Rencana

11 3 0
                                    

"Baiklah jika tak ada. Selesaikan masalah ini dalam tiga hari atau Rifa akan dikeluarkan," tutup pak Ono pergi menjauh dari gua yang masih terdiam mematung.

Gua buru-buru membuka hp untuk menceritakan ini ke Rifa, tetapi gua urungkan. Menelfon Rifa hanya akan menambah masalah. Dia akan menjadi semakin panik yang malah membuat gua kehilangan konsentrasi untuk berpikir. Tak ada pilihan lain rencana ini harus gua jalankan.

Awalnya gua tak mau menggunakannya, karena dapat berdampak buruk pada karir dan kehidupan ketiga sahabat gua itu, tetapi kalau disuruh memilih antara mereka dan Rifa, si Sajadah Musolah, tentu gua akan memilih dia. Dia tak boleh menerima akibat dari sebuah kesalahan yang tidak dia lakukan.

Begitu keputusan gua bulat, gua telfon seseorang kenalan gua. Kenalan penting dari jaman gua SMA dulu.

"Halo pak boss," sapa orang itu terlebih dahulu begitu mengangkat telfon dari gua. Panggilan pak boss adalah ledekan dari temen-temen gua, karena posisi gua sekarang ini.

"Halo komandan," jawab gua kembali meledek.

"Gimana, gimana?" tanya orang itu dari ujung telfon.

"Gua butuh bantuan lo bro, seperti yang gua ceritain beberapa bulan yang lalu. Mulai eksekusi," jawab gua.

"Yakin?" tanyanya mempertegas.

Gua terdiam sebentar, menarik nafas dalam-dalam mencoba meyakinkan diri sendiri tentang keputusan yang gua ambil ini.

"Pak bos?" ucap orang itu karena tak ada jawaban dari gua.

"Ya gua yakin. Pak komandan bisa langsung ekseusi," jawab gua mantap.

"Oke pak boss. Kalau butuh apa-apa lagi jangan sungkan untuk menelfon," ucap orang di balik telfon.

"Terima kasih," jawab gua sembari menutup telfon.

Begitu telfon berakhir, tangan gua gemetar, masih tak menyangka persahabatan kami selama 6 tahun harus berakhir seperti ini. Terbesit sedikit dipikiran gua untuk kembali, tetapi gua urungkan, gua tak mau kehilangan semua pencapaian ini.

Tak ada teman untuk bercerita, malam ini gua memutuskan untuk pulang ke rumah, rumah ibu di Bogor. Meskipun jarak Jakarta dan Bogor tegolong dekat, tetapi sudah hampir setahun gua tak pulang untuk berkunjung. Gua terlalu sibuk bekerja hingga lupa ada seseorang yang selalu menunggu dan menerima gua, sekotor apapun, sebau apapun, atau seburuk apapun gua, dia akan selalu menerima gua dengan tangan terbuka.

"Assalamulaikum," ucap gua di depan pintu rumah.

"Walaikumsalam," jawab ibu sambil membuka pintu.

"Eh Arya," ucap ibu.

Matanya yang berbinar bahagia melihat kedatangan gua membuat gua merasa bersalah, apalagi ketika melihat rambutnya yang mulai memutih dan kerut di pipinya yang menandakan umurnya yang tak lagi muda.

"Kamu kok kurusan ya? Kamu udah makan?" tanya ibu.

Jlek, pertanyaan ibu seperti peluru yang menghantam jantung. Sepanjang jalan gua udah mempersiapkan seribu alasan dan jawaban ketika nanti ibu bertanya gua kemana aja kok gak pernah berkunjung, justru sebaliknya.

Gua udah bersiap dengan ucapan menyindir, tapi yang keluar justru sebuah perhatian yang begitu tulus. Pertanyaan sepele yang justru dapat menggetakan jiwa dan melelehkan rasa.

"Belum bu," tanpa terasa air mata meleleh dari sudut pipi gua.

Kembali (END) (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang