Appreciating Your Own Work

28 7 0
                                    

(Materi)

Menghargai karyamu sendiri. Mengapresiasinya dengan cara yang sepantas-pantasnya.

Perlukah?

Tentu sangat perlu!

Terlebih kita kerap lupa dengan satu hal ini yang sudah semestinya kita lakukan untuk diri sendiri. Termasuk kita kerap mengabaikan dengan cara yang semena-mena, apa yang sudah kita mulai dan semestinya sudah menjadi tanggung jawab kita untuk menyelesaikannya. Dan menurut saya, ini termasuk tindakan tidak menghargai karya sendiri.

"Ah, capek, Kak," keluhmu kala ditanya. "Udah mentok," alibimu selanjutnya.

Iya. Capek, mentok, dan dua hal itu menjadi satu, bahkan ada hal-hal lain yang ikut menyumput dan ikut memberatkan. Saya pun paham. Sebab pernah ada di posisi yang seperti itu. Bahkan sekarang pun dan bisa dibilang saya tengah berada di posisi itu. Di mana saya harus tetap menyelesaikan naskah saya yang terbengkalai satu tahun lamanya. Di mana saya pun sudah lelah untuk menyambangi naskah itu barang sebentar. Di mana lagi-lagi saya harus ingat bahwa ada waktu yang tengah menuntut saya untuk bertanggungjawab agar menyelesaikan apa yang sudah saya mulai.

Sumpah. Rasanya lebih lelah dari dikejar tukang gorengan karena makan gorengan lima biji, tapi yang dibayar dua biji. Nahas memang. Dan alhamdulillah, saya nggak pernah begitu. Ah, iya, maaf, malah jadi curhat. Hehehe.

"Ah, kok gini-gini mulu, sih, karya yang gue buat?" gerutumu. "Ah, kok ada yang lebih baik, sih, dari karya yang gue buat, padahal ini bakat dan minat gue, sedangkan dia baru berkecimpung?" tambahmu dengan kesal. Yang akhirnya membuatmu merasa tersaingi, lantas kamu pun ingin berhenti karena merasa tidak puas dengan hasil yang kamu dapatkan.

Ah, kawan. Ini buruk sekali.

Kenapa kusebut begitu? Ya, jelas karena kamu terlalu meremehkan hasil kecilmu yang sebenarnya akan berdampak lebih hebat dari yang kamu kira, jika kamu menekuninya dengan sepenuh hati dan dengan niat yang tulus.

Saingan itu akan selalu ada. Ia hadir seakan memaksamu untuk terus berkembang, sedang kamu justru merasa terbebani dengan persaingan itu. Honestly, saya pun pernah merasa begitu, tapi setelah dipikir-pikir bahwa terlalu memikirkan persaingan mengenai bagaimana orang lain menuangkan karyanya hal itu ternyata tidaklah begitu penting. Catat, bukan berarti tidak penting. Justru di sisi lain akan menjadi cukup penting untuk mengingatkanmu bahwa di luar sana ada banyak para pesaing yang giat berlomba, sedang kamu asyik berleha-leha.

Sampai sini paham?

Jadi, kumohon mulai dari sekarang untuk terima apapun hasil dari karyamu dan kamu patut berbangga diri karena pada akhirnya ada sesuatu yang akan membuatmu abadi setelah kematian, yakni karyamu. Karyamu yang akan terus terkenang dengan abadi, meski sekecil apa pun itu. Jangan terlalu diabaikan, justru harus lebih kamu pedulikan, karena itu buah tangan dari usaha keras nan lelahmu.

Jika ada perasaan bahwa karyamu bukanlah apa-apa. Mari ingatkan lagi pada dirimu sendiri, justru kamu bukanlah apa-apa jika tanpa karyamu. Kamu hanyalah seonggok daging diberi nyawa, jika tidak berkarya dan sekilas membuatmu menjadi senyawa yang terlihat tidak memiliki peran apa-apa.

Mari terima apapun hasilnya. Apresiasi dengan sepantas-pantasnya, meski karyamu tampak tidak begitu hebat. Sebab, percayalah sesuatu yang luar biasa terlahir karena satu hal kecil yang kamu tekuni sepenuh hati.

Baik, singkat cerita mengenai saya yang semakin yakin bahwa apa yang kita mulai, lalu kita selesaikan, selanjutnya kita hargai atau apresiasi akan menjadi buah manis di kemudian hari.

Tepat satu tahun lalu, saya berharap memiliki hobi yang dibayar sebagai pekerjaan yang menyenangkan. Dan saya bersyukur, setelah yakin dan menekuni apa yang bermula hanya sebatas menjadi hobi, kini saya pun dibayar untuk hobi saya.

Tips & Trik Tipis MenulisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang