Rasta mengikuti Khaira dari belakang, dia tidak menyangka akan mendapat reaksi tak bersahabat dari Khaira. Hanya karena sedikit kalimat yang mungkin agak menyinggungnya, Khaira langsung berjalan pergi.
Walaupun Rasta tahu Khaira tak ingin diikuti tapi dia tetap mengikuti Khaira hingga depan pintu, walupun tidak ada niat untuk kembali masuk. Biarlah kakaknya pulang sendiri, dia masih ingin berjalan-jalan.
Sekilas Khaira sempat berbalik dan melihat kepergian Rasta, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Mungkin dia merasa tidak enak, atau ada sesuatu hal lain yang membuatnya merasa tertarik untuk mengenal Rasta. Ini tidak seperti bayangannya, Khaira sendiri ragu akan apa yang tengah dia rasakan.
Sedetik kemudian Khaira mulai sadar, dia tengah berada di jangkauan pandang ruang tengah, tempat Dery dan Alin tengah mengobrol. Tak lupa, tante Dian yang juga ikut duduk bersama keduanya. Mereka menoleh memandang kepulangan Khaira, "Kemari Khaira, duduk disini bersama kami!" ajak Tante Dian, sayangnya Khaira terlalu lelah untuk duduk dan mendengarkan pembicaraan oranglain.
"Maaf tante, tapi Khaira capek sekali. Mungkin lain kali." tolak Khaira halus, Dery agak kecewa dengan sikap Khaira. Tapi apa mau dikata, dirinya sangat amat malas, Khaira hanya berharap dia tidak marah padanya dan mau mencoba mengerti.
Dibelakangnya, Om Hadi baru pulang kantor. Dia sempat mendengar penolakan Khaira begitupun ekspresi wajahnya saat dia berjalan menuju tangga.
****
Rasta duduk di pinggiran trotoar, pandangannya menerawang. Hingga seorang pria berdiri dihadapan Rasta, "Kupikir aku tidak terlambat. Apa yang kamu lakukan disini?" tanyanya.
"Hanya iseng, mungkin saja aku bisa mendapat sedikit uang dengan duduk disini." jawab Rasta sembarangan. Pria itu duduk disamping Rasta, sambil tersenyum.
"Kapan kamu datang? Bukannya kamu bilang sendiri, tak ingin kembali lagi kemari? Aku masih ingat kata-katamu itu dengan jelas." ungkap pria itu serius.
"Awalnya kupikir akan mudah, tapi tak akan pernah semudah itu jika keluarga yang kucintai masih tinggal disini." jawab Rasta jujur.
"Hanya Ayahmu yang melakukan kesalahan, tapi kenapa mama dan kakakmu juga harus menerima imbasnya. Lebih baik lupakan saja kesalahan itu, setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan." nasehat pria itu bijak.
Ekspresi Rasta berubah, terlihat sekali kalau dia sangat kesal mendengar pembelaan itu. "Melupakan pengkhianatan oranglain mungkin aku masih bisa, tapi ini terlalu sulit untuk dilupakan, lebih lagi dimaafkan."
"Menjadi pendendam itu bukanlah hal yang baik." Pria itu mencoba mengingatkan. Rasta malah tersenyum sinis menanggapinya, "Seorang Tirta tak akan pernah bisa mengerti. Sebagai teman, aku hanya ingin mengingatkanmu untuk jangan terlalu baik, nanti kamu pasti akan mendapat masalah." ucapannya seakan mengancam.
"Aku tidak sebaik itu, tapi aku berterima kasih atas pujianmu." ujar Tirta santai. Dia tidak terlalu perduli akan sikap dingin Rasta, terlebih ucapannya yang begitu tajam dan menusuk. Mereka sudah berteman sejak sekolah menengah, mana mungkin dia tidak tahu seperti apa perangai seorang Rasta.
"Ayahku berselingkuh dan aku yakin itu. Apalagi setelah kulihat foto yang terselip di dompetnya adalah sosok wanita asing, bukan ibuku. Hingga saat ini, aku bahkan masih menyimpan fotonya sebagai pengingat betapa aku membencinya." Rasta mulai meluapkan emosinya dengan bercerita, hanya pada Tirta saja Rasta berani mengungkapkan kebenciannya.
Sudah sejak lama Tirta tahu akan hal itu, tapi Rasta tak pernah bosan mengungkitnya di setiap pertemuan mereka, seakan itu adalah hal wajib yang harus selalu dibahas. Semenjak penemuan foto yang secara tak sengaja itu, Rasta benar-benar berubah sikap pada ayahnya yang berakhir dengan keadaan Rasta saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu - Kupu Hitam
General FictionAku tetap akan pergi, tapi aku janji untuk kembali.