"Berapa lama kau akan tinggal disini, Rasta?" tanya Gio serius. Rasta hanya mengendikkan bahu, membuat Gio kesal.
Setelah menjemput Rasta di bandara, Gio sudah menanyakan itu berkali-kali tapi orang yang ditanyai selalu menjawab dengan isyarat yang sama.
"Memangnya ada apa, kamu khawatir aku menumpang di rumahmu?" tebak Rasta cepat. Dia tidak mungkin lupa kekacauan yang dia buat sehingga Gio dan istrinya bertengkar hebat, Rasta pikir alasannya terlalu sepele. Hanya karena dia datang dengan membawa seekor hamster sebagai hadiah. Tentu saja, jika Istri Gio tidak menilai binatang yang dia bawa sebagai tikus, makhluk yang paling dia benci.
"Ya, kali ini aku terang-terangan menolakmu di rumahku. Kamu tahu, berapa lama aku didiamkan olehnya? Seminggu! Apa kamu tahu, berapa hari dalam seminggu?" ungkap Gio penuh penekanan.
"Oke, oke aku tahu. Tenang saja, aku tidak akan menginap di rumahmu. Mana mungkin aku melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya, kan!" Rasta mencoba menenangkan Gio dengan menepuk pundaknya.
"Lalu dimana kamu akan tinggal?" Gio memang tidak suka Rasta tinggal di rumahnya, tapi bukan berarti dia tak perduli pada sahabat kecilnya itu.
"Kali ini, aku akan mengalah untuk menginap di rumah orangtuaku, karena memang mereka alasanku pulang, terutama mamaku. Setelah itu, aku akan memikirkannya lagi." jawab Rasta santai.
"Sebenarnya apa yang kamu kerjakan disana, menjadi fotografer freelance bukanlah hal yang menjanjikan dibanding meneruskan perusahaan yang papamu pegang saat ini." Gio tak habis pikir dengan jalan pikiran Rasta.
"Aku ingin memulainya dari awal, bukan meneruskan sesuatu yang sudah ada. Memang butuh proses, tapi jika aku berusaha keras dengan baik, pasti akan ada jalan. Saat ini aku tengah mencari modal, dan soal perencanaannya sudah kubuat jauh hari." jawab Rasta percaya diri.
"Ayahmu pasti akan membantu. Jangan terlalu keras kepala, kalau kamu terus seperti ini, tidak akan ada seorang gadis pun yang mau denganmu!" nasehat Gio terang-terangan.
Rasta menatap Gio penuh arti sambil tersenyum, "Itu karena gadis yang kamu kenal hanya melihat uang, tanpa mau tahu proses panjang untuk mendapatkannya." ungkapnya.
"Uang memang dibutuhkan semua orang, termasuk dalam memulai sebuah hubungan. Tapi, jika gadis itu hanya berbinar penuh cinta disaat kamu bergelimang uang. Maka dapat dipastikan, dia akan pergi menjauhimu setelah kamu sengsara." lanjutnya.
Gio agak terkejut dengan jawaban Rasta, dia tak menyangka kalau temannya itu memiliki penilaiannya sendiri mengenai seorang gadis.
****
Khaira membanting tasnya ke atas tempat tidur, sehingga sebagian isi didalamnya berhamburan. Hari ini dia mendapat surat peringatan pertamanya setelah setahun bekerja, karena perusahaan menilai kinerjanya mulai memburuk. Khaira memang sering kehilangan konsentrasi, pikirannya tak bisa lepas dari rumahnya yang saat itu telah rata dengan tanah.
Khaira merobek surat peringatan yang sempat dia terima. Tingkat stresnya semakin bertambah dua kali lipat karena kejadian ini. Terlebih akhir-akhir ini dia harus mendapati Dery tak bisa meluangkan waktu karena Alin.
Khaira mengangkat wajah, cermin memperlihatkan pantulan dirinya dalam keadaan yang kacau. Hal ini membuat Khaira semakin kesal, dia terlihat begitu menyedihkan disana.
Khaira yang tak tahan, akhirnya memutuskan keluar untuk menjernihkan pikiran. Dia bahkan tidak sempat membawa apapun.
"Kamu mau kemana Khaira?" tanya mama Dery saat melihat Khaira yang akan keluar malam itu.
"Keluar sebentar tante," jawabnya singkat. "Kamu yakin tidak apa-apa sendirian?" Selama ini, Khaira memang tak pernah keluar sendirian, apalagi di malam hari. Kalau pun ada acara, Dery yang akan selalu siap mengantar tapi hari ini Dery punya kegiatannya sendiri.
"Tak apa tante, aku hanya ingin berjalan-jalan sebentar saja di sekitar sini." ungkap Khaira beralasan.
"Kalau begitu hati-hati."
Setengah jam telah berlalu, Khaira hanya berjalan tanpa tujuan menyusuri trotoar jalan yang cukup sepi. Hingga dia berhenti di salah satu halte dan duduk disana. Waktu pun berlalu, orang-orang berlalu lalang melewatinya sampai halte itu sepi dan tinggal Khaira saja yang masih terdiam di tempat.
Khaira sadar, tak ada siapa pun lagi disana. Jam di tangannya pun telah menujuk angka sembilan, sudah saatnya dia untuk pulang.
Baru saja Khaira akan melangkah pergi, seseorang memanggilnya. Dia menoleh dan mendapati seorang pria dengan kemeja hitam menghampirinya dengan senyuman ramah.
"Lama tak berjumpa!" sapanya setelah berada dihadapan Khaira. Khaira sendiri sama sekali tak ingat dengan pria dihadapannya itu. "Apa kamu tak mengingatku?" tanyanya tak percaya.
"Maaf, tapi sepertinya aku memang lupa." Khaira menyesal tak mengingat pria itu, tapi justru nada suaranya terdengar datar.
"Apa aku berubah begitu drastis? Pasti aku semakin tampan sampai kamu tak mengenaliku." serunya penuh percaya diri, Khaira sendiri agak mengerutkan keningnya mendengar ucapan itu.
"Dulu, kamu sering bermain ke rumahku. Sania selalu berharap bisa bermain denganmu lagi setelah kamu memutuskan untuk tinggal bersama om dan tantemu." cerita pria itu lagi.
Khaira mulai ingat, pria yang tengah berdiri dihadapannya pasti tetangganya dulu. Sebelum ibunya meninggal dan dia ikut pindah bersama tantenya, dia sering bermain ke rumah pria itu karena adiknya adalah teman sekelasnya di sekolah. Mereka sangat akrab, sampai tak ada sedikit pun rahasia diantara mereka. Khaira hampir melupakan kenangan itu, hidupnya bahkan sudah banyak berubah.
"Kak Tirta, senang bisa bertemu denganmu lagi!" ungkap Khaira seulas senyum mulai terkembang disana. "Baguslah, kamu mengingatku. Kudengar tanah yang dulu kita tinggali sudah diratakan, aku turut prihatin."
Khaira tak bisa mengatakan apapun mengenai rumahnya, dia selalu merasa sesak jika mengingat itu. "Aku berharap bisa bertemu Sania lagi. Sekarang dia tinggal dimana, kak?"
"Sebulan yang lalu, Sania mengalami kecelakaan. Jika dia masih ada, pasti dia akan sangat senang bisa bertemu denganmu lagi." Khaira terkejut, dia tidak menyangka kalau Sania teman masa kecilnya yang begitu baik harus dipanggil lebih dulu.
Untuk beberapa saat keduanya terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. "Sudah semalam ini, sebenarnya kamu mau kemana?" tanya Tirta tiba-tiba.
"Aku hanya sedang berjalan-jalan saja. Sepertinya aku harus pulang sekarang." Khaira baru sadar kalau jam di tangannya sudah menujuk angka sepuluh. "Mungkin, lain kali kita bisa bicara lagi."
"Biar aku antar!" tawar Tirta cepat.
"Tidak usah, terima kasih!" tolak Khaira.
"Sudah, jangan sungkan begitu. Ayo ikut, ini sudah terlalu malam untuk pulang sendirian. Jangan menolak!" Khaira memang tidak bisa menolak, karena menerima tawaran itu sudah seperti sebuah keharusan.
****
"Sebenarnya Khaira izin kemana, aku sudah berputar-putar mencarinya tapi dia tidak ada?" tanya Dery mulai kesal.
"Dia hanya bilang mau berjalan-jalan sebentar di sekitar sini." tekan Mama Dery meyakinkan.
Tak lama, terdengar suara mobil masuk ke pelataran rumah. Dery dan mamanya langsung melihat lewat jendela. Dari sana, terlihat Khaira keluar dari dalam mobil, lalu setelahnya mobil itu pun pergi. Baik Dery maupun mamanya tidak mengetahui siapa orang yang mengantar Khaira.
"Darimana saja kamu, dan siapa yang mengantarmu tadi?" tanya Dery menyelidik.
Khaira yang baru masuk rumah agak terkejut mendapat pertanyaan mendadak seperti itu. Terlebih, tante Dian yang berdiri di belakang Dery terlihat begitu khawatir padanya. Khaira memang salah karena pergi terlalu lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu - Kupu Hitam
General FictionAku tetap akan pergi, tapi aku janji untuk kembali.