"Maaf, aku agak terlambat." sesal Tirta sesampainya dia di depan Khaira yang masih duduk di halte sendirian. Tak ada seorang pun disana selain suara samar binatang malam yang tertutupi suara kendaraan.
"Aku hanya menunggu sejam belum 24 jam, jadi kurasa tidak masalah." jawab Khaira setengah menyindir, tapi sangat jelas kalau dia hanya ingin membuat lelucon. Sebenarnya melihat Tirta datang, Khaira sudah merasa sangat senang. Itu artinya, dia mengingat ucapannya kemarin.
"Bagaimana kalau aku datang besok, apa kamu masih akan menungguku disini?" balas Tirta.
"Kalau begitu, aku akan pulang dan kembali esok hari." Khaira menjawab tanpa ekspresi tapi begitu masuk akal di telinga Tirta. "Baiklah, aku kalah." Tirta pun duduk disamping Khaira, menarik napas sejenak.
Khaira menoleh memandang Tirta, memperhatikan apa yang tengah dia lakukan, seakan dia tengah memperhatikan sesuatu yang tak boleh terlewatkan. Kekaguman di mata Khaira tak mungkin bisa ditutupi, membuat Tirta yang menyadari hal itu menjadi tak nyaman.
"Kapan kita pergi, udara malam tak baik untuk kesehatan." pengalihan dari Tirta segera menyadarkan Khaira tujuan pertemuan mereka malam itu. "Ah, aku hampir lupa."
Tirta beranjak dari duduknya, "Kalau begitu, ayo kita pergi!"
Khaira masih diam di tempat sambil menundukkan kepala, Tirta menoleh tak mengerti dengan sikap gadis itu. "Ada apa?"
"Sejujurnya aku ingin mengatakan sesuatu hal yang amat penting. Malam kemarin aku tidak berani mengatakannya karena berbagai alasan. Aku yakin kakak bisa membantuku, jadi apa kakak mau mendengarnya?" Khaira mengangkat kepalanya menatap lurus kearah Tirta penuh tekanan.
Suasana menjadi hening, Tirta tidak berani bertanya langsung maka dia lebih memilih diam. "Aku anggap kakak setuju."
Tirta masih diam, dia hanya khawatir kalau gadis itu akan mengatakan sesuatu yang mengejutkan. Khaira sendiri tengah menguatkan hatinya karena terdapat jeda yang lama saat dia mengatakan kalimat terakhirnya.
"Kupikir kakak pasti tahu alasan mengapa ibuku menjagaku seorang diri. Jadi aku tak perlu menjelaskan apapun mengenai hal itu, kan!" cerita Khaira mengawali, tangannya mulai mencengkeram ujung pakaiannya tanpa sadar. Matanya pun mulai berkaca-kaca, Tirta malah terpaku tak bisa mengatakan apapun.
"Semua orang membicarakan kebenaran, tapi aku mencoba menyangkalnya dalam hati. Hanya saja, kenyataan yang telah kuketahui tak akan bisa terus disangkal. Fakta itu membuatku harus merenungkan semuanya dengan pikiran sejernih mungkin. Aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa, baik ibu ataupun ayahku keduanya tak bisa kusalahkan." ungkap Khaira melanjutkan.
Tirta mengerti bahwa Khaira sangat tertekan dengan nasibnya yang begitu tak beruntung, tapi dia tetap mencoba bersikap sekuat mungkin dihadapan banyak orang termasuk dirinya.
Tirta kembali duduk disamping Khaira, perlahan tangannya terangkat ragu, lalu tanpa sadar dia telah mengelus rambut Khaira lembut. Khaira menoleh, airmata mulai mengalir dengan deras membasahi pipinya. Inilah yang Khaira butuhkan, hanya perhatianlah yang bisa menguatkannya sama seperti saat ibunya meninggal.
"Kenyataan yang membebaniku adalah, saat aku tahu kalau ayahku tinggal di kota ini dan ternyata atasanku. Lalu, kekasih Dery yang tak kusukai ternyata adalah kakakku. Dunia ternyata bisa begitu sempit, takdir memang sengaja mempertemukan kami tapi dengan cara yang begitu rumit." Tirta merangkul bahu Khaira, membiarkan gadis itu menyandarkan diri.
"Sedangkan laki-laki itu..." Tirta mulai merasa agak cemas mendengar kalimat yang berhubungan dengan Rasta. "dia memberiku benda yang membuatku khawatir. Jika memang yang kakak katakan benar, berarti kesalahan besar telah terjadi. Dia kakak kandungku, walaupun separuh darah kami berbeda, tapi kami berasal dari ayah yang sama."
Tirta terpaku seakan ada kilat yang menyala tepat dihadapannya, dia tak mengira akan mendengar kenyataan yang berada jauh diluar kepalanya. Seperti yang sempat Khaira katakan, takdir memang sulit di tebak.
****
Seperti yang Alin ucapkan, keluarga intinya hadir menyambut kedatangan Dery. Walaupun dia hanya datang sendirian.
Dery menyalami pria paruh baya dihadapannya dengan enggan, "Malam, om!" sebuah sapaan basa basi pun meluncur begitu saja dari mulutnya.
"Jadi kamu yang namanya Dery, Alin tak pernah terbuka pada kami siapa kekasihnya saat ini. Yang dia katakan pada kami hanya namamu saja, dan sekarang bisa bertemu secara langsung denganmu merupakan keajaiban. Itu artinya Alin sudah mau membuka diri lagi, dia pasti sangat menyukaimu." goda ayah Alin diakhir kalimat, tatapan penuh arti bahkan dia tujukan pada putrinya itu.
"Lebih baik kita masuk saja," ujar Rasta, dia mulai bosan dengan pembicaraan mereka.
Seperti rencana awal, mereka makan malam bersama. Suasana yang terjalin diantara mereka tak juga bisa mencair karena tak ada yang berniat memulai pembicaraan. Suara piringlah yang justru terdengar mendominasi, Rasta yang biasanya menjadi pencair suasana memilih diam saja. Dia memang selalu bersikap acuh jika berada bersama ayahnya, ikut makan di meja yang sama saja sudah merupakan sesuatu yang langka.
"Kudengar kamu memiliki restoran yang kamu kelola sendiri, pasti masakan disini terlihat begitu sederhana." ujar Ayah Alin mencoba mencairkan suasana.
Dery memandang sekilas lalu membalas perkataan Ayah Alin dengan senyum simpul, dan kembali melanjutkan makannya, walaupun saat itu dia tak memiliki sedikit pun selera makan. Pikirannya tertuju pada Khaira, bagaimana jika gadis itu tahu kalau dia tengah berada satu meja dengan ayahnya.
"Kenapa kamu bisa menyukai Alin?" mama Alin mulai buka suara, dia sendiri merasa tak nyaman dengan keadaan di meja makan yang begitu kaku dan aneh.
"Dia adalah gadis yang baik, aku menyukainya karena sikapnya yang tidak berlebihan di depan siapapun." jawab Dery jujur, jawabannya memang sederhana dan terkesan tak beralasan tapi itulah yang dia rasakan.
"Hanya itu?" tanya ayah Alin setengah tak percaya, tapi dari tatapannya saja dia sadar ucapan Dery bukan kebohongan.
"Lalu apa yang om lihat dari tante, hingga om memutuskan untuk menikah?" pertanyaan Dery cukup menyentak Ayah Alin, dia tidak pernah mendapat pertanyaan seperti itu dari siapapun.
Dulu yang dia lihat dari istrinya saat itu hanyalah masa depan yang cerah, karena dia bisa memperluas jangkauan bisnisnya. Hingga saat itu, dia sendiri tak tahu sejak kapan dia melihat istrinya dengan penuh cinta karena wanita yang selalu ada dihatinya adalah oranglain.
Mama Alin menunggu jawaban dari mulut Ayah Alin, dia sendiri bahkan merasa penasaran dengan jawaban suaminya itu. Dia bertanya-tanya pandangan suaminya selama ini.
Dia tahu, suaminya memiliki masa lalu dengan seorang wanita yang sempat membuat rumah tangganya agak terguncang. Siapa wanita itu dan dimana keberadaannya tak pernah diketahuinya hingga saat ini, karena dia tak pernah menampakkan diri. Tapi setelah permohonan maaf yang begitu tulus dari suaminya, dia luluh dan tak membahas kesalahannya lagi hingga sekarang. Hanya saja, Rasta terlanjur tahu dan membenci ayahnya karena masalah itu.
"Aku memutuskan menikah karena aku tahu dia yang akan mendampingiku hingga tua." jawaban asal yang justru meluncur dari mulut suaminya membuat mama Alin agak kecewa.
Alin justru tertawa karena merasa jawaban ayahnya sangat konyol, sedangkan Rasta dan Dery memiliki pandangan mereka sendiri mengenai jawaban itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu - Kupu Hitam
General FictionAku tetap akan pergi, tapi aku janji untuk kembali.