Tirta menatap kertas di tangannya, jam telah menunjuk angka 12. Tadi dia ada sedikit urusan jadi tak sempat menyimpan apalagi mengirim pesan pada Khaira.
Walaupun agak terlambat tapi dia tetap mengirim pesan, berisi dua kata sederhana 'ini nomorku'. Tirta ragu Khaira sempat membukanya mengingat sudah terlalu malam untuk menerima sebuah pesan singkat, tapi dia terkejut saat semenit kemudian panggilan masuk datang darinya.
"Ada apa, Ra? Apa pesanku mengganggu tidurmu?" tanya Tirta tak enak.
"Tidak, aku bahkan belum memejamkan mata sejak tadi. Beruntung kakak mengirimiku pesan, mungkin kita bisa sedikit mengobrol." suara Khaira terdengar memelan diakhir kalimat, dia ragu kalau Tirta punya waktu untuknya. Dia memang kesulitan untuk tidur karena barang pemberian Rasta, dia bahkan sudah berguling-guling tidak jelas di tempat tidur seperti roda kendaraan saking bingungnya.
Tirta tersenyum, "Aku ada waktu, tapi apa kamu sanggup membayarnya? Mengobrol denganku tidak gratis." canda Tirta, sedangkan diseberang sana Khaira terdiam.
Rasta tertawa mengetahui Khaira tidak merespon. Dalam bayangannya, gadis itu terdiam karena kaget hingga tak sanggup mengatakan apapun. "Apa aku mengganggumu, jadi kamu memberiku alasan seperti itu?" tanya Khaira kecewa.
"Hei, tentu saja tidak. Aku hanya bercanda. Kenapa kamu mengaggap ucapanku begitu serius, aku jadi tidak enak." sesal Tirta dari seberang sana.
"Semoga saja kakak tidak berbohong untuk menghiburku." nada kecewa itu masih terdengar begitu kentara di telinga Tirta, tentu saja dia menjadi semakin tidak enak hati.
"Apa yang bisa kita bicarakan?" Tirta mencoba mencari pengalihan, namun tak terdengar balasan. "Ra, kamu masih disana?" tanyanya hati-hati.
"ah..Iya kak, masih." jawab Khaira cepat, Tirta yakin gadis itu tadi tengah melamun. "Aku tahu pasti ada masalah yang sedang membebanimu, ceritakan saja jika memang hal itu bisa membuatmu lebih baik."
Khaira tersentuh, dia memang berharap Tirta menanyakannya. Sejak pertemuan kedua mereka, entah kenapa Khaira merasa memiliki tumpuan lain selain Dery. Semenjak Sania memberitahunya kenyataan mengenai Tirta, Khaira telah menganggapnya sebagai pahlawan bertopeng. Jangan berpikir kalau pahlawan bertopeng itu sama seperti dalam kartun Crayon Sinchan karena jelas keduanya berbeda hanya panggilan saja yang sama.
"Seseorang memberiku sebuah album foto, seluruhnya berisi fotoku. Menurut kakak apa maksud orang itu?" tanya Khaira penuh keraguan, bisakah Tirta memberinya jawaban yang tepat.
Tirta teringat Rasta, tapi dia belum yakin maka dia bertanya, "Perempuan atau laki-laki?"
"laki-laki." jawab Khaira cepat.
"Ada kemungkinan dia tertarik padamu, mungkin secara tak langsung dia ingin menunjukkan perasaannya padamu." jawab Tirta yakin, dia sudah dapat memastikan hal itu mengingat pertemuan terakhirnya bersama Rasta beberapa waktu lalu.
Khaira terdiam, setelah mendengar penuturan Tirta kekhawatirannya terjawab. Jika hal itu benar maka kesalahan besar telah terjadi, Rasta harus segera tahu siapa dirinya. Perasaan Rasta tidaklah nyata, mungkin keterikatan batin diantara mereka disalahartikan sebagai cinta, padahal tak lebih dari rasa sayang seorang kakak terhadap adiknya.
"Khaira!" panggil Tirta setelah untuk beberapa saat tak ada suara dari Khaira. Dia cemas jika telah terjadi sesuatu walaupun dia meyakini kalau Rasta tak mungkin melakukan sesuatu yang berlebihan. "Ya, kak. Maaf." balasnya dari seberang sana.
"Ada apa, apa ada sesuatu yang salah?" Khaira kembali terdiam, Tirta tidak mengerti dengan sikap gadis itu. Apa yang telah terjadi diantara mereka memang bukan urusannya, tapi dia pikir ada hal serius yang membuat Khaira begitu aneh.
"Kenapa masalah selalu saja mengikutiku." keluh Khaira. "Jangan mengeluh begitu, setelah malam pasti akan ada siang, jadi hadapi saja. Apapun masalahmu, aku yakin kamu pasti bisa menghadapinya." hibur Tirta kemudian.
"Apa akan semudah itu?" terdengar nada putus asa dari ucapannya. "Tentu saja tak semudah itu, makanya kamu harus berusaha dengan baik."
Nasehat Tirta cukup memberikan udara segar dalam masalah yang dia hadapi, benaknya berpikir kalau Tirta mungkin bisa diajaknya berbagi namun Khaira ragu kalau pria itu mau mendengarkan ceritanya.
"Apa kakak punya waktu luang untuk bertemu denganku lagi. Eu...maksudku apa kakak jadi datang ke rumah?" Khaira malah jadi terdengar begitu gugup.
Rasta tertawa ringan, "Tentu saja, bagaimana kalau besok malam. Kita bisa bertemu lagi di tempat yang sama."
"Baiklah."
****
Perjalanan menuju rumah Alin terasa begitu cepat bagi Dery, gadis itu ternyata meluluskan permintaannya waktu itu padahal saat ini dia sudah berubah pikiran. Dia tak bisa membayangkan jika ternyata pria yang dibencinya berada satu ruangan bersamanya.
Alin justru terlihat bersemangat akan pertemuan ini, bukan merasa tertekan seperti bayangannya. Justru dirinya sendiri yang merasa tertekan dengan keadaan itu.
"Jika kamu terpaksa, lebih baik kita tak usah melakukan ini." Dery tentu saja mencari-cari alasan, dia hanya tak ingin pertemuan ini dilanjutkan.
Alin tersenyum manis, tangannya meraih bahu Dery seakan memberi dukungan. "Aku tak akan melakukannya jika memang karena terpaksa. Aku sadar bahwa hubungan kita memang tak sehat, bagaimana bisa aku bersikap begitu egois. Aku percaya padamu, jadi untuk apa aku takut."
Dery tak bisa mengatakan apapun, dia memilih mengalihkan pandangan memfokuskan diri ke arah jalanan yang membentang didepannya. Jarak menuju rumah Alin semakin dekat, padahal kecepatan mobilnya telah diperlambat. Namun, selambat apapun kecepatannya dia tetap akan sampai juga. Jika saja mobilnya saat itu mengalami mogok, dia akan sangat bersyukur tapi itu tak terjadi bahkan hingga mereka sampai di pelataran rumah.
"Ayo masuk!" ajak Alin, Dery justru masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia masih betah duduk di dalam mobil sedangkan Alin sudah berada diluar sejak beberapa menit yang lalu.
Dery segera keluar dari dalam mobil dengan hati malas, harapannya yang terakhir di pertemuan pertamanya ini adalah pria itu tidak bisa datang karena urusan mendadak.
"Sebenarnya ada apa denganmu? Kamu baik-baik saja, kan!" Dery hanya menjawab pertanyaan Alin dengan senyuman tipis.
"Cepatlah, ayahku bersemangat sekali ingin bertemu denganmu!" langkah Dery langsung terhenti setelah mendengar ucapan Alin yang penuh semangat itu.
"Hei, jangan tegang begitu. Ayahku ramah kok!" hibur Alin, terukir senyuman jahil di bibirnya. Tanpa Alin tahu, Dery tengah menahan perasaan kesal dan rasa enggannya bertemu pria yang tak pernah ingin dia temui. Kalaupun dia benar-benar bisa bersabar, mungkin karena dia ingat janjinya pada Khaira kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu - Kupu Hitam
General FictionAku tetap akan pergi, tapi aku janji untuk kembali.