Rasta tengah mengemas pakaiannya, sesuai rencana dia akan kembali ke Inggris bersama Elsa. Tak peduli mama dan kakaknya yang keberatan, ayahnya saja yang sama sekali tak menunjukkan keberatan apapun.
Foto Khaira yang sekilas terlihat olehnya membuat Rasta kesal, karena telah melakukan hal yang sangat bodoh. Memotret Khaira secara sembunyi-sembunyi, lalu menyusunnya dalam sebuah album foto dan yang lebih dia sesali adalah Khaira telah mendapatkan album foto itu.
'Aku melakukan hal yang tidak masuk akal, sangat amat diluar kewajaran. Apa yang sebenarnya aku pikirkan saat itu!' Rasta pun melemparkan foto Khaira ke tempat sampah.
Tanpa Rasta sadari, Alin telah melenggang masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu dan duduk di sofa. "Sejak kapan kakak duduk disana?"
"Foto siapa yang kamu lempar itu?" Alin tersenyum simpul melihat Rasta yang kesulitan menjelaskan. "Jawab saja pertanyaanku!" kilah Rasta.
"Baiklah, lupakan saja. Apa kamu yakin akan pergi?" Rasta mengangguk pasti, "Mama sudah sembuh, dan aku akan kembali kesana. Ini memang rencanaku sejak awal."
"Kuharap bukan karena ayah." nada suara Alin mulai memelan, Rasta melirik kakaknya. "Ya, aku memang memutuskan untuk kembali berkat kejutan darinya,"
Alin mencoba mencerna apa yang Rasta maksud, tapi dia kesulitan untuk mengerti "Dia tidak pantas sebagai ayah." ungkap Rasta dingin.
"Rasta!" Alin berseru marah.
"Apanya yang salah, dia hanyalah pengkhianat. Aku tidak ingin menjadi sepertinya, aku tidak ingin mendapat didikan darinya. Aku hanya ingin memulai semuanya sendirian tanpa campur tangannya. Dulu, mungkin aku sangat menghormatinya dan berharap menjadi sepertinya, tapi saat ini aku ingin menjadi diriku sendiri dan memilih jalan hidupku sendiri. Jika saja dia tidak menyalakan api, mungkin saat ini aku tidak akan merasakan panas yang membakar ini." ungkap Rasta penuh emosi.
Alin seharusnya mengerti, dia sendiri tahu kesalahan apa yang telah Risdian lakukan dimasa lalu. Seperti mama, dia memberikan maafnya dan melupakan kejadian itu begitu saja. Namun, bagaimana jika Alin tahu kenyataan yang dia ketahui sekarang. Entahlah, Rasta tidak bisa menjelaskan apapun, karena mamanya terancam sakit lagi apabila mengetahuinya.
"Mama baru saja sembuh. Kamu ingin membuatnya sakit lagi! Setidaknya pikirkan perasaan mama." bujuk Alin.
Tentu saja Rasta memikirkannya, mama adalah orang pertama yang dia beritahu. Walaupun mama sangat kecewa pada keputusannya, tapi dia mengerti pilihan Rasta. Itulah mengapa dia begitu yakin untuk pergi.
"Tak ada yang akan berubah, kak!" Alin berdiri dengan kesal mendengarnya, "Terserah saja, aku tidak perduli." dia pun melengos pergi karena tak berhasil membujuk Rasta.
****
Tok tok tok
"Ya, sebentar!" Khaira berjalan cepat menuju pintu.
Pintu terbuka, Khaira terpaku mendapati ayahnya berdiri dihadapannya dengan masih mengenakan setelan jas. "Bisa kita bicara?" tanyanya.
"Ke-napa an-da bisa ada disini?" tanya Khaira setengah terbata. Risdian tersenyum sekilas, kemudian duduk di kursi berbahan kayu yang ada di teras. "Aku sengaja datang untuk bertemu denganmu, ada banyak hal yang perlu kita bicarakan."
Khaira ikut duduk dihadapan Risdian dengan canggung, tak pernah barang sekalipun dia bermimpi dikunjungi oleh ayahnya. Benaknya bertanya-tanya tapi tak ada yang terucapkan secara langsung. "Waktu yang kamu lalui pasti sangat berat. Apa kamu menyesal setelah mengetahui ayahmu ternyata adalah lelaki yang tak bertanggungjawab?"
Diam. Hanya itu yang bisa Khaira lakukan, dia sangat senang saat ayahnya secara tak langsung telah mengakui dan memperhatikannya, tapi dia juga sedih saat ayahnya mengatakan bahwa dirinya bukanlah ayah yang bertanggungjawab.
"Selama ini, aku hidup dengan nyaman sedangkan kamu dan ibumu hidup dalam kesulitan, meminta maaf saja rasanya itu tak akan cukup. Apa yang kamu inginkan dariku sebagai penebusan? Katakan saja, aku berjanji untuk memenuhinya." Khaira masih bungkam, karena dia sama sekali tak menginginkan apapun.
"Apa kamu kecewa padaku sampai kamu memutuskan mengundurkan diri dan tinggal disini?" Risdian telah menunjukkan penyesalan yang besar, tapi Khaira belum juga memberikan tanggapan apapun.
"Ini bukan sepenuhnya salah anda, saya sendiri tak pernah berpikir untuk meminta. Sekedar anda mengakui saya sebagai anak, walaupun hanya dihadapan saya, itu sudah lebih dari cukup." akhirnya Khaira bersuara diiringi hembusan napas berat. Jauh dalam hati, dia berharap mendapat pengakuan dihadapan seluruh keluarga. Namun itu terlalu egois, maka lebih baik dia mengalah dan merelakan semuanya.
"Setidaknya katakan satu saja permintaanmu, tanpa itu aku tak akan pernah bisa berdiri tegak dihadapanmu sebagai seorang ayah." ungkap Risdian yakin, Khaira sendiri tak percaya akan pendengarannya. "A-anda..."
"Panggil aku ayah dan ucapkan saja permintaanmu padaku." ujarnya lagi. Mata Khaira mulai berkaca-kaca. Inikah rasanya memiliki seorang ayah, aku sangat bahagia sekarang. Bu, ayah mengakuiku. Ibu melihatnya kan, dari sana! batin Khaira.
****
"Kamu terlihat bahagia hari ini, wajahmu berseri sekali?" tanya Tirta saat tiba di depan teras. Khaira tersenyum lebar, "Aku memang sedang bahagia, semakin ayahku datang. Dia berjanji padaku akan pergi ke makam ibu besok."
"Dia datang kemari!" Tirta sangat terkejut mendengarnya, terlebih yang dia tahu besok adalah hari dimana Rasta akan pergi lagi ke Inggris. Gio-lah yang telah mengabarinya, Rasta sendiri tidak pernah menghubunginya setelah kejadian waktu itu.
"Aku tahu kamu terkejut, tapi terkejut sambil duduk lebih nyaman untuk dilihat." canda Khaira diiringi tawa. Tirta tidak terpengaruh, dia justru memasang ekspresi serius. "Ada apa, kenapa sikapmu aneh begitu?"
"Besok, Rasta akan kembali ke Inggris. Pasti kamu tidak tahu." Khaira terdiam, dia memang tidak tahu. Ayahnya sendiri tidak mengatakan apapun mengenai Rasta.
"Kalau begitu, jika ayah datang kemari dia tidak akan mengantar Rasta ke bandara?" Tirta mengangguk mengiyakan asumsi Khaira. "Hubungan mereka semakin buruk setelah kejadian ini. Jika ayahmu tidak ikut, itu artinya tak ada lagi harapan bagi mereka."
"Lalu apa yang bisa aku lakukan, ini semua disebabkan olehku. Aku yang memulainya, tapi aku tidak tahu apa yang bisa kuperbuat?" Tirta mengerti kebingungan Khaira, sekalipun dia meminta ayahnya untuk tak datang besok, tapi belum tentu juga, dia pergi mengantar Rasta. Apalagi mengingat sikap buruk Rasta yang hanya mementingkan diri sendiri.
"Sepertinya hanya ada satu jalan," Tirta langsung memandang Khaira ingin tahu. "Apa kamu punya nomor ponsel Rasta?"
"Untuk apa?" tanya Tirta cepat. Dia khawatir kalau gadis itu akan melakukan hal yang gegabah. "Ada yang perlu kita bicarakan lagi, aku tidak perduli jika dia tetap berkeras hati, tapi hanya ini jalan terakhir yang kupunya."
"Kamu yakin?" Khaira mengiyakan dengan sangat yakin. Tirta terpaksa memberikan ponselnya walau ragu, "Aku tidak tahu apa Rasta msih menggunakan nomor itu atau tidak, tapi coba saja."
Khaira menyalin nomor Rasta dan mulai menghubungi Rasta menggunakan ponselnya. Nada sambung pertama, kedua, ketiga, keempat hingga akhirnya panggilan diangkat, dan sebuah suara terdengar.
"Halo! Siapa ini?"
<<<<<<>>>>>>
Sabtu, 28-02-2015
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu - Kupu Hitam
General FictionAku tetap akan pergi, tapi aku janji untuk kembali.