"Dimana kalian bertemu?" tanya Tirta kembali.
Rasta heran, mengapa Tirta terlihat begitu penasaran dengan gadis yang dia sukai. Terlintas dipikirannya kalau Tirta mungkin mengenal Khaira tapi entah kenapa dia urung untuk bertanya.
"Kami pertama bertemu karena sebuah insiden tidak disengaja, dia tersandung kakiku. Kupikir setelah kejadian itu kami tak akan bertemu kembali, tapi ternyata takdir menuntunku bertemu dengannya lagi." Rasta berujar setengah menerawang.
Tirta tahu, ada yang salah dengan temannya itu. Setahunya Rasta adalah seorang pria anti-wanita, namun entah bagaimana caranya dia bisa tertarik pada Khaira. Apa gadis itu pun merasakan hal yang sama, itu yang mulai menjadi tanda tanya di kepalanya.
"Kenapa diam, ada yang salah?" tanya Rasta, setelah melihat Tirta yang diam saja. Tirta menggeleng sekilas, bukan itu yang dia pikirkan.
"Aku mengenalnya, dulu dia tetanggaku." ungkap Tirta seadanya, "dulu adikku berteman dekat dengannya, tapi setelah ibunya meninggal. Dia ikut pindah bersama paman dan bibinya, setelah itu aku dan adikku tak mendengar kabar tentangnya lagi."
Tirta masih ingat saat dimana Khaira datang ke rumah dan bermain boneka bersama Sania, dia juga masih ingat saat Khaira menangis karena anak ayamnya mati. Dengan berurai air mata dia meminta maaf pada Sania karena tidak bisa menjaga anak ayamnya dengan baik. Termasuk saat ibu Khaira mengembalikan bonekanya. Semua itu kembali berputar dengan berurutan, tak ada sedikit pun yang terlewat di ingatannya.
Rasta mulai penasaran dengan cerita Tirta, dia lebih ingin tahu tentang masa lalu Khaira. "Kenapa ibunya bisa meninggal?"
"Aku sendiri tidak tahu, sepertinya dia sengaja menyembunyikan penyakitnya dari siapapun, termasuk Khaira yang waktu itu masih duduk di bangku sekolah dasar." jawab Tirta datar. Dia jadi ingat pertemuannya, beberapa waktu lalu dengan Khaira.
"Bagaimana dengan ayah Khaira, apa dia juga telah tiada?" tanya Rasta lebih antusias.
"Aku tidak tahu mengenai ayahnya, banyak gosip yang beredar mengenai hal itu. Dulu, aku sempat menguping pembicaraan ibuku dengan tetangga sebelah, darisana kudengar kalau Khaira terlahir dari hubungan terlarang." cerita Tirta seadanya.
Rasta tertegun setelah mendengar kalimat terakhir Tirta, dia berpikir kalau nasib Khaira sangat buruk harus menghadapi kenyataan yang begitu pahit, sekalipun untuk di dengar oranglain. Sekarang dia mengerti alasan Khaira menganggapnya sebagai ancaman.
"Apa kamu kasihan padanya?" Tirta bertanya dengan serius saat Rasta tengah berputar dengan pikirannya sendiri. "Tentu saja, apa kamu tak merasakan hal yang sama!"
"Kita hanya merasakan berdasarkan penggambaran, bukan pada kenyataan. Aku yakin, Khaira tak membutuhkan rasa kasihan dari siapapun." Rasta mengerti maksud Tirta, karena memang bukan itu yang akan dia tunjukan pada Khaira.
****
Pagi yang menusuk, hanya inilah yang dia rasakan. Seseorang yang tak ingin dia temui ternyata berada tepat di depan pintu utama kantor, entah karena apa seseorang sepertinya harus diam disana. Yang jelas, Khaira jadi ragu untuk masuk kantor. Dia bukan pegawai yang bisa dengan mudah berbasa basi dengan atasan, apalagi hubungan mereka tidak sesederhana itu.
Sayangnya yang tahu kenyataan yang terjadi hanya sepihak, ini terasa berat bagi Khaira. Setiap kali dia melihatnya, selalu terlintas bayangan ibunya yang menangis, selalu terlintas betapa sulit ibunya merawat dan membesarkannya sendirian hingga beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Dia selalu merasa menyesal karena tak tahu apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu - Kupu Hitam
General FictionAku tetap akan pergi, tapi aku janji untuk kembali.