah kamu lakukan?" Dery menghampiri Khaira dan mendapati seekor ikan di dalam vas bunga.
"Kamu merawat ikan? Sejak kapan?" tawa mulai keluar dari mulut Dery tanpa permisi.
"Ikan ini pemberian dari seorang te..." ucapan Khaira mengambang, status apa yang patut Rasta sandang di matanya.
"Kenapa tidak dilanjutkan, apa ada sesuatu yang salah? Ah, jangan-jangan pemberian dari orang spesial!" tebak Dery.
Khaira terdiam, dia tidak tahu harus menjawab seperti apa. "Aku bisa telat, lebih baik kakak antar aku sekarang!" Dery hanya tersenyum penuh arti.
Berbeda dengan Khaira, Rasta tengah sibuk dengan foto-foto Khaira yang baru selesai di cetak. Menyusun, lalu memasukkannya ke dalam album foto berukuran sedang yang baru kemarin dia beli sepulang berjalan-jalan dengan Khaira.
Rasta tak hentinya memandangi foto itu sambil tersenyum, sengaja dia menyisakan sebuah foto untuk dia pajang di kamarnya. Sekilas, Rasta memandang ponselnya yang tak juga berbunyi sejak semalam, Khaira tak membalas pesannya hal yang sangat mengecewakan.
****
Om Hadi terlihat serius memandang istrinya dari tempat tidur, sedangkan istrinya tengah sibuk menyisir rambut di depan kaca.
"Ma, sekarang Khaira sudah tahu." ungkap Om Hadi mengawali pembicaraan. Tante Dian menghentikan kegiatannya, tatapan tajam langsung terarah pada Om Hadi.
"Tahu apa?" kalimat yang terlontar dari mulut tante Dian terlalu datar untuk dianggap sebagai pertanyaan.
"Aku memberitahunya mengenai hal 'itu'. Dan sekarang, aku harus memberitahumu." ungkap Om Hadi penuh keyakinan.
"Apa!" nada suara tante Dian mulai meninggi, ekspresi kekecewaan mulai menyelimuti wajahnya. "Kamu lupa pembicaraan kita waktu itu! Kita sudah sepakat tak akan mengatakan apapun, tapi kenapa kamu malah mengingkarinya. Jika dia tahu, hanya penderitaan yang akan dia dapat."
"Sebenarnya sama saja. Apa kamu tidak lihat betapa tidak bahagianya Khaira selama ini? Setidaknya dia harus tahu siapa ayahnya. Mungkin saja dia akan menerima Khaira dengan tangan terbuka."
Tante Dian tersenyum sinis mendengarnya, "Kamu pikir istri dan anak-anaknya akan merentangkan tangan pada anak diluar nikah suaminya? Tidak. Dia pasti akan mengusir Khaira diiringi cacian yang menyakitkan. Dan mengenai lelaki brengsek itu, tak mungkin dia akan menerima Khaira terlebih adikku saja tak pernah dia temui lagi setelah kejadian itu." seru Tante Dian ngotot. Dia tidak mungkin lupa penderitaan adiknya hingga dia akhirnya dipanggil yang diatas, dirinya selalu dipenuhi penyesalan karena sebagai seorang kakak dia tak tahu apapun mengenai penyakit sang adik.
"Pasti ada alasan untuk itu, lebih baik maafkan saja dia!" Om Hadi kembali memberi pengertian.
"Maafkan! Dia merusak masa depan adikku lalu mencampakkannya, apa kamu pikir itu adalah hal yang wajar! Selamanya aku akan selalu membenci lelaki itu." seru Tante Dian penuh emosi.
"Lalu bagaimana jika kita dihadapkan pada satu keadaan dimana kita harus berhadapan dengannya?" tanya Om Hadi sangat serius.
Tante Dian berbalik menghadap suaminya, "Itu tidak mungkin."
"Tidak ada yang tidak mungkin, Dian. Segala hal bisa menjadi mungkin di dunia ini." Om Hadi telah mengusahakan diri untuk tak terprovokasi dengan nada tinggi istrinya, tapi pada akhirnya dia mulai kehilangan sedikit kesabaran yang sejak tadi dia simpan baik-baik.
"Keadaan apa itu, bisa kamu berikan contoh?" Tante Dian yang tak percaya akan kejadian seperti itu hanya bisa mencibir.
"Anak kita berhubungan dekat dengan salah anggota keluarga lelaki itu, apa yang akan kamu lakukan? Merusak hubungan mereka, begitu!"
Tante Dian tersenyum kecut, "Jangan bercanda, itu tidak mungkin."
"Itu bukan lagi tidak mungkin. Pada kenyataannya, Alin adalah putri dari lelaki yang selama ini kamu benci. Awalnya aku pikir tak perlu mengatakan ini padamu, tapi memang inilah kenyataan yang juga harus kita terima."
Tenggorokan tante Dian seperti tercekat, dia terlalu terkejut dengan pernyataan suaminya. Kenapa dia bisa tak tahu hal sepenting itu, sedangkan dirinya mulai merasa nyaman dengan Alin. "Ma, kita juga harus memilih. Kita tidak bisa lari dan menjauh, hal yang terlalu kenakanakkan untuk kita. Apa yang akan kamu lakukan sekarang, aku akan mengikuti semua keputusanmu." ujarnya melanjutkan.
Om Hadi memutuskan untuk keluar dari dalam kamar, memberikan kesempatan untuk istrinya memikirkan semua itu dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu - Kupu Hitam
General FictionAku tetap akan pergi, tapi aku janji untuk kembali.