Khaira memasuki rumahnya, setiap sisi ruangan dia perhatikan. Baik foto yang terpajang di dinding atau pun perabotan rumah yang masih berada di tempat yang sama. Yang berbeda hanyalah, semua barang itu dihinggapi oleh debu.
Memasuki kamarnya, mata Khaira langsung tertuju pada bantal kupu-kupu yang dulu ibunya berikan sebelum meninggal. Khaira menyentuhnya perlahan, lalu mengambil dan memeluknya erat. Mata Khaira mulai terpejam, tapi tak ada sedikit pun air mata yang mengalir darinya.
Sejak kecil, Khaira memang tidak pernah dibelikan boneka oleh ibunya. Khaira sendiri tak mengerti, padahal dia sangat iri melihat Sania yang sering membawa boneka yang cantik bila bermain ke rumahnya. Walaupun begitu Sania sangat baik, dia sering meminjamkan bonekanya. Bahkan pernah sekali waktu, Sania bermaksud memberinya salah satu dari boneka yang dia miliki, tapi ibunya langsung mengembalikan boneka itu hingga Khaira menangis.
Khaira yang marah tidak mau keluar dari kamarnya, sekalipun menahan lapar seharian dia tidak perduli. Sambil memeluk lututnya dia menyandar ke pintu, tak memperbolehkan siapa pun masuk terlebih ibunya.
"Ira, buka pintunya. Makan dulu!" seru ibunya dari luar, Khaira tetap tak perduli dia memilih diam tak menjawab.
Malam harinya, Khaira pun mulai merasakan perutnya melilit minta diisi, terpaksa dia membuka pintu karena dia pikir ibunya pasti sudah tidur. Tapi ternyata, dia malah mendapati ibunya berada tepat dihadapannya sambil memegang sepiring nasi dan segelas air putih.
Khaira hendak menutup kembali pintu, tapi ibunya langsung masuk. "Makan dulu, nanti ibu jelaskan alasan ibu mengembalikan boneka pemberian Sania." bujuknya.
Khaira yang waktu itu memang sudah sangat lapar, dengan polosnya menyetujui usulan itu. Seakan lupa akan tekadnya, dia malah dengan lahap memakan makanan yang ibunya bawakan dan mengatakan kalau masakan ibunya selalu terasa enak.
"Ira, ibu melarangmu karena ibu punya alasan. Kamu tahu kan, kita hanya tinggal berdua disini. Seharusnya kamu mengerti keadaan ibu sekarang, kita tidak boleh menerima pemberian dari orang lain sembarangan." ujarnya mulai menjelaskan.
"Sembarangan Khaira tidak menerima pemberian dari sembarang orang, Sania bukan oranglain kan, bu?" tanya Khaira meyakinkan.
"Sania memang gadis yang baik, tapi kamu harus ingat, menerima kebaikan oranglain berarti kita harus siap untuk membalas kebaikan itu suatu saat nanti. Ibu tidak pernah melarangmu untuk bermain boneka. Tapi untuk saat ini, ibu belum bisa membelikanmu boneka. Nanti, kalau ibu sudah memiliki uang yang cukup, ibu pasti belikan kamu." janjinya.
Khaira membuka matanya, dan ingatan itu pun menghilang. Yang terlihat hanyalah ruangan yang sepi, pengap dan tak berpenghuni. Karena tak tahan, dia pun berlari keluar dari dalam kamar berserta bantal yang masih dia genggam erat. Pandangan Khaira langsung tertuju ke arah pintu kamar ibunya yang berada tepat di depan kamarnya.
Menit demi menit dia habiskan hanya untuk memandangi pintu kamar ibunya yang masih tertutup, Khaira takut masuk ke dalam sana. Takut jika kenangan yang sudah coba dia lupakan kembali beterbangan diingatannya. Namun, perasaan itu menarik Khaira untuk masuk. Tanpa sadar, dia memegang gagang pintu dan membukanya perlahan.
Langkahnya tak bisa terhenti hanya disana, Khaira memasuki kamar mengamati setiap senti kamar yang dulu ibunya tempati. Terasa sempit jika dibandingkan kamarnya yang sekarang, tempat tidur yang dia duduki pun terasa seperti tanah yang kekeringan. Bingkai foto ibunya yang terpajang diatas meja pun terlihat begitu berdebu, Khaira segera membersihkannya lalu memajangnya kembali. Tapi tiba-tiba, Khaira memutuskan mengambil foto itu untuk dibawanya pulang. Namun, saat dia akan mengeluarkan foto ibunya, foto lain terjatuh.
"Ra! Khaira!" suara seseorang mengagetkan Khaira, dia menoleh ke arah pintu. Ada seseorang diluar sana yang memanggilnya, lalu tanpa diduga cahaya menyilaukan membangunkannya.
Dery telah berkali-kali memanggil Khaira, bahkan pintu kamarnya sudah diketuk sekencang mungkin, tapi tetap tak ada jawaban. Jika pintu kamarnya tak dikunci, mungkin Dery sudah masuk sejak tadi. "Ra, Khaira! Buka pintunya!" serunya lagi.
Khaira sendiri baru membuka matanya, ini semua karena dia terlalu serius memperhatikan foto yang dia temukan di belakang foto ibunya, hingga tanpa sadar dia justru tertidur. Apa tadi hanya mimpi? batin Khaira.
Khaira kaget sekali saat melihat jam di dinding yang sudah menunjuk angka empat, apalagi mendengar ketukan di pintu yang terus menerus. Dengan cepat, dia berlari dan membukakan pintu.
"Ada apa, kak? Sepertinya tadi aku ketiduran." ujar Khaira memberi alasan, masih sambil memegang gagang pintu.
"Kebiasaanmu mengunci pintu membuatku sangat khawatir, kupikir kamu pingsan." komentar Dery. Khaira hanya menanggapinya dengan senyuman.
"Ah iya, tadi Alin meneleponku dia bilang ada urusan mendadak, jadi sepertinya makan malam kita dibatalkan. Tapi dia janji, besok akan mengajakmu untuk makan malam di restoran favoritnya." Khaira terdiam, dia sama sekali tidak mengerti dengan maksud ucapan Dery.
****
"Lama tak berjumpa, kak!" sapa Rasta penuh senyuman, dengan jahil dia memotret kakaknya yang terlihat kesal. "Kak Alin-ku yang cantik, sepertinya kakak tidak merindukanku. Apa tiga tahun tak bertemu kurang lama?" goda Rasta.
"Untuk apa memintaku bertemu, teleponmu itu merusak acaraku malam ini." gerutu Alin kesal. "Mama sampe sakit gara-gara mikirin kamu. Lebih baik diam saja disini atau jangan kembali selamanya sekalian."
Rasta langsung tertawa mendapat tanggapan sinis dari Alin, dia sangat tahu walaupun kata-katanya begitu menusuk, tapi dalam hati Alin pasti merindukan dirinya.
"Aku sempat memikirkan itu." gumam Rasta mulai serius, Alin langsung meliriknya ingin tahu. "Tapi, apa kakak berani jamin tak akan merindukanku!" Rasta malah menggodanya lagi.
Alin menyesal telah mengaggap ucapannya tadi, seperti biasa Rasta memang tidak pernah serius. Setiap hal seakan bisa menjadi lelucon untuknya, bahkan hidupnya sendiri.
"Kudengar kakak tengah dekat dengan seseorang. Siapa? Kuharap dia pria yang baik." Rasta memang selalu meragukan pilihan kakaknya, mengingat hubungan Alin kebanyakan berakhir buruk. Apalagi pacarnya yang terakhir, pria itu pemarah dan suka main tangan. Dia sendiri sudah merasakan pukulannya demi membela Alin.
"Aku tidak berharap lebih, tapi sejauh ini dia tak pernah membuatku tak nyaman. Hanya saja, aku sangat penasaran dengan adiknya. Aku yakin, dia tak menyukaiku. Dan saat aku telah memiliki kesempatan mendekatinya, kamu merusaknya dengan meneleponku." ujar Alin meluapkan kekesalannya.
"Aku ingin bertemu dengannya. Apa kakak mau mengajakku?" harap Rasta. Alin berpikir sejenak, lalu mengangguk tak yakin. Dia takut Rasta malah merusak suasana, dalam hati Alin berdoa agar tak terjadi hal apapun. "Bisa jelaskan sedikit tentang gadis itu padaku?"
"Namanya Khaira, kupikir dia cantik. Siapa pun yang melihat dia, pasti ingin mengenalnya. Dia bukan gadis yang ramah, bukan juga gadis yang sombong. Sulit sekali untuk menebak apa yang dia pikirkan, yang pasti dia bukan gadis yang bisa diajak main-main, apalagi bercanda." ujar Alin penuh penekanan.
Mendengar cerita Alin, Rasta mulai membayangkan sosok Khaira. Dia jadi penasaran, seperti apa Khaira yang kakaknya bicarakan itu. Mungkin saja pandangan Alin berbeda dengannya, tapi mungkin juga penilaian Alin tak salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu - Kupu Hitam
General FictionAku tetap akan pergi, tapi aku janji untuk kembali.