Titik Awal

1.8K 30 0
                                    

       "Bu, kita ke dokter ya! Khaira takut sakit ibu makin parah kalau tidak segera diobati." ajak Khaira. Dengan penuh perhatian, Khaira menyelimuti tubuh ibunya yang semakin kurus.

       Sudah hampir seminggu ini, ibunya terbaring di tempat tidur. Khaira tidak tahu penyakit apa yang menjangkiti tubuh ibunya, ia sering sekali mimisan dan muntah. Setiap kali Khaira mengajaknya ke dokter, selalu saja dia tolak dengan berbagai alasan.

       "Ibu baik-baik saja, tidak usah khawatir." Ibu Khaira mengelus rambut Khaira lembut, senyuman mulai menghiasi wajahnya yang terlihat pucat. "Belajar saja yang rajin. Seharusnya sekarang Khaira belajar  yang keras, supaya nanti bisa masuk sekolah yang bagus. Ibu akan ingat janjimu untuk selalu membuat ibu bangga. Jadi, jangan buat ibu kecewa." nasihatnya.

       Khaira tidak dapat memaksa, walaupun masih khawatir dan ragu. Tapi, seperti yang ibunya inginkan dia pun segera keluar untuk belajar.

       Sepeninggal Khaira, ibunya mulai menutup mata sambil menggigit bibir bawahnya menahan sakit, air matanya mulai mengalir perlahan. Keadaannya memang tidak terlalu baik seperti yang selalu dia tunjukkan pada Khaira. Darah segar mulai mengalir dari balik hidungnya, segera saja ia mengambil saputangan mencoba menghentikan darah itu.

                             ****

       Khaira baru pulang dari sekolah, dengan semangat dan wajah yang berseri-seri, dia berlari menuju kamar ibunya sambil memegang selembar kertas.

       Dengan perlahan, Khaira menghampiri tempat tidur ibunya yang tengah terlelap, lalu duduk disampingnya. Khaira mulai mengguncang pelan tubuh ibunya agar terbangun, "Bu, bangun! Khaira ingin menunjukkan sesuatu." bisiknya. Tak mendapat tanggapan, Khaira kembali mengguncang tubuh ibunya. "Lihat bu, aku dapat nilai bagus lagi." cerita Khaira.

       Khaira kebingungan, dia kembali mengguncang tubuh ibunya yang tak juga membuka mata. Khaira mulai panik, guncangannya semakin kencang hingga tangan ibunya terjatuh lemas, namun semua usaha Khaira tak menimbulkan reaksi apapun.

       Mata khaira mulai berkaca-kaca, kertas nilainya bahkan telah jatuh tergeletak di lantai sejak tadi. "Ibu, jangan buat Khaira takut. Ayo bu, bangun!" mata Khaira sudah basah dengan airmata.

       Khaira segera berlalu keluar mencari pertolongan, hingga tetangga mulai berdatangan untuk membantu. Tapi sayang, Ibu Khaira tidak sempat tertolong. Salah satu tetangga menatap Khaira iba, dia mengelus rambut Khaira, sedangkan yang lain menutupi seluruh tubuh Ibu Khaira dengan selimut.

       Khaira menarik kembali selimut itu, "Apa yang Bapak lakukan, Ibuku belum meninggal!" serunya tak terima. Khaira kembali mengguncang tubuh ibunya, sambil menangis keras. "Bu, Khaira takut. Jangan tinggalkan Khaira sendiri. Ibu, bangun! Ayo Bu, bangun!"

       Seseorang bermaksud menarik Khaira, tapi dia menepisnya. Khaira justru memungut kertas nilainya yang terjatuh, "Lihat Bu, nilaiku bagus. Ibu harus melihatnya!" ujar Khaira lirih. Pada akhirnya, Khaira hanya bisa terduduk lemas di lantai sambil menangis terisak.

       Malam harinya, paman dan bibi Khaira datang. Mereka tak sempat melihat jasad ibu Khaira, karena beliau telah dikebumikan sejak sore tadi. Khaira sendiri tak ikut ke pemakaman karena dia terus mengurung diri di dalam kamar. Sesekali terdengar suara tangisan dari kamarnya, tapi tak ada yang bisa meyakinkan Khaira untuk membuka pintu dan keluar darisana. Beruntung, salah satu tetangganya  berbaik hati menunggui Khaira hingga paman dan bibinya tiba.

       "Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Bibi Khaira yang baru tiba penuh emosi. Paman Khaira yang ada disampingnya segera menenangkan. "Dery, lebih baik sekarang kamu temui Khaira!" Dery yang sejak tadi berdiri disamping ayahnya langsung mengangguk, dia segera masuk tanpa sempat mendengar percakapan orangtuanya.

       Tepat di depan pintu, Dery mulai mengetuk kamar Khaira beberapa kali. "Khaira, kamu ada di dalam? Ini aku Dery!" Tak ada jawaban, Dery kembali mengetuk pintu lebih keras, tapi hal yang sama tetap terjadi.

       Akhirnya Dery berlari keluar, dia ingat kalau kamar Khaira memiliki jendela. Dia ingin memastikan kalau jendela itu terbuka, dan senyuman terkembang di wajah Dery setelah mengetahui kalau dugaannya benar.

       Dery segera masuk melalui celah jendela dan mendapati Khaira tengah memeluk lututnya di depan pintu, dengan wajah yang tertelungkup. "Khaira!"

       Kenapa suaranya terasa begitu dekat? Bukannya ia ada diluar? gumam Khaira dalam hati.

       Khaira pun mengangkat wajahnya, dia sangat terkejut mendapati Dery tengah berdiri di depannya sambil tersenyum.

       "Kamu terkejut, kan! Seharusnya kamu tahu, aku ini sangat pintar!" Dery pun berjongkok di hadapan Khaira. "Kamu tidak sendiri, aku ada disini. Jadi, jangan menangis sendirian!" Khaira masih diam, yang dapat dia lakukan saat itu hanyalah menatap Dery.

       Khaira mengenal Dery, sekitar dua tahun yang lalu orangtuanya pernah berkunjung satu kali ke rumahnya. Ibunya mengenalkan Dery sebagai sepupu Khaira, sedangkan orangtua Dery sebagai paman dan bibinya. Hanya itu yang Khaira ingat tentang Dery.

       Dery menghapus air mata yang mengalir di pipi Khaira, "Uh lihat! Wajahmu jadi terlihat aneh."  Khaira terpaku, perhatian Dery membuatnya merasa terlindungi.

       "Kamu  mau dengar ceritaku  Pasti mau, kan!" Dery segera duduk bersila dihadapannya mempersiapkan diri, sedangkan Khaira masih diam. "Oke, aku akan menceritakanya!"

Kupu - Kupu HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang