Sulit

819 21 0
                                    

       Khaira merenung, Tirta telah pergi meninggalkannya sejak tadi. Tapi pembicaraan mereka masih jelas tertinggal di pikirannya. Dia sendiri tak perduli betapa sepinya halte. Tentu saja, karena mana ada penumpang di jam selarut itu. Rasta bahkan belum menampakkan diri, tapi yang Khaira harapkan justru ketidakhadirannya malam itu.

'...Sejak dulu, dia sangat membenci ibumu bahkan kebencian itu tidak juga pudar tergerus waktu. Mungkin jika foto itu tidak ditemukannya, dia tidak akan menjalani kehidupan tak jelas seperti saat ini...'

'...Dia berpikir ibumu adalah perusak rumah tangga keluarganya. Hubungan ayah dan ibunya memang memburuk sejak saat itu, bahkan hingga saat ini. Memang tidak terlihat dari luar tapi itulah kenyataan yang tertutupi..."

'...Jika dia tahu kamu adalah anak dari hubungan terlarang ayahnya, aku tidak bisa bayangkan apa yang akan terjadi. Mungkin saja dia akan memburumu layaknya pemangsa memburu mangsanya. Jadi, lebih baik segera akhiri hubunganmu dengan Rasta sejelas mungkin, agar dia tidak lagi mengejarmu. Hiduplah dengan menyimpan semua dalam hati...'

'...Takdir mempermainkan kita kan, Ra. Aku adalah teman dekat Rasta sejak SMA dan kamu adalah teman adikku. Aku sendiri tak tahu harus berpihak pada siapa saat ini, yang pasti hubungan kalian harus diperjelas sebelum Rasta benar - benar menyukaimu...'

       Ucapan-ucapan Tirta membuat Khaira sakit kepala, padahal dia sudah meyakinkan hati untuk mengakui dirinya, tapi keadaan malah menekannya untuk memilih pilihan lain.

       "Sebenernya apa yang harus aku lakukan? Kenapa semua yang ingin kulakukan selalu salah dimata oranglain?" Khaira mengacak rambutnya frustasi. Mungkin orang akan berpikir dia baru saja terkena angin topan sehingga rambutnya acak-acakan.

       Tirta melihatnya dari kejauhan, dia tahu kalau Khaira berada pada posisi yang serba salah. Dia juga tahu kalau Khaira punya hak untuk mengakui keberadaannya, karena bukan dia yang salah. Hanya saja, dia mengkhawatirkan tindakan Rasta.

       Khaira masih mengacak rambutnya sambil menunduk, dia sangat kesal. Ya, kesal pada dirinya sendiri. "Mungkin akan lebih mudah jika aku mati." gumam Khaira tanpa sadar.

       "Apa yang kamu katakan!" Rasta yang baru datang sangat terkejut mendengar gumaman Khaira yang sembarangan itu.

       Khaira sendiri tidak menyangka kalau Rasta akan mendengarnya. Kapan Rasta tiba, Khaira sendiri bahkan tidak menyadarinya.

       Rasta terlihat sangat khawatir, tanpa pemberitahuan dia duduk disamping Khaira dan merangkulnya sambil merapikan tatanan rambut Khaira yang tidak jelas. "Apa yang terjadi?" tanyanya perhatian.

       Khaira tertegun sejenak, tapi sedetik kemudian dia sadar. Rasta bukan memberikan perhatian sebagai seorang kakak, tapi seorang lelaki pada gadis yang dia sukai. "Aku baik-baik saja." Dia pun melepaskan rangkulan Rasta halus, begitupun tangan yang tengah menyentuh rambutnya.

       "Lalu kenapa kamu mengatakan hal seperti itu, apa yang terjadi?" Khaira memberi Rasta sebuah senyuman. "Aku hanya sedang mendapat masalah di kantor. Aku memang biasa mengatakan hal itu jika sedang sangat kesal, jadi tidak usah khawatir. Bukannya ada yang ingin kamu bicarakan padaku, apa itu?"

       Khaira justru membalik pertanyaan, membuat Rasta terdiam kebingungan sekaligus salah tingkah melihat Khaira menatapnya dengan begitu serius. "Ahh...itu, aku hanya ingin menanyakan pendapatmu saja mengenai barang yang kuberikan waktu itu. Apa kamu tidak menyukainya?"

       Khaira berpikir sejenak, barulah dia teringat foto dari Rasta. "Oh, kupikir terlalu berlebihan memberikan foto seperti itu, bisa saja penerimanya ketakutan." ungkap Khaira jujur.

Kupu - Kupu HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang