Kenyataan

1.1K 24 0
                                    

       Ayunan bergerak pelan, memainkan rambut Khaira yang tengah duduk di sana, di bawah pohon rambutan yang tumbuh disamping rumahnya. Hari pun terlihat mendung, diikuti dedaunan kering yang berjatuhan tersapu angin. Khaira mengamati semua itu tanpa ekspresi. Dari sana, dia bisa melihat rumahnya yang tak terurus, bahkan cat dindingnya sebagian besar telah terkelupas.

       Perhatian Khaira beralih pada suara decitan ringan pagar rumah yang tengah terbuka. Pagar itu memang hanya sebatas perut orang dewasa, jadi dia langsung tahu siapa saja yang datang, termasuk Dery yang tengah berjalan menghampirinya. "Sepuluh tahun berlalu dengan cepat, rumah ini jadi sedikit berubah."

       Khaira menoleh, menatap Dery yang telah berdiri disampingnya. "Aku sangat menyesal tak bisa membantumu." lanjutnya.

       "Bagiku rumah ini sama saja," tangan Khaira mulai mencengkram erat tali ayunan, "Malah aku yang sekarang berubah."

       "Kamu tidak bisa tinggal disini lebih lama lagi, dalam dua hari ke depan tanah ini akan diratakan. Kamu ingat, kan!" ujar Dery mengingatkan. Khaira hanya bisa menatap nanar rumahnya.

       Melihat kesedihan yang terpancar dari wajah Khaira, Dery mengelus rambut Khaira lembut. "Mungkin, ini saat untukmu bangkit. Seperti yang ibumu katakan, buatlah dia bangga!"

       Khaira memandang Dery penuh harap, dia tidak mau hal itu terjadi. Rumah yang penuh dengan kenangan bersama ibunya ternyata harus berakhir menjadi sebuah pusat perbelanjaan. Dia tidak terima, amat sangat tidak terima. Terlebih selama ini, Khaira hanya berkunjung beberapa kali saja, itu pun harus curi-curi waktu.

       Setelah Khaira memiliki waktu luang, dia justru harus mendapati rencana untuk tinggal disana ternyata tak akan bisa terealisasi, karena kedatangan seseorang. Pria itu mengatakan, kalau bangunan tempat tinggalnya berdiri diatas tanah milik oranglain. Khaira sempat bersikeras, tapi surat bukti dari pengadilan tidak bisa membuat Khaira berkutik, termasuk Pamannya. Khaira terpaksa menerima kompensasi dan menandatangani surat pernyataan walaupun dengan sangat berat hati.

       "Apa kamu sudah mengemas barang-barang yang akan kamu bawa?" pertanyaan Dery cukup untuk membuyarkan pikiran Khaira.

       "Belum. Bisa beri aku waktu, aku ingin sendirian sekarang." Dery mengangguk sekilas, lalu berjalan pergi.

       Kepergian Dery meninggalkan keheningan, Khaira memperhatikan sekitarnya yang mulai terlihat sepi karena sebagian besar tetangganya memang sudah pindah. Tentu saja setelah mendapat kompensasi yang cukup lumayan. Khaira juga mendapat hak yang sama, tapi dia bahkan tak ingat kalau kompensasi itu berada di laci kamarnya dengan isi yang belum tersentuh. Khaira merasa, seberapa besar pun uang kompensasi yang dia terima tak akan pernah cukup untuk menggantikan kenangan berharga yang melekat disana.

       Khaira tidak bisa meminta bantuan Dery apalagi paman, ketika bisnis konveksinya tengah dalam keadaan yang kurang baik. Sedangkan Dery masih mengembangkan bisnis restoran yang masih membutuhkan dana. Khaira sendiri sadar, dia tak punya kuasa apapun untuk menentang.

       Tatapan Khaira beralih ke coretan di dinding yang mulai memudar. "Khaira, jangan coret-coret tembok. Nanti kotor!" suara itu terdengar seperti suara ibunya. Khaira mencari arah suara itu, tapi tak ada siapapun disekelilingnya. Khaira kemudian sadar, suara itu hanyalah ilusi yang dia buat sendiri.

       Dari dalam mobil,  Dery dan Alin bisa melihat Khaira yang melamun dari kejauhan.

       "Khaira baik - baik saja, kan?" Dery menggeleng, "Entahlah. Kamu mungkin bisa melihatnya sendiri, apa dia terlihat baik saat ini?"

       "Bagaimana kalau aku saja yang menasehatinya. Mungkin dia akan mengerti?" usul Alin.

       Dery menggenggam lengan Alin. "Tidak perlu, Khaira butuh sendiri sekarang." Alin tersenyum, dia pun membalas genggaman tangan Dery.

       Usulan Alin membuat Dery ingat pembicaraannya bersama Khaira beberapa waktu yang lalu.

       "Kak, siapa wanita itu?" 

       Waktu itu, Khaira bahkan bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi.

       "Ah, iya. Aku lupa mengenalkannya padamu. Dia Alin." jawab Dery singkat. Khaira tersenyum simpul mendengarnya. "Kakak menyukainya?"

       "Ya, tentu saja. Kami sudah memiliki hubungan khusus sejak sebulan yang lalu. Maaf, aku baru memberitahumu." Khaira menarik napas berat, sekilas matanya melirik Dery.

       "Tidak masalah." jawab Khaira datar.

       Suasana terasa sangat canggung, Khaira agak berbeda hari itu. Dery tidak tahu apa yang terjadi, tapi Khaira seakan menutupi sesuatu.

       "Aku tidur dulu, kak. Sepertinya aku perlu istirahat." Kali ini, Dery yakin Khaira mulai berubah sikap setelah mendengar pengakuannya tentang Alin.

       "Apa kamu tak menyukai Alin?" tanya Dery serius. Khaira langsung menoleh, "Jika aku tak menyukainya, apa yang akan kakak lakukan? Apa kakak akan meninggalkannya? Tidak, kan! Aku bukan orang yang bisa bermanis muka pada seseorang yang aku tidak suka. Aku yakin, kakak tahu itu." jawab Khaira tegas.

       "Apa alasannya? Dia wanita yang baik, mungkin dia bisa menjadi teman untukmu!" tekan Dery meyakinkan.

       Aku tidak perduli seberapa baiknya Alin dimatamu. Aku hanya takut Alin merebut seluruh perhatian kakak dariku, gumam Khaira dalam hati.

                             ****

       Dery melihat Khaira keluar dari rumah sambil membawa sebuah bantal berbentuk kupu - kupu, dengan kombinasi warna hitam dan putih. Dia sempat bertanya mengenai 'isi rumah Khaira yang lain' tapi Khaira hanya menjawab dengan ringan, kalau ia akan menyumbangkan semuanya pada orang yang membutuhkan.

       "Ayo kak, kita pulang!" ajaknya. Sekilas Khaira memandang Alin yang duduk disamping kemudi. Akhirnya Dery memutuskan untuk pulang hari itu juga, walaupun benaknya masih bingung mengingat sejak mereka tiba dan memutuskan untuk pulang, Khaira belum sempat pergi ke makam ibunya.

       Sepanjang perjalanan, tak ada sepatah kata pun yang terlontar dari mulut Khaira. Alin yang duduk di depan sesekali mengajak Khaira bicara, tapi dia memilih diam sambil memandang jauh menembus kaca mobil. Setelah sampai, Khaira langsung memasuki kamar dan mengunci diri.

       "Apa Khaira selalu seperti itu?" tanya Alin penasaran.

       "Kurasa tidak. Aku dan keluargaku sudah mengerti kebiasaannya. Jika Khaira mengunci pintu, itu artinya tak ada yang boleh mengganggunya. Aku tidak tahu apa yang Khaira pikirkan, tapi hampir setiap saat dia selalu terlihat baik-baik saja. Saat kami bercengkrama, Khaira selalu ikut meramaikan suasana, walaupun tak banyak hal yang bisa dia ceritakan, tapi senyumannya memberi sedikit kelegaan bagi kami." Alin mulai memandang Dery penuh rasa ingin tahu. "Apa kamu tidak pernah bertanya mengenai perasaannya?"

       "Dia pernah bilang dadanya terasa sesak. Aku sempat memintanya pergi ke dokter, tapi dia menolak." Alin mengerutkan kening, ucapan Dery tidak bisa dia mengerti.

       "Semenjak ibunya meninggal, dan kami mengajaknya kesini, Khaira selalu mengurung diri di kamar. Sepulang sekolah, sisa waktunya dia habiskan dengan membaca, dan belajar. Setelah memasuki bangku SMA, sikapnya berubah jadi lebih ceria, rambutnya yang panjang dia potong pendek." ungkap Dery melanjutkan. Alin mulai mencerna ucapan Dery.

Kupu - Kupu HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang