Setelah kejadian tadi, Khaira berlari pergi ke toilet dan menangis tersedu disana. Beruntung sedang tidak ada siapa pun, jadi dia tak usah menahan tangisannya lagi. Sudah cukup berpura-pura tak terjadi apapun, padahal yang tengah dia alami tak sebaik orang kira.
Cermin yang berdiri dihadapan Khaira, seakan menjadi layar lebar yang menampilkan sebuah film panjang tentang dirinya. Lebih tepatnya ingatan masa lalu yang masih terasa pahit hingga saat ini.
Ada saat dia menjadi bahan olokan teman-temannya, saat orang menghina ibunya, saat tak ada yang mau menemaninya bermain selain Sania, dan saat ibunya meninggal. Kilatan masa lalu itu membuat Khaira kesulitan untuk menghentikan tangisan yang semakin deras membasahi pipinya.
Ingatan itu seketika lenyap saat pintu toilet di buka dari luar, Khaira sendiri segera membasuh wajahnya dengan air wastafel. Kemudian keluar sebelum wanita yang baru masuk toilet sadar akan keadaannya.
Khaira kembali ke meja kerjanya, menatap kertas-kertas laporan yang masih menumpuk di atas meja. Pikirannya sangat kacau, setelah melihat layar komputer yang menyala mucul-lah sesuatu di benaknya. Tanpa pikir panjang dia mengambil ponselnya dan menghubungi Tirta, meminta bertemu di tempat kemarin.
****
Rasta memutar-mutar ponselnya diatas meja, dia kesal karena tak sekalipun Khaira menghubunginya padahal dia berharap mendapat sedikit tanggapan bukan pengabaian seperti sekarang.
Pada akhirnya Rasta menyerah, dia lebih memilih menelpon Khaira terlebih dahulu daripada terus menerus menunggui ponsel yang tidak juga menyala sekaligus memarahinya layaknya orang gila. Nada sambung pertama, kedua, ketiga tak juga diangkat, baru saat nada sambung kelima panggilannya diangkat tapi tak ada suara.
"Ra, Khaira?" panggil Rasta. Khaira yang berada di seberang telepon enggan untuk menjawab, karena dia tengah duduk bersama Tirta. Tapi sebenarnya Tirta-lah yang meminta dia mengangkat telepon itu. "Iya, aku disini."
"Aku pikir kamu pingsan karena mendapat telepon dariku." terdengar tawa dari seberang telepon, hanya saja Khaira bahkan tidak tersenyum ataupun bersikap kesal seperti biasa.
Dia menatap Tirta yang tengah duduk dihadapannya dengan ekpresi memohon. Mendengar suara Rasta saja Khaira tak sanggup, ingatannya pasti mengingat kejadian tadi pagi. 'Untuk apa aku melakukan ini? Aku bahkan tak mengerti masudmu memintaku mengangkat telepon dari Rasta, seharusnya kakak menyuruhku menjaga jarak.' batin Khaira sambil menatap Tirta tak mengerti.
"Apa kita bisa bertemu?" tanya Rasta tiba-tiba. Khaira langsung memutar otak mencari alasan untuk menolak, tapi Tirta yang bisa mendengar pembicaraan itu, memberi isyarat gelengan padanya.
'Kenapa?' pertanyaan itu yang ekspresi Khaira tunjukkan, sedangkan Tirta malah mengangguk ringan seakan berkata, 'Percayalah padaku, cepat jawab!'
"Ya." jawab Khaira akhirnya. "Baiklah, bagaimana kalau sekarang? Kamu sudah pulang kantor, kan!"
"Tapi sekarang aku..." Tirta segera memegang tangan Khaira agar menghentikan ucapannya, dengan ekspresi yang dia tunjukkan dia meminta Khaira menyetujui keinginan Rasta.
"Kamu tidak bisa?" tanya Rasta terdengar kecewa, "Ah, aku bisa. Temui aku di tempat biasa, aku akan ada disana." jawab Khaira sambil menatap Tirta yang memberinya sebuah senyuman.
Hubungan telepon pun terputus, Khaira langsung menginterogasi Tirta. Dia tentu tahu masalah apa yang tengah Khaira hadapi, tapi dia malah mendorongnya mendekat pada masalah lain.
"Kenapa kakak memintaku melakukan ini? Aku tidak bisa. Mana mungkin aku menemui orang yang berhubungan dengan ayahku lagi apalagi dia adalah ... Ah, sudahlah!" Kalimatnya terdengar begitu kencang di telinga Tirta hingga dia menautkan alis tak nyaman.
"Aku tahu kamu pasti akan bertanya- tanya, tapi kupikir ini yang terbaik. Lari dari masalah adalah jalan terburuk." nasihat Tirta setelah melihat Khaira lebih tenang.
"Seperti kata orang, dunia akan terasa sempit saat kamu menemukan permainan takdir berputar di hidupmu, apalagi ini berhubungan dengan orang yang tak ingin kamu temui. Aku sadar, kita telah bertemu di satu titik yang sama karena hubungan yang kita miliki di masa lalu." Begitupun saat aku tahu bahwa Rasta temanku, adalah kakak tirimu dan dia menyukaimu. Aku yakin dengan penglihatanku, sangat yakin. Batin Tirta melanjutkan.
****
Risdian duduk merenung di ruang kerjanya, sepulang dari kantor dia selalu mengingat ekspresi Khaira yang begitu terluka. Dia tidak bisa menebak apa alasan Khaira menangis, tapi dia merasa sedikit bersalah karenanya.
"Kenapa melamun, ada masalah lagi di kantor?" tanya istrinya yang baru masuk membawakan secangkir teh hangat. Dia pun duduk disamping suaminya yang tengah menyadar ke lengan sofa.
"Bukan masalah besar." jawabnya diiringi tarikan napas dalam.
"Tidak biasanya kamu datang ke ruang kerjaku, pasti ada sesuatu yang ingin kamu katakan." tebak Risdian kemudian.
"Ini mengenai Rasta, kamu tentu tidak lupa alasan anak itu memilih tinggal di inggris, kan!" ungkap istrinya coba mengingatkan.
"Aku ingat. Lalu apa kamu menginginkanku pergi dan membiarkan Rasta tinggal. Aku tidak akan pergi, jika hanya pindah rumah, baru akan kupikirkan." jawabnya tegas.
"Bukan itu, mana mungkin aku mengusir suamiku sendiri. Aku pikir, Rasta akan tetap tinggal jika dia memiliki seseorang yang dia sukai. Dia bilang, alasannya masih bertahan karena ada seseorang yang menarik hatinya. Aku ingin tahu siapa gadis itu, kalau bisa akan kuminta dia agar membujuk Rasta tetap tinggal." sangkal istrinya cepat.
"Jika memang hanya ini jalan terbaiknya, coba saja lakukan. Tanyakan langsung padanya, dia mungkin akan bilang kalau hal itu adalah privasinya. Mereka sama dalam hal hubungan asmara, jadi percuma saja. Biarkan semua mengalir seperti air, jangan membuat Rasta tidak nyaman dan malah memutuskan untuk pergi."
"Ini karena aku khawatir."
"Mereka sudah dewasa, pada akhirnya mereka akan memilih sendiri jalan hidup mereka. Alin sudah memutuskan jalan hidupnya tanpa campur tanganmu, lebih baik lakukan saja hal yang sama pada Rasta." nasihat Risdian.
"Selalu saja bersikap tidak perduli, kita keluarga. Apa salahnya khawatir!" seru istrinya mulai kesal.
"Aku perduli, tapi khawatir berlebihan tidak ada gunanya selain menghabiskan energi." jawab Risdian ringan, "Apa kamu tidak merasa lelah menyewa orang untuk mengintaiku? Selama ini aku menyikapinya dengan bersikap tak perduli dan karena itulah kita tetap bertahan. Nilai kepercayaanmu padaku tidak lebih dari 1% tapi aku tidak pernah membahasnya karena setelah kesalahan pertamaku dulu, penyesalan selalu menghantuiku."
"Apa kamu masih memikirkan wanita itu?"
"Aku tidak akan berbohong kalau di waktu-waktu tertentu aku memang mengingatnya, tapi tetap saja semua telah berlalu. Dia sudah memiliki seorang putri sekarang, itu artinya dia hidup dengan baik setelah hubungan kami berakhir." pikirnya.
"Kamu tahu darimana, apa kamu bertemu dengannya?" tanya istrinya, dia mulai menunjukkan rasa khawatir berlebihan.
"Tidak, aku hanya bertemu dengan anaknya. Emm... secara kebetulan." jawabnya ragu.
"Dimana itu?" Risdian mulai tak suka dengan pembicaraan mereka, dia mulai menyadari ketakutan istrinya.
"Untuk apa kamu menanyakan ini, aku tidak akan melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. Jadi kupikir kamu tak perlu tahu keberadaan anak itu, jika kamu tak percaya kamu masih bisa mengawasiku setiap waktu, aku tak akan keberatan. Sudahlah, lebih baik aku istirahat saja!"
Risdian berdiri dari duduknya dan meninggalkan istrinya sendirian tanpa menyentuh teh yang dia bawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu - Kupu Hitam
General FictionAku tetap akan pergi, tapi aku janji untuk kembali.