Khaira telah kembali berada di rumah, kepalanya sangat pusing karena harus mendengarkan banyak hal yang tak ingin dia dengar. Berbeda dengannya, Dery justru pulang dengan penuh senyuman, tentu saja karena pertemuan mereka tidak berakhir buruk seperti yang dia bayangkan.
"Rasta adalah pria yang sangat menarik. Dia bisa mencairkan suasana dan membuat kita tidak saling canggung satu sama lain." puji Dery.
Khaira mulai menarik gagang pintu rumah perlahan, tak menanggapi pujian Dery tentang Rasta. Dia bahkan tak berminat untuk membicarakan hal itu, terlebih berhubungan dengan orang yang telah mempermalukannya.
"Kamu mungkin tidak sadar, tapi dia sering sekali menatapmu lama. Jangan-jangan dia tertarik padamu!" tebak Dery. Khaira malah tersenyum tipis, tak percaya akan tebakan Dery yang baginya tidak bermutu. "Aku hebat dalam menebak, jangan ragukan aku seperti itu." lanjutnya.
"Terserah kakak saja." Khaira malas kalau harus berdebat.
"Sebenarnya bagaimana cerita pertemuan pertama kalian, aku jadi penasaran?" tanya Dery antusias
"Aku ngantuk, kak. Aku duluan." Khaira pamit sambil berjalan gontai menuju kamarnya. Dia sengaja menghindar karena tak mau menjawab pertanyaan Dery.
"Ra!" panggil Dery. Khaira berbalik tanpa semangat. "Terima kasih untuk malam ini."
"Hmmm," balas Khaira malas, matanya sudah sangat berat ingin segera merebahkan diri di tempat tidur dan terlelap.
Jika memang tak ada sebuah kebetulan di dunia ini, maka pertemuan kita tadi adalah takdir. Aku pikir dia bisa mengubahmu menjadi lebih baik. Gumam Dery sambil tersenyum penuh arti memandang Khaira yang telah memasuki kamarnya.
****
Rasta menatap layar ponselnya sambil membaringkan diri diatas tempat tidur, terdapat beberapa panggilan tak terjawab dari 'ES'. Rasta ragu untuk menelpon balik, tapi setelah menimbang agak lama, dia memutuskan untuk menelponnya.
"Ada apa?" tanya Rasta dingin. Bukan hal yang lazim saat dia bersikap begitu serius pada seseorang diseberang sana. Sosok Rasta yang penuh senyum pun berubah drastis.
"Ya, aku tahu. Kuharap untuk sementara ini, jangan dulu hubungi aku." jawabnya kemudian, hubungan telepon pun terputus. Rasta mematikan ponselnya lalu mengambil kamera yang tersimpan diatas meja. Melihat foto Khaira saat di restoran, Rasta pun tersenyum simpul.
Ada sesuatu di dirinya yang membuatku sangat tertarik. Tapi, apa itu? Aku sama sekali belum tahu. Gumam Rasta dalam hati.
Ketukan di pintu sedikit mengganggu lamunan Rasta, mamanya sengaja mendatangi kamar putranya untuk tujuan tertentu. "Kita perlu bicara, mama boleh masuk?"
Rasta segera beranjak dari tempat tidurnya, menghampiri mamanya yang masih berdiri di sudut pintu. "Ayo kita bicara di luar saja." ajak Rasta sambil merangkul pundak mamanya menuju ke teras depan rumah.
Malam itu langit mendung, awan terlihat menutupi bintang dan bulan. Rasta duduk dengan santai dihadapan mamanya, "Malam hari seharusnya terasa dingin, tapi kenapa aku merasa kepanasan."
"Alin bilang kamu akan kembali ke Inggris secepatnya. Kenapa kamu tidak menetap disini saja, dan meneruskan perusahaan yang ayahmu pegang. Setiap kamu kembali kesana, mama selalu khawatir. Apa sebenarnya yang kamu kerjakan disana?" tanya Mama Rasta serius.
"Kapan dia bilang! Uh, dasar pengadu!" gerutu Rasta berpura-pura kesal. Mama langsung membela Alin dengan mengatakan kalau Alin juga khawatir padanya.
"Awalnya begitu, tapi itu baru rencana. Sepertinya aku akan tinggal lebih lama kali ini." ungkap Rasta, sekilas terukir senyuman dari wajahnya. Mama Rasta terpaku, melihat puteranya bersikap seperti seseorang yang tengah jatuh cinta.
"Apa ada seseorang yang menahanmu disini?" tanya Mama Rasta penasaran. Ekspresi wajahnya menunjukkan pengharapan besar, kalau Rasta akan tetap bertahan disini tanpa harus kembali ke negara orang, apalagi tidak ada yang tahu nasibnya seperti apa. Dia tidak perduli, siapa pun orang yang menahan Rasta, yang terpenting dia bisa menahan Rasta selamanya.
Rasta kembali tersenyum, "Aku tidak tahu, tapi aku akan mencari tahu." jawab Rasta diplomatis. "Mama tenang saja, Rasta tidak akan pergi kemana pun tanpa memberitahumu lebih dahulu."
"Kalau begitu, selama disini kamu bisa datang ke kantor dan membantu ayahmu." Ekspresi Rasta langsung berubah dingin, seakan tersadar mamanya segera mengalihkan pembicaraan ke pertemuan Rasta dengan kekasih baru Alin beberapa hari lalu.
"...Mama belum sempat bertemu dengan pria itu, Alin seperti menyembunyikannya dari mama. Apa dia baik?" tanyanya kemudian.
"Dari yang kulihat, mungkin dia memang pria yang baik. Mama tenang saja, kakak pasti punya alasan kenapa dia belum mengenalkannya." jawab Rasta sedangkan mamanya mencoba berpikir positif akan hubungan Alin dengan Dery -pria yang hanya dia tahu namanya saja-
****
Pagi ini, Khaira mendapat tugas menyiapkan ruang rapat untuk pertemuan penting. Khaira sendiri tahu, yang akan datang ke kantornya sering disebut-sebut sebagai orang yang memegang peranan penting di perusahaan tempat dia bekerja, tapi hingga dua tahun berlalu, baru kali ini ada kesempatan untuk melihat orang itu secara langsung. Beberapa teman kantor Khaira memiliki nasib yang sama dengannya, mereka belum pernah melihat orang penting itu hingga mereka penasaran.
"Ra, menurutmu orang itu pria atau wanita?" tanya Melisa penasaran. "Aku tidak tahu."
"Apa dia masih muda?" tanya Melisa lagi. Dia seakan harus tahu segala hal tentang orang yang bahkan tak mereka tahu wajahnya sama sekali.
"Aku tidak tahu." jawab Khaira mencoba bersabar mendapat pertanyaan tak penting dari Melisa -satu satunya orang yang perduli padanya di kantor-
"Bisa gak sih, kalian gak berisik!" gerutu Risa. Dia memang selalu membenci Khaira, dari semenjak pertama masuk hingga saat itu, tidak terkecuali Melisa. Apa alasannya, hanya Risa sendiri yang tahu.
"Ah, lihat! Orang penting itu datang!" seru seseorang disebelah Risa. Otomatis semua mata tertuju ke arah orang yang sejak tadi mereka tunggu.
Awalnya semua biasa saja, hingga beberapa detik kemudian, saat Khaira bisa melihat orang itu secara jelas karena melewati tempatnya berdiri. Khaira tertegun, dia tidak percaya dengan penglihatannya. Khaira bahkan kesulitan untuk menoleh, seakan bayangannya saja tak boleh terlewatkan. Panggilan Melisa sendiri tidak dia perdulikan, sebelum dia menyenggol Khaira mengingatkan pekerjaan yang harus mereka selesaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu - Kupu Hitam
General FictionAku tetap akan pergi, tapi aku janji untuk kembali.